Cerpen Mustofa W Hasyim
Pertempuran itu makin menghebat. Pasukan Republik yang dikenal dengan sebutan Tentara Nasional Indonesia berhasil mencegat rombongan konvoi serdadu Belanda yang baru pulang dari menaklukkan kota Bantul. Pasukan Republik berhasil mengikat rombongan konvoi itu sehingga tidak bisa bergerak menuju markas mereka di Benteng Vredebeurg yang sudah beberapa minggu mereka duduki.
Pasukan Republik dalam menghadang dan menyerang konvoi serdadu Belanda ini menggunakan strategi gelar perang klasik yang dalam khazanah militer kerajaan Mataram Islam disebut gelar perang Supit Urang. Induk pasukan menggempur konvoi sedang dua sayap atau dua supit pasukan kiri dan kanan menjepit dan melingkari serdadu Belanda. Ketika serdadu Belanda sedang memusatkan perhatian pada serangan induk Pasukan Republik tiba-tiba mereka dikejutkan oleh hujan peluru dari Pasukan Republik yang berasal dari semua arah. dari samping kanan, kiri bahkan dari belakang. Komandan serdadu Belanda kebingungan, dengan tergesa-hesa membentuk pertahanan melingkar untuk menghadapi gelar perang Supit Urang itu.
Banyak serdadu tewas dalam serangan dadakan dari arah samping kanan,kir dan belakang. sedang induk pasukan Republik yang berhadapan dengan induk pasukan Belanda kedua sama-sama beradu stok peluru. Hanya bedanya. bunyi suara tembakan dari serdadu Belanda bisa dibedakan dengan bunyi tembakan dari Pasukan Republik. Serdadu Belanda karena merasa punya stok peluru banyak mereka menyapukan senapan ke banyak arah dengan gelombang lontaran peluru yang kalau didengarkan akan mirip dengan bunyi, “Federal, federal, federal!”
Pasukan Repblik yang lebih memanfaatkan efisiensi tembakan, dengan mengarahkan anggota pasukan yang berkapasitas sebagai sniper bersama temannya membuat gelombang serangan mereka tidak obral peluru, tetapi berirama rapi dengan jarak interval peluru yang teratur. Kalau dari kejauhan suara tembakan Pasukan Republik seperti suara,”Republik, Republik, Republik!”
Dalam pertempuran di daerah perbatasan antara wilayah desa di Kabupaten Bantul dan mendekati kota ini sejak semula memang dirancang sebagai serangan kilat, serangan gerilya sebagaiman pernah diterapkan oleh Pangeran mangkubumi pendiri Kasultanan Yogyakarta dan pernah diterapkan oleh Pasukan Pangeran Diponegoro yang amat memusingkan para jenderal Belanda. Hanya bedanya, saat ini ketika serdadu Belanda menyerbu ibukota Republik Indonesia Yogyakarta kemudian menduduki untuk beberapa bulan, pasukan Tentara Nasional Indonesia yang dipimpin oleh panglima Besar Jenderal Sudirman sudah menyiapkan SOP untuk melawan Belanda dengan menerapkan satuan-satuan wilayah perang di mana-mana yang letaknya menyebar di seluruh pulau Jawa. Karena medan gerilya demikian luas dan semua daerah berada dalam satu kesatuan wilayah perang yang dikontrol oleh Pasukan Republik maka Belanda tidak bisa menerapkan lagi sistem benteng stelsel seperti ketika mau membatasi gerak pasukan Pangeran Diponegoro.
Yang bisa dilakukan adalah memperkuat tangsi sebagai beteng pertahanan yang siang hari bisa bebas bergerak untuk melakukan patroli ke mana saja. Terutama menteror rakyat dan masyaralat yang diperkirakan menjadi tempat sembunyi pasukan gerilya Republik Indonesia. Tetapi begitu malam tiba, serdadu Belanda harus sembunyi di tangsi mereka. Mereka berlindung di pos pertahanan tertentu yang garis hubungnya meliputi markas yang relatif besar di Semarang, Magelang dan Yogyakarta, juga kota besar lainnya. Di malam hari serdadu Belanda menjadi sasaran serangan pasukan Republik. Dengan serangan kilat yang metodenya dipelajari ketika anak muda Indonesia dilatih tentara Jepang pada zaman penjajahan jepang. Kemampuan perang pasukan yang menggunakan strategi dan taktik militer model timur ini menyebabkan serdadu Belanda selalu tidak merasa aman kalau malam hari. Sebab semua daerah di luar bangunan tangsi, pos atau markas serdadu Belanda selalu di bawah kontrol pasukan Republik. Sementara itu Janderal Soedirman berhasil mempertahankan rantai komando Tentara Nasional Indonesia.
