Ketika Uang Tak Boleh Tidur: Pelajaran dari Purbaya dan Al-Qur’an
Oleh: Rusydi Umar, Dosen FTI Universitas Ahmad Dahlan, Anggota MPI PP Muhammadiyah (2015-2022)
Dalam rapat koordinasi pengendalian inflasi daerah 2025, Purbaya Yudhi Sadewa mengingatkan hal yang menarik. Ia berkata, “Kelola dana pemda di bank dengan bijak. Simpan secukupnya untuk kebutuhan rutin, tapi jangan biarkan uang tidur. Uang itu harus kerja bantu ekonomi daerah.” Pesan sederhana, tapi sarat makna ekonomi dan moral. Ia ingin mengatakan: jangan biarkan uang hanya menjadi angka di kas. Biarlah ia berputar, memberi manfaat, menggerakkan roda ekonomi masyarakat.
Pernyataan itu, bila dilihat dari kacamata Islam, sesungguhnya sejalan dengan spirit syariah. Dalam Islam, harta bukanlah benda yang mati; ia memiliki dimensi sosial yang hidup. Uang tidak boleh mandek karena ia memikul amanah: menyejahterakan manusia, bukan sekadar menambah saldo. Islam memandang harta sebagai titipan Allah yang harus berfungsi sosial, bukan hanya alat memenuhi ambisi pribadi. Maka, ketika Menteri Purbaya berbicara tentang “uang yang harus bekerja”, itu sejatinya bersuara dalam frekuensi yang sama dengan etika Al-Qur’an.
Islam sangat tegas mengingatkan bahaya menimbun kekayaan tanpa manfaat sosial. Dalam surah At-Taubah ayat 34-35, Allah menegaskan ancaman terhadap orang-orang yang menimbun emas dan perak tetapi tidak menginfakkannya di jalan Allah. Di hari kiamat, harta itu akan dipanaskan lalu dibakar ke dahi, lambung, dan punggung mereka, seraya dikatakan: “Inilah harta yang kamu timbun untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah akibat dari apa yang kamu simpan.” Ayat ini mengguncang kesadaran: bukan menabung yang salah, tetapi ketika tabungan itu memutus hubungan social, tak ada zakat, tak ada sedekah, tak ada berbagi.
Surah Al-Humazah ayat 1-2 juga memperingatkan dengan tajam: “Celakalah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya.” Orang seperti ini digambarkan mengumpulkan dan menghitung-hitung harta yang membuatnya menjadi kikir dan tidak mau menginfakkannya di jalan. Ia lupa bahwa harta tanpa nilai sosial hanyalah timbunan beku yang akan membawanya ke neraka. Sementara Ali Imran ayat 180 menegaskan: “Dan jangan sekali-kali orang-orang yang kikir dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya mengira bahwa (kikir) itu baik bagi mereka, padahal (kikir) itu buruk bagi mereka. Apa (harta) yang mereka kikirkan itu akan dikalungkan (di lehernya) pada hari Kiamat.” Ayat-ayat ini mengajarkan keseimbangan antara memiliki dan menyalurkan; antara mencari dan memberi.
Dengan demikian, Islam tidak menolak penyimpanan harta, tapi menolak kemandekan nilai sosialnya. Boleh kaya, boleh punya banyak tabungan, boleh investasi di berbagai instrumen, asal diikuti dengan zakat, infak, dan sedekah. Ketika aspek itu diabaikan, kekayaan berubah menjadi beban moral yang berat. Maka, peringatan Purbaya agar “uang tidak tidur” menemukan resonansinya dalam perintah Allah agar harta terus bergerak dalam kebaikan.
Jika kita tarik ke konteks kebijakan publik, uang daerah yang hanya diam di rekening pemerintah sejatinya kehilangan fungsi sosialnya. Ia tidak memberi nilai tambah bagi masyarakat, tidak menciptakan lapangan kerja, tidak menggerakkan konsumsi lokal. Dalam bahasa ekonomi Islam, uang yang diam berarti terputus dari maqashid al-syari’ah, tujuan syariat yang salah satunya adalah menjaga kemaslahatan manusia. Karenanya, ketika Purbaya mengingatkan agar uang daerah “kerja bantu ekonomi daerah,” itu bukan hanya pesan ekonomi, tapi juga dakwah moral: harta harus mengalir, memberi manfaat, dan hidup dalam fungsi sosialnya.
Namun, pertanyaannya kemudian muncul: apakah dengan begitu Islam menolak kekayaan? Apakah orang beriman harus hidup sederhana saja dan tak boleh kaya? Jawabannya tentu tidak demikian. Islam justru mendorong umatnya menjadi kuat secara ekonomi. Dalam Surah Al-Jumu’ah ayat 10, Allah berfirman, “Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah” Ini adalah perintah eksplisit untuk bekerja dan berusaha. Lalu dalam An-Najm ayat 48, disebutkan bahwa “dan sesungguhnya Dialah yang memberikan kekayaan dan kecukupan.” Artinya, kekayaan bukanlah aib, tapi anugerah. Dan dalam At-Taubah ayat 105, Allah menegaskan, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin.” Kekayaan yang dihasilkan dari kerja keras dan cara yang halal justru menjadi bagian dari ibadah.
Rambu-rambu Islam terhadap kekayaan jelas: cara memperolehnya harus halal, dan cara menggunakannya harus bermanfaat. Surah An-Nisa ayat 29 mengingatkan, “Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.” Artinya, kekayaan yang diraih dengan kezaliman, korupsi, atau manipulasi, tidak akan membawa berkah. Uang boleh berputar cepat, tapi jangan sampai menggilas keadilan.
Di sinilah Islam menampilkan wajah keseimbangannya: bekerja keras tapi tidak rakus; menyimpan tapi tidak kikir; kaya tapi tetap dermawan. Prinsipnya bukan “anti-menabung”, melainkan “anti-menimbun”. Sebab menimbun berarti memutus rantai manfaat, sementara menabung berarti mempersiapkan masa depan sambil tetap berbagi.
Purbaya berbicara dari sisi ekonomi, tetapi Al-Qur’an sudah lama mengajarkan hal yang sama dari sisi etika: jangan biarkan uang tidur. Biarkan ia bekerja, bukan hanya untuk kepentingan individu atau pemerintah daerah, tapi untuk kehidupan yang lebih luas. Harta yang mengalir dalam kebaikan bukan sekadar menjaga inflasi, tapi menjaga nurani manusia tetap hidup, bahwa setiap rezeki sejatinya adalah amanah yang harus ditunaikan.


