Oleh: Agusliadi Massere
Cara menjalani kehidupan dan untuk memenuhi kebutuhan serta mencapai harapan hidup setiap orang, itu berbeda-beda. Namun, bila diklasifikasikan, kita pada dasarnya melakukannya melalui dua hal: doa dan/atau ikhtiar. Meskipun bisa ditambahkan satu lagi setelah keduanya dilakukan yaitu tawakal. Ada orang hanya mengandalkan ikhtiar duniawi semata, begitu pun sebaliknya ada pula yang hanya mengandalkan doa. Yang terakhir ini sangat sedikit yang menempuhnya, itu pun lebih banyak adalah kalangan sufi.
Mengkristalisasikan doa melalui ikhtiar dan/atau mentransendensikan ikhtiar melalui doa dan keyakinan/iman adalah cara terbaik memenuhi kebutuhan dan mencapai harapan-harapan hidup dalam kehidupan ini. Membaca buku Breaking The Habit of Being Yourself: Memprogram Ulang Pikiran untuk Kesuksesan dan Kebahagaiaan karya Dr. Joe Dispenza, saya pun mendapatkan satu pemantik dahsyat yang pada dasarnya seperti apa state of being (pikiran dan perasaan) memengaruhi realitas melalui medan quantum. Dari ini, saya menyimpulkan “Ada hal dahsyat dalam diri kita yang bisa diperkuat dengan doa dan keyakinan kepada Allah, sehingga ikhtiar sederhana pun berpotensi memengaruhi medan quantum supaya kebutuhan dan harapan menjadi realitas”.
Pandangan di atas, yang saya terinspirasi dari Dispenza memang bukanlah persoalan mudah untuk dilakukan meskipun setelah kita mampu melakukannya, hasilnya cukup terbukti dahsyat. Pekerjaan rumah (PR) awal kita adalah mengubah state of being (pikiran dan perasaan), terutama yang telah terbentuk secara kokoh sebagai akumulasi dinamika, pergumulan dan pergulatan hidup yang selama ini telah kita jalani, dan yang dibentuk oleh lingkungan termasuk lingkungan keluarga sendiri.
Memahami proses kerja state of being secara sederhana sebagaimana dalam makna tulisan ini, kita bisa belajar konsep ikhtiar dari orang Madura dan istri nabi Ibrahim As (Siti Hajar, ibunda nabi Ismail As). Saya pun memahaminya dengan baik setelah membaca buku karya Dispenza di atas. Kemudian, saya membaca dan mengelaborasikan dengan dua buku lainnya: buku Seni Merayu Tuhan karya Husein Ja’far Al-Hadar (2022), dan buku Kitab Pembebasan: Tafsir Progresif Atas Kisah-Kisah dalam Qur’an karya Eko Prasetyo (2016).
Husein Ja’far dalam bukunya tersebut, tepatnya pada sub judul “Merayu Tuhan ala Orang Madura” (2022: 39-44) pada intinya menggambarkan kepolosan orang Madura dalam beriman dan termasuk bagaimana mengkristalisasikan keimanannya tersebut salah satunya dalam bentuk ikhitar. Husain Ja’far menjelaskan “orang Madura itu berani jual bensin eceran di pintu keluar SPBU”.
Bukan hanya Husein Ja’far, saya, dan sahabat pembaca yang pasti heran dan menilai orang Madura itu ikhtiarnya tidak rasional, tidak logis dan kurang strategis. Pakar marketing pun bisa saja menilai orang Madura tersebut “aneh”—untuk tidak memberikan penilaian-penilaian keliru lainnya. Husein Ja’far menegaskan “Orang pasti berpikir, Ngapain beli eceran kalau ada pom bensin yang pasti lebih murah per liternya[?]”.
Husein Ja’far katanya pernah bertanya kepada mereka “Kenapa berani berjualan di pintu keluar pom bensin. Ternyata jawabannya, rezeki udah ada yang ngatur, jadi ndak usah khawatir”. Dan ternyata kenyataan yang diungkapkan oleh Husein Ja’far, “[Mereka para] penjual bensin eceran di pintu keluar SPBU itu sudah lama melakoni usahanya dan tetap mampu menghidupi keluarganya”.
Apa modal dan dasar mereka sehingga sikap dan ikhtiarnya berada dalam ruang-waktu—jika mengikuti teori marketing—tentunya bisa dipandang tidak rasional, tidak logis, dan kurang strategis. Menurut Husein Ja’far kekuatan utama mereka ada pada aspek paling utama dari Tuhan, yakni “Apa yang difirmankan Allah dalam Hadis Qudsi bahwa Aku (Allah) tergantung pada prasangka hamba-Ku”.
