Oleh: Melinda Ayu P, Kader Nasyiatul Aisyiyah Lamongan
Ekofeminisme adalah sebuah istilah baru yang tumbuh dari berbagai gerakan sosial yakni gerakan feminis, perdamaian dan ekologi pada tahun 1970 -an dan awal 1980-an. Namun baru menjadi popular dalam kaitannnya aktivitas menentang perusakan lingkungan hidup, yang semula dipicu oleh bencana eko- logis yang terjadi secara berulang-ulang.
Bila kita membahas tentang ekofem- inisme maka kita berbicara tentang adanya ketidakadilan di dalam masyarakat terhadap perempuan. Ketidakadilan terhadap perem- puan dalam lingkungan ini berangkat pertama-tama dari pengertian adanya ketidakadilan yang dilakukan oleh manusia terhadap alam. Karena per- empuan selalu dihubungkan dengan alam maka secara konseptual, simbolik dan linguistik ada keterkaitan antara isu feminis dan ekologis.
Atas dasar pemikiran tersebut maka para feminis perlu menyadari keterkaitan antara perempuan dengan alam. Hal yang lebih penting dan perlu digarisbawahi di sini adalah menyadari adanya hubungan kekua- saan yang tidak adil, adanya model relasi dominasi di dalam wacana lingkungan hidup yang sama persis dengan wacana perempuan. Para ekofeminisme tidak ingin mengem- balikan perempuan pada argumentasi mitos, stereotop dan domistikasi, akan tetapi ingin melihatnya sebagai argumentasi berdasarkan kesadaran feminis, yakni, melihat adanya relasi yang harus imbang di dalam masyarakat, demikian pula relasi di dalam wacana lingkungan.
Selain itu, ekofeminisme sangat menekankan perlunya mengakhiri perebutan kekuasaan dan mulai berbagi serta menumbuhkan rasa kebersamaan di antara penduduk agar semua orang dapat hidup berdampingan dengan aman dan harmonis. Faktanya, semangat berbagi adalah landasan kelangsungan hidup dan pembangunan semua hal yang membutuhkan hubungan yang penuh kasih dan adil—hubungan yang diperlukan untuk menciptakan masyarakat yang memprioritaskan hak-hak perempuan.
Manusia dalam kehidupannya sangat bergantung pada sumber daya alam seperti air, tanah, energi, keanekaragaman hayati, dan ekosistem yang sehat. Sumber daya alam juga penting untuk memungkinkan masyarakat mengatasi kemiskinan. Dampak dari masalah lingkungan kini semakin meluas pada hampir setiap aspek masyarakat, isu lingkungan seperti perubahan iklim dan bencana yang dulunya hanya bersifat lingkungan kini menjadi politik dan pembangunan, dalam hal lingkungan hidup dan berkurangnya fungsi pelayanan aset alam, perempuan merupakan salah satu kelompok penerima manfaat terbesar.
Hampir semua orang di belahan bumi menentang kerusakan lingkungan, namun gerakan perempuan terutama perempuan di desa dan pinggiran kota lebih menonjol dalam perlawanannya terhadap kerusakan lingkungan. Hal ini dipicu karena mereka sadar penyebab utama kerusakan lingkungan biasanya adalah perambahan dan penggundulan hutan, pembuangan limbah sembarangan, pembangunan pabrik yang mulai merambak ke desa, pencemaran sungai-sungai besar.
Peran perempuan yang dapat dilakukan guna menjaga kelestarian lingkungan seperti, sampah rumah tangga acap kali dihiraukan dan dibuang sembarangan kita bisa melakukan pengelolaan sampah sendiri dengan memilah sampah organik bisa dijadikan kompos, memilah sampah plastik yang masih bisa digunakan jika sudah tidak bisa maka kita dapat mengumpulkan untuk disetor di bank sampah terdekat jika ada. Membawa kantong belanja saat berbelanja kebutuhan, menggunakan pembalut kain agar bisa dicuci dan dipergunakan kembali, memasak sesuai kebutuhan agar tidak terbuang yang menyebabkan sampah makanan, mencuci pakaian atau piring dengan cairan ramah lingkungan seperti dari lerak, menggunakan kosmetik ramah lingkungan, usahakan membawa wadah ketika jajan diluar, membawa tumbler minum.
Selain upaya tersebut kita juga bisa bergabung dengan komunitas ataupun organisasi yang mendukung pelestarian lingkungan, ataupun jika tidak ada kita bisa mendirikan komunitas pencinta lingkungan agar semakin banyak perempuan dan masyarakat mengetahui akan pentingnya menjaga lingkungan dalam kehidupan. Peran perempuan sangat diperlukan demi terjaganya bumi dari kerusakan-kerusakan material maupun gaya hidup bumi.
Pada akhirnya pembahasan permasalahan lingkungan hidup tidak hanya terfokus pada lingkungan fisik biologis saja, namun juga lingkungan sosiokultural. Berbicara tentang budaya berarti berbicara tentang gagasan, nilai, adat istiadat, dan adat istiadat masyarakat setempat oleh karena itu, perlindungan lingkungan juga memerlukan pemahaman yang lebih mendalam terhadap pola pikir masyarakat tidak hanya perempuan saja.
Cara berpikir yang lebih ‘memahami’, humanistik, dan empati ini juga diamini oleh para ekofeminis yang berupaya mencapai terobosan dalam keadilan terhadap alam, dengan menggunakan analogi sosial bahwa akan selalu dimitoskan dengan perempuan.Pola pikir ekofeminis adalah bersikap baik terhadap alam, memahami alam, dan mengembangkan empati terhadap alam, dengan mengembangkan kesetaraan dan keadilan terhadap alam, tanpa mengeksploitasi atau merugikanalam, ini tidak bertentangan dengan gagasan mengeksploitasi dan merusak alam.