Bekal Menyambut Ramadhan
Oleh: Mohammad Fakhrudin
Berdasarkan Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 1/MLM/I.O/E/2024 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah Hijriah, Muhammadiyah menetapkan 1 Ramadhan 1445 bertepatan dengan Senin, 11 Maret 2024. Dengan demikian, insyaallah warga Muhammadiyah dan umat Islam yang mempunyai pemahaman sama dengan Muhammadiyah dalam hal menentukan awal Ramadhan 1445, mulai melaksanakan ibadah Ramadhan 1445 Senin, 11 Maret 2024.
Kita tentu ingin bertemu dengan bulan yang penuh rahmat, berkah, dan ampunan tersebut dan dapat menunaikan ibadah Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Berkenaan dengan itu, kita berusaha mempersiapkan diri untuk menyambutnya. Nah, apa sajakah bekal yang perlu kita siapkan?
Sekurang-kurangnya ada tiga bekal yang harus kita siapkan, yaitu (1) iman, (2) ilmu, dan (3) sehat.
Bekal Iman
Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur'an surat al-Baqarah (2): 183
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْکُمُ الصِّيَا مُ کَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِکُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,"
Berdasarkan ayat tersebut, iman merupakan bekal yang harus kita miliki. Begitu pentingkah bekal iman untuk melaksanakan ibadah puasa Ramadhan? Ya! Sangat penting! Mengapa? Orang berpuasa tidak sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga dikondisikan, antara lain, sebagai berikut:
Pertama: mengendalikan nafsu dalam arti seluas-luasnya, termasuk di dalamnya adalah nafsu amarah. Di samping itu, kita dikondisikan juga mengendalikan nafsu syahwat. Di luar Ramadhan pada siang hari pun suami istri diizinkan memenuhi kebutuhan biologisnya, tetapi tidak demikian halnya pada bulan Ramadhan! Orang beriman memahami bahwa pengendalian nafsu sangat penting.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman di dalam Al-Qur'an surat Yusuf (12): 53
وَمَاۤ اُبَرِّئُ نَفْسِيْ ۚ اِنَّ النَّفْسَ لَاَ مَّا رَةٌ بِۢا لسُّوْٓءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيْ ۗ اِنَّ رَبِّيْ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
"Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang.""
Bagi orang tidak beriman, pengendalian nafsu sangat berat. Ada di antara mereka yang mengatakan bahwa jika berpuasa Ramadhan hanya menahan lapar dan dahaga, masih dapat melakukannya. Namun, mereka menyatakan tidak sanggup jika harus meninggalkan kebiasaan merokok. Mereka mengatakan bahwa tanpa merokok kepala terasa pusing, tidak bergairah bekerja, tidak dapat berpikir, atau argumen lain yang tidak rasional. Argumen itu dijadikannya alasan tidak berpuasa! Nauzubillah!
Kedua, menegakkan kejujuran. Bagi orang tidak beriman, menegakkan kejujuran sangat berat! Namun, orang beriman memahami bahwa orang yang berpuasa, tetapi berdusta, puasanya tidak diperhitungkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal itu dijelaskan di dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam HR al-Bukhari sebagai berikut.
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.”
Ketiga, menegakkan kedisiplinan. Beratkah bagi orang beriman? Tidak! Kurang satu detik pun jika waktu berbuka belum tiba, mereka tidak akan berbuka. Lebih satu detik pun jika telah tiba saat subuh, mereka tidak lagi melakukan tindakan yang membatalkan puasa.
Keempat, meningkatkan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik pada saat sendirian maupun berkelompok. Meskipun ada kesempatan meneguk air ketika sendirian berwudu, orang beriman tidak mungkin mau melakukannya. Dia yakin bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu mengawasi segala ucapan dan tindakannya, bahkan segala apa yang tersembunyi di dalam hati.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman di dalam Al-Qur'an surat asy-Syura (42): 6
وَا لَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِهٖۤ اَوْلِيَآءَ اللّٰهُ حَفِيْظٌ عَلَيْهِمْ ۖ وَمَاۤ اَنْتَ عَلَيْهِمْ بِوَكِيْلٍ
"Dan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah, Allah mengawasi (perbuatan) mereka; adapun engkau (Muhammad) bukanlah orang yang diserahi mengawasi mereka."
