SURABAYA, Suara Muhammadiyah - Aqidah Milenial dalam Era Digital menjadi tema Pengajian Ahad Muhammadiyah. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Ngagel yang bertempat di SMP Muhammadiyah 5 dengan pemateri Prof Dr Menachem Ali, pada Ahad (12/1).
Mengawali pengajian, Ustdaz Menachem menjabarkan Alquran terdiri atas 114 surat, dari Al Fatihah sampai An Nas. Menariknya, ia melanjutkan, 2/3 dari Alquran itu berisi qishah.
“Qishah berbeda dengan kisah ya,” ungkapnya. Menurutnya kisah bisa fakta bisa fiksi. Seperti kisah Malin Kundang, itu termasukk fiksi. Sementara kisah seperti Perang Diponegoro, itu termasuk fakta.
Sedangkan qishoh dalam Alquran semua berupa fakta dan bisa divalidasi kebenaran. “Ini porsi jumbo,” ucapnya.
Lebih lanjut, ahli Filologi ini mencontohkan tokoh yang bisa mewakili generasi senior dan junior, yakni Ibrahim dan putranya yang bernama Ismail. Mengapa menyebut tokoh ini. Karena Ibrahim, Ibraham, atau Abraham, bukan hanya tokoh yang dicantumkan dalam Alquran, tapi juga dicantumkan dalam kitab orang Yahudi-Nasrani bahkan kitab orang Hindu. Ia merupakan tokoh yang representatif untuk generasi milenial.
Ia mengungkapkan Ibrahim dan Ismail mewakili dua generasi. Dua tokoh yang memiliki karakter luar biasa. Ibrahim memiliki karakter yang halim. Ia mampu memandu dan mendidik generasi berikutnya, yakni Ismail.
Menurutnya dalam mendidik putranya, Ibrahim tidak hanya berorientasi pada dunia. Seperti doa yang ia sampaikan yang termaktub dalam Surat Ayat As-Shaffat ayat ke-100: Robbi hablii minash Sholihin. Ia bukan sekadar minta keturunan, tapi keturunan yang shalih. Jika hanya keturunan maka orientasi hanya dunia, tapi jika keturunan yang shalih maka orientasinya adalah akhirat.
Qishah berikutnya seperti tercantum dalam Surat Al Baqarah ayat 127, “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." “Ketika Ibrahim membangun pondasi baitullah, Ismail menyaksikan dan menyertai. Hal itu menunjukkan pendidikan secara langsung yang dicontohkan oleh Ibrahim,” jelasnya.
Dalam kenyataan, Dosen Unair ini mengungkap banyak guru mengajar hanya karena mengharap gaji. Yang perlu diperhatikan tujuan dunia pendidikan bukan hanya investasi dunia, namun dunia-akhirat. Jika hanya dunia, maka gagal. Tugas guru mengajar dan mendidik, bukan hanya sekadar mengajar saja.
Berikutnya, ia juga mencontohkan hubungan yang harmonis antara genearsi senior dan yunior. Seperti yang termaktub dalam Surat As-Shaffat ayat 102. Ketika Ibrahim memanggil putranya dengan, Yaa bunayya (wahai anakku), maka disitulah ada ikatan cinta. Setelah itu baru ia menceritakan tentang mimpinya (membangun komunikasi), “inni ara fil-manami annī adzbaḥuka fanẓur madza tara.” (Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!).
“Ketika Ibrahim memanggil putranya dengan yaa bunayya (wahai anakku), maka Ismail menjawab dengan Yaa abati (wahai bapakku). Itu bahasa nyata, bukan bahasa basa-basi,” jelasnya.
Oleh karena itu, ia mengajak kepada semua hadirin agar mencipktakan generasi-generasi Ibrahim dan Ismail pada generasi saat ini. Generasi yang bukan hanya berorientasi pada dunia, tapi juga untuk akhirat. (Azizah/diko)