Pola perang antara kedua belah pihak setiap hari menjadi mirip, kalau malam hari ada tangsi militer atau markas serdadu Belanda yang diserang maka paginya serdadu Belanda keluar markas untuk datang ke kampung dan desa melakukan penembakan, penangkapan, penyiksaan atau pembakaran di rumah-rumah warga yang tidak bersalah. Saat itu Pasukan Republik telah aman berada di markas gerilya yang secara rahasia berpindah-pindah. Karena Pasukan Republik menyatu dengan rakyat yang menyiapkan rantai logistik pasukan secara teratur hampir dipastikan lokasi kedudukan Pasukan Republik gagal diketahui oleh serdadu Belanda. Serdadu Belanda yang marah biasanya melampiaskan kegagalannya dengan melakukan terror pada penduduk sipil yang tidak bersenjata.
Apalagi sejak semula, berdasar SOP perang gerilya melawan serdadu Belanda itu, pihak Pasukan Republik membagi pasukannya menjadi dua pasukan. Pasukan yang bergerak dengan mobilitas tinggi yang persenjataannya lengkap dan pasukan territorial yang menjaga teritori kedaulatan negara Indonesia di dearah yang sulit dijangkau oleh patrol serdadu Belanda.
Kalau suatu saat Pasukan Republik menghadang konvoi di siang hari mereka sudah mempersiapkan lokasi strategis untuk menghadang itu. menerapkan gelar perang supit urang, kemudian setelah Belanda terdesak dan serdadunya kacau, pasukan Republik menghilang dengan cepat ke tempat yang telah ditentukan sebelumnya. Bala bantuan serdadu Belanda sulit mengejar mereka karena arahnya sulit diketahui. Serdadu bala bantuan ini kemudian menyatukan diri dengan serdadu Belanda yang babak belur dihajar pasukan Republik ini kemudian melakukan pembersihan di lokasi itu. Begitu malam tiba mereka kembali ke markas.
Pada malam hari itu setelah pertempuran di dekat perbatasan kabupaten dan kota itu selesai, Regu-regu penyelamat dan regu yang sudah sejak awal mendapat laporan tentang siapa saja yang gugur dan siapa yang sembunyi dan terluka, bergerak ke lokasi bekas pertempuran. Mereka menyiapkan peralatan kesehatan dan peralatan lainnya. Anggota pasukan yang gugur dimakamkan bersama penduduk sekitar dan anggota pasukan yang terluka dan bersembunyi dicari dengan menggunakan kata sandi tertentu. Anggota pasukan yang terluka pun beteriak menyahuti kata sandi itu sehingga mereka bisa didatangi, dirawat dengan cepat lalu dilarikan ke rumah sakit tentara darurat yang berada di pelosok desa yang jauh.
Dalam pertempuran penghadangan ini ada anggota pasukan Republik yang terluka karena tembakan senapan mesin oleh serdadu bayaran Belanda. Ia bisa tahu hal itu, karena waktu di tengah pertempuran ia mendengar serdadu bayaran itu berteriak-teriak dengan bahasa lokalnya. Anggota pasukan Republik yang tertembak ini, waktu itu menyelempangkan sarung di tubuhnya. akibatnya sarung berlubang diterjang peluru dan berdarah. Untung dia sempat sembunyi di rumah warga dan minta tubuhnya ditutupi jerami dan memerintahkan pemilik rumah untuk membuka pintu rumahnya sehingga serdadu Belanda yang kemudian memeriksa rumah itu tidak curiga.
Menjelang pagi anggota pasukan itu sudah sampai di rumah sakit darurat di sebuah desa. Ia mendapat perawatan yang intensif sehingga perdarahan berhenti dan bisa istirahat. Ketika pagi hampir siang dia terbangun dia teringat pada sarung yang berlubang diterjang peluru itu. Dia tanyakan kepada perawat, ternyata sarung itu tengah dicuci dan dikeringkan.
“Nanti setelah kering sarungnya saya kembalikan Mas,” kata perawat itu.
“Terima kasih, sarung itu bisa untuk kenang-kenangan,” sahut anggota pasukan Republik itu.
Demikian kisah yang diceritakan oleh Ayah, dan sering diulang-ulang saat ada teman seperjuangan, yang sama-sama sudah pensiun dari dinas militer datang ke rumah.
“Sarung itu sekarang dimana Yah?” tanyaku.
“Dipakai kakekmu. ditambal lubang bekas pelurunya, lalu dipakai ketika menjadi imam shalat di surau pojok kampung.”
“Terus?”
“Dipakai terus oleh kakekmu sampai rusak dan ketika kakekmu meninggal sarung itu ikut dikubur.”
“Mengapa sarung berlubang diterjang peluru itu tidak dirawat dan dijadikan benda kenangan saat perang mempertahankan kemerdekaan negara ini Yah?”
“Kakekmu bilang, sarung adalah sarung benda biasa untuk beribadah. Tidak boleh dijadikan pusaka. Bahkan dengan kakek menggunakan sarung itu untuk mengimami shalat di surau saya kan mendapat pahala. Dan Ayahmu ini memilih mendapat pahala dari pada kemungkinan berdosa karena memuja benda seperti sarung dan memperlakukannya seperti pusaka,” kata Ayah mantap.
Aku hanya bisa menganggukkan kepala.
Yogyakarta, 2023.
Mustofa W Hasyim. Tinggal di Yogyakarta, anggota LSB PWM DIY periode 2022-2027.