Belajar Toleransi dari Dua Lebaran
Penulis: Syahid Mujibur Rahman, Tinggal di Panaragan Jaya, Kecamatan Tulang Bawang Tengah, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Lampung
Salah satu pelajaran keagamaan paling penting dalam hidup saya justru tidak saya peroleh dari mimbar khutbah atau bangku pengajian, melainkan dari pengalaman sederhana di rumah sendiri: merayakan Idulfitri di hari yang berbeda, namun tetap dalam satu keluarga.
Bapak saya adalah simpatisan Muhammadiyah, sementara ibu saya lahir dan besar di lingkungan Nahdlatul Ulama, di sebuah pekon di Pringsewu, Lampung. Dua latar keagamaan ini bertemu dalam satu rumah, tanpa pernah merasa perlu saling mengoreksi secara keras, apalagi memperdebatkan siapa yang paling benar.
Sejak kecil, saya sering mengikuti bapak salat berjamaah di masjid Muhammadiyah. Masjid Istiqomah Panaragan Jaya ( Rawa Kebo) dan Masjid Baitul Makmur, Panaragan jaya Utama, (Jogja) Tulang Bawang Barat menjadi ruang awal saya mengenal disiplin ibadah dan keteraturan saf. Tidak jarang, saya sudah bertakbir dan salat Id bersama bapak, sementara ibu masih menjalani puasa Ramadhan. Keesokan harinya, ibu baru berangkat salat Id, dan saya kembali ikut mengantarnya.
Di mata anak kecil, hal itu terasa biasa saja. Namun ketika dewasa, saya menyadari bahwa pengalaman itu sesungguhnya adalah pendidikan toleransi yang sangat konkret. Tidak ada perdebatan di meja makan, tidak ada penghakiman tentang metode hisab atau rukyat. Yang ada hanyalah saling menghormati keyakinan masing-masing.
Saya masih mengingat wajah-wajah jamaah sepantaran bapak: almarhum Pak Padak, almarhum H. Suwardi—ayah dari H. Susilo Aris Nugroho yang kini menjadi Ketua PDM Tubaba —almarhum H. Tugiman, Pak Abdul Kadir, dan beberapa nama lain yang kini perlahan hilang dari ingatan. Mereka adalah saksi hidup bahwa perbedaan pandangan keagamaan tidak pernah menghalangi ukhuwah.
Suatu ketika saya menemukan kartu anggota Muhammadiyah milik bapak, masih berupa kertas sederhana yang dilaminating, dengan alamat Klaten, Jawa Tengah. Kartu itu bukan sekadar identitas organisasi, melainkan simbol kesetiaan pada keyakinan yang dijalani dengan tenang, tanpa merasa perlu menegasikan orang lain.
Pengalaman dua Lebaran dalam satu rumah mengajarkan saya satu hal penting: agama tidak selalu harus dibela dengan perdebatan, tetapi dengan keteladanan. Perbedaan penetapan hari raya bukanlah persoalan akidah, melainkan wilayah ijtihad yang sejak dulu memang membuka ruang perbedaan.
Dalam Islam, perbedaan seperti ini bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk disikapi dengan kedewasaan. Sebab tujuan utama ibadah bukanlah keseragaman tanggal, melainkan ketaatan, keikhlasan, dan persaudaraan.
Kini, ketika perbedaan sering dibesar-besarkan di ruang publik dan media sosial, pengalaman masa kecil itu terasa semakin relevan. Bahwa di rumah kecil kami dahulu, toleransi telah dipraktikkan tanpa istilah besar, tanpa wacana panjang—cukup dengan saling menghormati dan menjaga adab.