Kelima, mempunyai sikap mental kasih sayang dan rasa kebersamaan. Suasana yang demikian dikondisikan, baik di rumah, masjid, maupun di musala melalui salat berjamaah, tadarus bersama atau berbuka bersama. Berbagi rezeki, ilmu, waktu, tenaga, tentu berat bagi orang tidak beriman! Namun, ringan bagi orang beriman.
Orang beriman dengan senang memberi makan kepada orang yang berpuasa karena berharap beroleh pahala sangat besar. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda,
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
“Barangsiapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.” (HR Tirmizi, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Selama bulan Ramadhan, di masjid atau musala diselenggarakan berbagai aktivitas yang pesertanya tidak hanya orang dewasa yang berpuasa, tetapi juga anak-anak, termasuk yang sedang "belajar" berpuasa dan yang belum berpuasa (lebih-lebih lagi anak yatim). Mereka dibimbing mengaji, berwudu, shalat, dan lain-lain. Bagi mereka juga disediakan ta'jil dan makan bersama. Lebih hebat lagi, ta'jil dan berbuka bersama disediakan juga bagi musyafir meskipun tidak saling mengenal. Bukankah semua itu mengondisikan suasana kebersamaan dan rasa kasih sayang?
Keenam, menghargai waktu. Tidak ada waktu yang disia-siakan untuk beramal saleh karena berharap beroleh pahala yang dijanjikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yang demikian itu ringan bagi orang beriman, bahkan, membahagiakannya karena mereka yakin bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menggantinya dengan yang jauh lebih banyak: .
.
Ketujuh, meningkatkan kecerdasan melalui kajian-kajian. Bagi orang tidak beriman. mengikuti kajian secara rutin, apalagi selepas subuh, adalah berat. Namun, bagi orang beriman, kegiatan tersebut sangat membahagiakannya karena membuat pikiran dan hatinya tercerahkan sehingga makin memahami mana yang benar dan mana salah; juga memahami mana baik dan mana yang buruk menurut Islam. Di samping itu, mereka pun meyakini bahwa mengaji memperoleh pahala sejak berniat akan berangkat.
Kedelapan, hidup teratur/tertib. Waktu sahur dan berbuka telah ditetapkan. Orang beriman tidak mungkin mengubah sekehendaknya. Orang beriman bangun dini hari untuk tahajud sudah biasa. Mereka mengimani bahwa sahur merupakan ibadah karena melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Anas bin Malik radiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda,
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السُّحُورِ بَرَكَةً
"Makan sahurlah kalian karena sesungguhnya di dalam sahur itu terdapat berkah." (HR al-Bukhari).
Kesembilan, hidup dengan memperbanyak amal kebajikan. Bagi orang beriman, beramal saleh sebanyak-banyaknya sudah menjadi bagian kebiasaan di dalam hidupnya. Sekecil apa pun amal saleh dilakukannya dengan ikhlas agar ibadah Ramadhannya makin “sempurna.”
Kesepuluh, mengelola stres. Tiap orang dapat mengalami stres. Namun, orang beriman dapat mengelolanya dengan baik. Mengapa demikian? Ada keyakinan bahwa masalah seberat apa pun pasti atas izin Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Dia tidak membebani masalah kepada hamba-Nya di luar kemampuannya.
