Cerpen Sayekti Ardiyani
Yuni mengamati status kontak WA di gawainya. Minyak goreng langka sedang menjadi tranding, rupanya tidak main-main. Status beraroma panik, sindiran-sindiran bentuk meme, hingga 'pamer' karena berhasil mendapatkan minyak goreng. Ada pula yang masa bodoh sebab tidak pernah mengkonsumsi minyak sawit. Ini status beraroma pamer juga, bahwa dia mampu beli minyak yang tidak dibeli kebanyakan orang? Katanya minyak jenis itu lebih sehat.
Yuni tidak sepanik orang-orang sekalipun secara kebetulan minyak di rumah habis. Benar-benar habis hingga pisang tanduk kesukaan anak dan suaminya pun masih utuh belum jadi gorengan. Dia merasa yakin mendapat minyak sesuai keinginan, lebih tepatnya sok yakin.
Beberapa hari tanpa stok minyak di rumah tidak menjadikan satu masalah. Ia bisa memasak tanpa minyak. Lagipula, sejak kakak iparnya mengidap penyakit jantung, minyak di rumah tidak cepat habis. Istrinya jarang membuatkan lauk gorengan.
Semenjak ibu mertuanya meninggal, praktis segala kebutuhan sehari-hari ia yang mengusahakan. Ini inisiatif pribadi. Meskipun kadang ada rasa mengganjal di hati, kenapa tidak sesekali kakaknya yang berbelanja? Ketika kebutuhan dapur habis, jarang ada inisiatif untuk bergantian mengisi. Ah, tapi ia akan menepis perasaan itu, selama mampu kenapa tidak? Selalu perasaan-perasaan itu mengganggu dan ia akan berulang kali menepisnya. Hidup berumah tangga satu atap dengan keluarga besar memang tantangan hati.
Dia melihat di warung tetangga tempat biasa belanja masih ada minyak. Hanya saja, minyak dengan merek yang biasa dia beli tak ada. Katanya belum diantar sales-nya. Kata ‘belum’ membuat ia yakin akan mendapatkan. Yuni bilang menunggu merek yang ia pakai saja. Selain terbawa ibunya untuk memilih minyak goreng merek tertentu, ia merasa memasak butuh kepuasan. Ketika pernah menggunakan minyak goreng sembarangan hasil gorengannya cepat gosong atau warnanya keruh ia lalu berprinsip soal minyak goreng pun ada harga ada rupa.
Sepulang kerja, ia lajukan motor ke swalayan tak jauh dari rumah. Hanya ada satu merek minyak goreng. Sebenarnya kalau mau bisa dapat harga murah karena minyak goreng subsidi. Dia tetap pada pendirian mau minyak goreng dengan merek yang biasa ia gunakan. Maka ia menuju swalayan berikutnya. Parah, malah tak ditemukan satupun minyak goreng.
Ketika dia menuju swalayan beberapa meter dari swalayan sebelumnya, alih-alih sia-sia sampai di dalam, dia sengaja bertanya dulu pada satpam.
"Masih kosong," jawab satpam.
Namun sebelum keluar swalayan, pandangannya tidak sengaja melayang ke selasar swalayan di pojokan. Terlihat tumpukan minyak goreng kemasan botol.
"Lho Pak, itu minyak banyak?" tanya Yuni heran.
"Belum boleh keluar," sahut satpam.
Dalam hati ia meradang, mau nunggu rakyat kehabisan dahulu? Yuni ngeloyor pergi. Dia sengaja mencari minyak ke swalayan besar di kotanya. Tanpa perlu bertanya pada satpam, ia bergegas menuju rak kebutuhan pokok. Ia sudah menurunkan idealisme dan mau mendapatkan minyak goreng dengan merek apapapun.
Banyak stok minyak goreng, namun hanya merek bersubsidi yang tersedia. Baiklah,apapun minyaknya, aku mau ambil, gumamnya. Penuh semangat ia mengambil dua pack sekaligus masing-masing dua liter. Tangannya berhenti terayun hendak memasukkan satu persatu minyak ke dalam keranjang belanjaan ketika ekor matanya menangkap minyak dengan warna lebih terang bermerek asing di telinganya. Lho, bukankah itu minyak yang di status WA temannya dipamerkan sebagai minyak yang lebih sehat karena bebas kolesterol dan deretan kebaikan lain? Minyak itu belakangan juga di bicarakan kakaknya di rumah. Ia sedang mencari minyak itu. Harganya lebih mahal katanya.
Harga mahal tak masalah buat Yuni, yang penting barang dan uang keduanya ada. Yuni makin bersemangat. Ia tak hanya akan mendapatkan stok minyak goreng. Lebih dari itu ia bahkan bisa mendapatkan minyak goreng yang sehat. Seandainya ia membelinya, kakaknya kembali bisa ikut menikmati gorengan masakannya atau bahkan bisa menggoreng sendiri.
Eh,tapi tunggu dulu, bisik hatinya. Yuni ingat, seringkali saat kesal ia hanya mengungkapkannya di depan suami. Minyak yang dipakai kakaknya seperti tak peduli takaran. Lebih dari separoh wajan dengan warna yang hitam. Untuk menggoreng lauk apa saja ia tak tahu. Selalu, setelah bercerita panjang lebar suami mengingatkan untuk banyak-banyak istighfar.
"Ikhlaskan saja," nasehat suaminya selalu.
Maka, Yuni urung mengambil minyak kelapa di depannya. Ia kembali ke tempat minyak bersubsidi dan mengambil 2 pack.
"Biarlah, aku memilih menyehatkan hati saja. Hati bersih tubuh juga akan sehat,” tekadnya. Biarkan saja kakaknya tetap pada kebiasaan mengurangi gorengan.Itu juga lebih sehat baginya.Yuni mengakhiri kecamuk hatinya.
Magelang, Februari 2022