Bisakah Muhammadiyah Menjawab Tantangan Kesehatan Mental di PTMA?

Publish

10 October 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
572
Sumber Foto Unsplash

Sumber Foto Unsplash

Bisakah Muhammadiyah Menjawab Tantangan Kesehatan Mental?

Oleh: Nurul Kodriati,Ph.D

Hari kesehatan jiwa diperingati setiap tahunnya pada tanggal 10 Oktober. Pertama kali diperingati di tahun 1992 atas Prakarsa Wakil sekretaris jenderal, Richard Hunter. Semenjak itu, menjadi agenda tahunan World Federation for Mental Health (WFMH). Tujuan awal adalah untuk mengkampanyekan advokasi kesehatan mental dan mendidik masyarakat tentang isu-isu yang relevan terkait kesehatan mental. Tiga tahun pertama, WFMH hadir dalam siaran global melalui system satelit selama dua jam dari studio-studio Talahasse, Florida. Tema pertama yang dipilih di tahun 1994 adalah “meningkatkan kualitas layanan kesehatan mental di seluruh dunia” 27 negara memberikan respons atas kampanye ini.

Kesehatan mental adalah keadaan Sejahtera mental yang memungkinkan seseorang mengatasi tekanan hidup, menyadari kemampuannya, beraktifitas dengan baik dan mampu berkontribusi pada komunitasnya. Kesehatan mental adalah hak asasi manusia yang mendasar yang penting untuk pengembangan pribadi, komunitas, dan sosial-ekonomi.

Berbagai faktor penentu individu, sosial dan struktural dapat bergabung untuk melindungi atau melemahkan kesehatan mental kita dan mengubah posisi kita dalam kontinum kesehatan mental. Faktor psikologis dan biologis individu seperti keterampilan emosional, penggunaan zat adiktif dan genetika membuat orang tertentu lebih rentan terhadap masalah kesehatan mental. Ditambah lagi, paparan kondisi sosial, ekonomi, geopolitik dan lingkungan yang tidak menguntungkan, termasuk kemiskinan, kekerasan, kesenjangan, kerusakan lingkungan, dan juga kurangnya sumber daya manusia dan anggaran kesehatan mental di negara-negara berkembang termasuk Indonesia juga disinyalir dapat meningkatkan risiko masyarakat mengalami kondisi kesehatan mental .

Berbagai risiko tersebut dapat terjadi pada semua tahap kehidupan namun risiko yang terjadi pada periode sensitif perkembangan terutama masa kanak-kanak, sangatlah merugikan. Misalnya, pola asuh yang kasar dan hukuman fisik diketahui berdampak buruk pada kesehatan anak, dan penindasan merupakan factor risiko utama terhadap kondisi kesehatan mental seseorang. Data dari World Health Organization (WHO) tahun 2014 mencatat bahwa kematian akibat bunuh diri atau self-harm pada kelompok umur 15-29 tahun menduduki peringkat kedua (estimasi 6%) setelah kecelakaan lalu lintas. Namun, angka laporan kasus bunuh diri seringkali tidak terlaporkan secara faktual dikarenakan stigma, pandangan tabu masyarakat terhadap kesehatan mental sehingga menyebabkan pelaporan kasus bunuh diri dan kesehatan mental lainnya belum terdokumentasikan secara faktual. Khususnya di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, sekitar 76% hingga 85% orang dengan penyakit mental berat tidak menerima pengobatan untuk gangguan yang mereka alami. Kegagalan untuk mengatasi permasalahan kesehatan mental pada remaja dapat membuat kondisi ini berlanjut ke tahap dewasa, mengganggu kesehatan mental dan fisik dan membatasi kesempatan untuk hidup optimal sebagai orang dewasa.

Meskipun kasus kesehatan mental pada remaja semakin meningkat jumlahnya, sayangnya isu sensitif ini masih jarang menjadi perhatian keluarga maupun institusi pendidikan. Tak bisa dipungkiri bahwa isu kesehatan mental di kalangan remaja merupakan isu kesehatan masyarakat yang serius dengan konsekuensi peningkatan kualitas hidup masyarakat di sebuah negara, sehingga isu tersebut menjadi target dalam Sustainable Development Goals (SDG) pada goal 3 target 3.4 tentang penurunan kematian akibat non communicable diseases (NCDs) atau penyakit tidak menular melalui kegiatan promosi, pencegahan, dan pengobatan untuk kesehatan mental dan peningkatan kualitas hidup. Bahkan WHO juga mengusung program Mental Health Action Plan, program tersebut menjelaskan pentingnya promosi kesehatan mental dan pencegahan mental disorders pada level awal kehidupan dengan melakukan intervensi psikososial dan intervensi non-farmakologi. Sebuah studi yang dilakukan di Ghana dan Jepang menunjukkan bahwa intervensi program mental health di lembaga pendidikan dapat dipertimbangkan sebagai media promosi yang menjanjikan di negara berkembang.