Memahami hadis Qudsi di atas dan untuk merasakan kedahsyatannya—mungkin selama ini,--kita hanya bermodalkan iman, keimanan atau keyakinan. Pada dasarnya dalam kehidupan ini, untuk memahami sesuatu dan merasakan kedahsyatannya, jika tidak menggunakan pendekatan iman atau keimanan, maka cara lainnya melalui ilmu pengetahuan.
Memahami hadis Qudsi di atas mungkin selama ini hanya menggunakan pendekatan iman atau keimanan, tetapi saya dan semoga sahabat pembaca pun seperti itu—minimal setelah membaca tulisan ini—memahaminya melalui pendekatan ilmu pengetahuan, sains terutama dalam perspektif fisika quantum. Cara terbaik memahaminya dengan membaca buku Dispenza di atas, buku lainnya yang bisa dibaca di antara sekian banyak buku yang relevan, adalah buku Quantum Ikhlas (2007) karya Erbe Sentanu, dan buku Law of Spiritual Attraction: Prinsip Sukses Beyond LOA (2008) karya Priatno H. Martokoesoemo, dan buku Quranic Law of Attraction (2022) karya Rusdin S. Rauf.
Sebagaimana teori fisika quantum—berbeda dengan fisika klasik/fisika newton—membangun satu pemahaman, kesadaran dan bisa memperkuat keyakinan bahwa pada dasarnya di medan quantum diri kita melalui pikiran dan perasaan itu terkoneksi antara objek atau benda yang satu dengan yang lainnya. Selain dari itu, kita melalui pikiran dan perasaan mampu memengaruhi jenis realitas tertentu yang relevan atau memiliki frekuensi yang sama.
Pada masa dominiasi pemahaman fisika klasik/fisika newton atau sebelum ditemukan teori fisika quantum, dipahami bahwa antara materi dengan energi dan/atau pikiran itu terpisah. Diri kita tidak bisa memengaruhi realitas. Penegasan lainnya, pikiran dan perasaan tidak terkoneksi antara yang satu dengan yang lainnya, dan tidak memengaruhi realitas yang akan terjadi. Bahkan atom dipandang sebagai sesuatu yang lebih banyak mengandung hal material. Berbeda dengan itu fisika quantum menegaskan atom itu lebih banyak mengandung hal immaterial.
Secara sederhana bisa dipahami bahwa realitas yang akan terjadi adalah respon dari gelombang elektromagnetik yang dipancarkan dan saling terkoneksi di medan quantum. Gelombang elektromagnetik dahsyat yang dipancarkan setiap manusia dan melalui medan quantum mampu menentukan dan memengaruhi jenis realitas yang akan terjadi adalah gelombang yang antara sinyal listrik (elektrik) dan daya magnetisnya selaras. Sinyal listrik dari diri kita berasal dari pikiran, dan daya magnetis berasal dari perasaan.
Ketika sinyal listrik dari pikiran dan daya magnetis dari perasaan gelombangnya selaras maka menghasilkan gelombang elektromagnetik yang dahsyat. Untuk memahaminya, bisa dipahami dari parafrase berikut: Ketika kita berpikir berbagai metode untuk menjadi kaya tetapi kita selalu merasa miskin atau kekurangan maka inilah contoh gelombang elektrik dan magnetis yang tidak selaras. Dan itu berarti di medan quantum efeknya sangat lemah untuk mewujudkan harapan.
Apapun jenis gelombang elektromagnetik yang kita pancarkan—yang selaras antara sinyal listrik (elektrik) dari pikiran dan daya magnetis dari perasaan—itu terutama dan berawal melalui medan quantum, mampu memengaruhi realitas yang terjadi. Ketika gelombang elektromagnetiknya positif maka hasilnya melalui realitas juga positif. Begitu pun sebaliknya, jika gelombang elektromagnetiknya negatif maka negatif pula.
Pemahaman inilah yang bisa menjadi kristalisasi dari kedahsyatan dan rasionalitas atau pemahaman logis dari Hadis Qudsi tersebut di atas. Selain itu, inilah pula yang bisa menjadi basis pemahaman dan kesadaran rasionalitas dari model ikhtiar orang Madura tersebut.
Selama ini, kita telah memiliki pemahaman dan kesadaran kokoh yang bisa disebut berpikir realistis sehingga ketika kita menemukan model ikhtiar seperti orang Madura tersebut, kita seakan tidak ingin memercayainya. Kita menyebutnya orang Madura itu aneh, ikhtiarnya tidak logis, tidak rasional, dan kurang strategis. Padahal dari pemahaman di atas, cara orang Madura tersebut memiliki basis yang kokoh baik secara teologis maupun secara saintifik.
Selain dari Orang Madura belajar konsep ikhtiar yang terbaik, bisa pula melalui istri nabi Ibrahim As (Siti Hajar, ibunda nabi Ismail As). Telah dikisahkan, dan pasti kita semua telah pernah membaca atau mendengarkan kisah tersebut bahwa ketika nabi Ismail As masih bayi dirinya pernah mengalami situasi yang berpotensi mengalami dehidrasi karena dirinya kehausan, sehingga tangisnya pecah. Ibunya, Siti Hajar terkejut dan kebingungan karena semua bekal atau persediaan air telah habis.
Untuk memenuhi kebutuhannya tersebut dirinya berlari bolak balik sebanyak tujuh kali dari bukit Safa ke Marwa. Yang dilakukan oleh Hajar ini—kini dikenal dan menjadi bagian dari rukun haji yaitu “Sai”—tujuannya adalah untuk mencari sumber air atau bertemu dengan kafilah yang lewat. Singkat cerita dari kisah tersebut, perjuangannya atas rasa cintanya yang besar kepada anaknya Ismail, dengan berlari tujuh kali bolak-balik tidak membuahkan hasil. Atau hasilnya nihil.
Atas ikhtiarnya yang dilandasi oleh pikiran dan perasaan positif dengan basis keimanan yang kokoh dan rasa cinta yang amat besar, di mana sejak awal, ketika dirinya ditinggalkan bersama bayinya Ismail oleh suaminya nabi Ibrahim di suatu lembah yang sunyi dan mencekam, telah memiliki keyakinan dan kepasrahan yang tinggi akan pertolongan dan perlindungan Allah. Suaminya pun, Ibrahim menegaskan “Aku menitipkanmu pada perlindungan Allah”. Inilah yang menghasilkan sehingga pada saat itu keajaiban terjadi. Air yang dibutuhkan memancar di dekat kaki nabi Ismail yang pada saat itu masih bayi”. Dan kini sumber mata air itu, dikenal dengan air zam-zam.
Oleh Eko Prasetyo menegaskan “Air zam-zam bukan muncul dari teknologi maju. Air itu tidak diperoleh dari penyulingan perkebunan. Air itu terbit sebagai jawaban ikhtiar menajubkan seorang ibu”. Selain itu Eko juga melukiskan bahwa “Safa dan Marwa bukan sekadar kisah mengenai ujian melainkan juga bagaimana keyakinan itu memiliki akar yang kokoh. Hajar menjadi contoh teragung bagaimana seorang itu bersikap pasrah. Dan sebagai contoh bagaimana seseorang berserah diri”.
Dalam kehidupan ini, sebenarnya bukan hanya dilihat dari logika kerja keras dan kerja cerdas, atau bagaimana rasionalitas dan strategisnya ikhtiar yang dilakukan, tetapi sejauhmana pikiran dan perasaan positif selaras dengan basis nilai kokoh dari keimanan, keyakinan kepada Allah, dan tingkat kepasrahan diri menjalani kehidupan dengan penuh rasa cinta”.
Hanya saja memang, kita masih seringkali mengatakan bahwa kita harus berpikir dan berperasaan realistis, padahal jika kita memahami hukum, mekanisme, dan prinsip kerja fisika quantum, pernyataan ini pun sesungguhnya berpotensi menjadi penghambat dalam merasakan sesuatu yang bisa dimaknai miracle (keajaiban) atau sesuatu yang terkesan di luar nalar, rasionalitas, dan logika. Apa yang difirmankan Allah melalui hadis qudsi di atas begitu pun temuan hukum dan mekanisme kerja fisika quantum, telah menegaskan seperti apa seharusnya ikhtiar yang kita lakukan.
Mari kita merenungkan bahwa sesungguhnya kemerdekaan Indonesia pun dimulai dari pikiran dan perasaan yang tidak realistis dari para founding fathers. Jika para founding fathers pada saat itu harus berpikir realistis, maka mereka tidak memiliki kekuatan dan semangat karena kondisi Indonesia pada saat memiliki banyak kekurangan, dan semakin terasa jika dibandingkan dengan yang dimiliki oleh para penjajah.
Mereka atau para founding fathers adalah orang-orang yang memiliki pikiran dan perasaan yang selaras tentang impian Indonesia Merdeka, dan dilandasi dengan keyakinan atau keimanan yang kokoh, serta rasa cinta tanah air yang besar. Mereka sesungguhnya mengkristalisasikan hadis qudsi dan hukum fisika quantum—meskipun mungkin mereka tidak menyadarinya dan/atau belum memahaminya.