Ada keyakinan yang kuat bahwa segala masalah pasti disediakan solusinya oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana dijelaskan di dalam firman-Nya,
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَاۤ اِنْ نَّسِيْنَاۤ اَوْ اَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَاۤ اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهٗ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَا قَةَ لَنَا بِهٖ ۚ وَا عْفُ عَنَّا ۗ وَا غْفِرْ لَنَا ۗ وَا رْحَمْنَا ۗ اَنْتَ مَوْلٰٮنَا فَا نْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.""
(QS al-Baqarah (2): 286)
Selama bulan Ramadhan, banyak aktivitas yang menenteramkan jiwa. Selain shalat wajib lima waktu, ada shalat malam. Tambahan lagi, ada kajian yang tidak hanya mencerahkan pikiran, tetapi juga menyejukkan jiwa. Semua itu dilaksanakan oleh orang beriman dengan penuh kegembiraan sehingga dapat mengelola stres dengan baik.
Kesebelas, mengondisikan sabar. Orang beriman yakin akan hikmah orang bersabar sebagaimana dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam Al-Qur'an surat, antara lain, ar-Ra'ad (13): 22
وَا لَّذِيْنَ صَبَرُوا ابْتِغَآءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَاَ قَا مُوا الصَّلٰوةَ وَاَ نْفَقُوْا مِمَّا رَزَقْنٰهُمْ سِرًّا وَّعَلَا نِيَةً وَّيَدْرَءُوْنَ بِا لْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ اُولٰٓئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّا رِ
"Dan orang yang sabar karena mengharap keridaan Tuhannya, melaksanakan sholat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik),"
Pendek kata, bagi orang beriman, tantangan seberat apa pun disambut dengan penuh ketaatan pada perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, dengan ucapan dan sikap mental "sami’na wa atha’na."
Bekal Ilmu
Kita perhatikan firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala dalam surat az-Zumar (39): 9
اَمَّنْ هُوَ قَا نِتٌ اٰنَآءَ الَّيْلِ سَا جِدًا وَّقَآئِمًا يَّحْذَرُ الْاٰ خِرَةَ وَيَرْجُوْا رَحْمَةَ رَبِّهٖ ۗ قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَا لَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ ۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَ لْبَا بِ
"(Apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, "Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran."
Di dalam surat al-Ankabut (29): 49 dan surat Saba’ (34): 6, misalnya, juga dijelaskan bahwa muslim yang berilmu, mengimani kebenaran Al-Qur’an sebagai wahyu Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan alhadis adalah berdasarkan wahyu.
Bekal ilmu sangat diperlukan untuk memahami pengertian puasa Ramadhan, waktu mulai dan berakhirnya, hal yang membatalkan puasa, pantangan orang yang berpuasa, macam-macam ibadah Ramadhan, cara beribadah Ramadhan, dan pelaksanaan ibadah Ramadhan agar sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan alhadis. Umat Islam melaksanakan ibadah Ramadhan harus sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan alhadis; tidak mengikuti ajaran agama atau kepercayaan lain, apalagi membuat tuntunan sendiri. Orang yang berilmu dapat mengerjakan ibadah Ramadhan lebih bermutu.
Bekal sehat
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman di dalam Al-Qur'an surat al-Baqarah (2): 185,
ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَـصُمْهُ ۗ وَمَنْ کَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّا مٍ اُخَرَ ۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ بِکُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِکُمُ الْعُسْرَ ۖ
"Oleh karena itu, barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu."
Orang sakit yang wajib mengganti berpuasa pada hari lain adalah orang yang sakit ringan. Orang sakit berat, yang jika dia berpuasa, menambah sakitnya atau, bahkan, mengancam jiwanya tidak dibenarkan memaksakan diri berpuasa, tetapi menggantinya dengan fidyah.
Berkenaan dengan bekal sehat, jika perlu, kita berkonsultasi dengan dokter yang memahami dan taat mengamalkan ajaran Islam. Boleh jadi, jika berkonsultasi dengan dokter yang tidak memahami apalagi mengamalkannya, kita tidak diizinkan berpuasa.
Allahu a’lam