Kasus mental health juga banyak ditemui di Yogyakarta. Sampai dengan Juli 2023, telah terdapat 30 orang warga DIY bunuh diri. Di Bulan Juli bahkan terdapat empat kasus bunuh diri dalam lima hari berturut-turut. kasus bunuh dirinya secara umum terjadi di Perguruan Tinggi (PT) swasta maupun negeri. Akan tetapi, kasus terakhir di Bulan September terjadi pada mahasiswa PT Swasta swasta. Kondisi ini merupakan kondisi emergensi yang perlu segera mendapat perhatian bersama. Situasi yang telah disampaikan sebelumnya menunjukkan bahwa universitas dan remaja merupakan kelompok usia yang rentan terhadap kesehatan mental. Universitas sebagai lembaga pendidikan merupakan tempat yang vital untuk melakukan promosi kesehatan mental. Universitas bukan hanya sebagai lembaga pendidikan tinggi yang bersifat untuk mengidentifikasi dan mendukung kemampuan kognitif dan juga masalah emosional remaja saja, tetapi lebih kepada memberikan promosi tentang bagaimana meningkatkan kualitas hidup dari aspek sosial, emosional, dan moral.

Penanganan isu kesehatan mental ini tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah saja, tetapi perlu berkolaborasi dengan berbagai pihak termasuk perguruan tinggi Muhammadiyah (PTMA). Sebagai bukti kepedulian Pemerintah Indonesia terhadap isu kesehatan mental yaitu diterbitkannya undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa yang menjamin bahwa setiap orang dapat mencapai level kualitas hidup yang baik, dapat mengembangkan potensi diri, mendapatkan layanan kesehatan jiwa serta dapat terpenuhi semua hak-haknya sebagai warga negara Indonesia. Selain itu, pemerintah juga menerbitkan peraturan bersama empat menteri terkait pembinaan dan pengembangan usaha kesehatan sekolah/madrasah. Hasil studi terkait kesehatan mental di sekolah di Asia Tenggara menyebutkan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara yang memberikan perhatian terhadap isu kesehatan mental di sekolah dengan menyediakan layanan pendidikan bagi individu dengan mental illness berbasis pendekatan inklusi. Selain itu, upaya untuk melakukan promosi dan pencegahan kesehatan mental di ranah lembaga pendidikan diantaranya adalah layanan konseling di level sekolah dan pelatihan guru terkait kesehatan mental. Namun sayangnya, kurikulum pendidikan kesehatan di Indonesia masih berfokus pada kesehatan fisik dan belum mencakup kesehatan mental.

Negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Filipina, dan Singapura, yang telah memiliki regulasi dan hukum negara yang dapat mengukur tentang promosi kesehatan mental di sekolah-sekolah. Bahkan di Myanmar, memiliki program “The parent-teacher association (PTA) yang menyediakan layanan konseling untuk siswa dengan masalah psikososial atau kesehatan jiwa dan komite kesehatan sekolah akan memberikan laporan monitoring evaluasi mengenai perkembangan kesehatan mental siswa setiap bulan. Di Thailand dan Vietnam, di masing-masing lembaga pendidikan bekerja sama dengan penyedia layanan kesehatan mental. Sampai saat ini, Indonesia belum mengintegrasikan isu kesehatan mental dalam kurikulum, kebijakan maupun indikator mutu universitas. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan maupun upaya tersistematis yang mendukung kesehatan mental dan kebahagiaan sivitas akademikanya masih belum menjadi prioritas. Padahal isu ini sangat penting dan berdampak besar pada Masyarakat. Pembelajaran penanganan masalah isu kesehatan mental di negara-negara lain dapat dijadikan acuan lembaga pendidikan tinggi muhammadiyah untuk mengimplementasikan program kesehatan mental di level universitas dengan melibatkan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) seperti rumah sakit atau lembaga konseling dan mengembangkan indikator-indikator kesehatan mental untuk menilai kualitas catur darma perguruan tinggi.   

Nurul Kodriati,Ph.D, Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan, Peminatan Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Toleransi Dibalik Narasi Moderasi Beragama Oleh Badru Rohman, Kokam Solo Raya Dalam konteks keIndo....

Suara Muhammadiyah

22 December 2023

Wawasan

Menjadi Pemenang: Sudah Waktunya Muhammadiyah Menjadi Pemenang Bukan Follower Oleh: Saidun Der....

Suara Muhammadiyah

21 November 2023

Wawasan

111 Tahun Muhammadiyah: Bergerak Nyata, Berkontribusi untuk Indonesia dan Dunia Oleh: Asyraf Al Far....

Suara Muhammadiyah

18 November 2023

Wawasan

Integrasi Teori Behavioristik, Kognitif, dan Konstruktivis dalam Teknologi Pendidikan Oleh: Sadrian....

Suara Muhammadiyah

7 December 2023

Wawasan

Relevansi Gerakan IMM pada Era Digital Oleh: Khoirul Iksan, Kader IMM Klaten Dalam kurun waktu 60 ....

Suara Muhammadiyah

29 March 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah