Merawat Kemabruran Haji
Oleh: Mohammad Fakhrudin
Bagi setiap muslim, cita-cita dapat menunaikan lima rukun Islam merupakan hal yang sangat mulia. Namun, di antara mereka, ada yang tidak dapat menunaikan ibadah haji. Ada berbagai penyebab. Di antaranya adalah ketidakmampuan biaya dan dijemput Izrail sebelum berhaji.
Waktu tunggu memang makin lama. Tentu kita harus husnuzan bahwa lamanya waktu tunggu itu bukan karena kebijakan pemerintah yang tidak peka terhadap denyut jantung keadilan. Kita husnuzan juga bahwa lamanya waktu tunggu bukan karena adanya oknum pejabat yang mempermainkan quota sebagaimana yang dikritisi oleh wakil rakyat yang sangat memahami harapan muslim umumnya.
Kita husnuzan pula bahwa muslim yang mengurusi ibadah haji adalah insan-insan amanah yang sadar berpeluang besar untuk mendapat pahala yang luar biasa besarnya. Oleh karena itu, mereka tidak mungkin berkhianat.
Menjelang Keberangkatan
Ketika akan berangkat ke tanah suci, di antara calon haji ada yang mengadakan pengajian dengan mengundang ustaz atau ustazah masyhur. Tidak terlewatkan, di dalam acara tersebut ada “walimah safar”. Bagi calon haji yang mampu dan mau, "walimah safar" diadakan besar-besaran mirip dengan resepsi pernikahan.
Hadir di dalam acara tersebut tidak hanya saudara, tetangga dekat, tetapi juga teman-teman. Tidak hanya saudara yang tinggal di satu kota, tetapi juga yang tinggal tidak satu kota dan sangat jauh
Tujuan calon haji mengadakan acara tersebut adalah mohon pencerahan, mohon doa, dan mohon pamit. Boleh dikatakan bahwa acara tersebut merupakan pembekalan sebagai penguatan mental bagi calon haji dan keluarganya.
Dari sisi lain acara itu dapat dimanfaatkan juga untuk syiar Islam. Hal yang sangat bagus, bukan?
Tentu ada juga calon haji yang mempunyai tujuan lain meskipun disembunyikan. Boleh jadi, ada yang lebih cenderung bertujuan memperoleh “pengakuan” dalam arti luas. Malahan, tidak tertutup kemungkinan ada yang ingin memperoleh dukungan di dalam pemilihan wali kota, bupati, gubernur, atau yang lain
Ada pula fenomena lain. Di antara calon haji, ada yang berpendapat bahwa memberitahukan bahwa dirinya akan beribadah haji pun tidak perlu. Apalagi, mengundang saudara, tetangga, atau teman. Bahkan, ada yang lebih ekstrem lagi. Ketika ada tetangga dan/atau teman yang akan hadir ke rumahnya untuk ikut mendoakan, dengan tegas ditolaknya. Alasannya adalah khawatir mendatangkan “ria” (bangga diri karena berbuat baik).
Untuk calon haji yang bagaimana pun pendapat dan sikapnya dan siapa pun mereka, kita tetap berdoa agar mereka menjadi haji mabrur. Banyak praktik baik untuk kehidupan di dunia dan di akhirat yang dapat diharapkan dari para haji mabrur. Mereka tentu diharapkan menjadi teladan hidup yang dapat memotivasi muslim yang belum berhaji agar berhaji. Di samping itu, mereka dapat diharapkan pula menambah jumlah orang saleh.
Ada juga tradisi sebagian muslim di beberapa daerah yang menyelenggarakan pelepasan calon haji diakhiri dengan mengumandangkan azan. Tradisi yang demikian bersifat turun-temurun. Mereka tidak tahu apakah hal itu disyariatkan atau tidak!
Selama di Tanah Suci, para calon haji pun tetap didoakan. Bahkan, sebagian muslim di derah tertentu mengadakan doa bersama selama 40 hari. Acara yang dihadiri oleh tetangga itu biasanya dipimpin oleh kiai ditemani oleh orang-orang yang menjadi “tim” untuk acara itu. Tentu ada kelengkapan acara itu, yakni konsumsi. Dalam hal biaya tidak semuanya ditanggung keluarga calon haji, tetapi juga berasal dari saudara-saudara, tetangga, dan teman-temannya juga.
Ketika di Tanah Suci
Banyak amalan bernilai ibadah yang dapat dikerjakan oleh jamaah (calon) haji selama di tanah suci. Di antara amalan yang disyariatkan untuk mendapat haji mabrur adalah berkata baik dan bersedekah selama haji. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيبُ الْكَلاَمِ
"Memberi makan dan berkata-kata baik." (HR. al-Baihaqi )
Dalam hubungannya dengan berkata yang baik ketika di Tanah Suci, beliau bersabda di dalam hadis di antaranya adalah HR Muslim berikut ini.
مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
"Barang siapa yang haji dan ia tidak rafats dan tidak fusuq, ia akan kembali pada keadaannya saat dilahirkan ibunya."
Larangan rafats, fusuq dan jidal tersebut sejalan dengan firman Allah Subhaanahu wa Ta'ala di dalam Al-Qur'an surat al-Baqarah (2): 197,
اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَا لَ فِى الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَّعْلَمْهُ اللّٰهُ ۗ وَتَزَوَّدُوْا فَاِ نَّ خَيْرَ الزَّا دِ التَّقْوٰى ۖ وَا تَّقُوْنِ يٰۤاُ ولِى الْاَ لْبَا بِ
"(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barang siapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!"
Ketika di Tanah Suci, sangat mungkin terjadi tiba-tiba istri atau suami, atau ada saudara, teman satu regu, atau teman satu rombongan yang tidak berselera makan atau menurun selera makannya. Hal itu dapat terjadi karena mereka mengalami kesulitan menyesuaikan dengan rasa masakan. Ketika menghadapi kenyataan tersebut, apa yang diucapkan?
Apakah:
(1)a. "Harus makan agar sehat. Jika sakit, nanti merepotkan yang lain!"
(1)b. "Harus makan. Kita harus sehat agar dapat menunaikan ibadah haji dengan baik."
Di samping itu, mungkin ada juga yang sakit. Lalu, apa yang dikatakan kepadanya?
Apakah:
(2)a. "Kalau sudah sakit begini, teman-teman jadi repot, kan? Ibadahnya jadi terganggu!"
(2)b. "Saya antar ke dokter, yuk. Insyaallah sehat! Tetap bersemangat! Allah Maha Menyembuhkan!"
Muslim mukmin yang berbekal takwa tentu dapat memilih mana perkataan yang baik!
Di Madinah
Shalat berjamaah di Masjid Nabawi. Pahalanya berlipat ganda dibandingkan dengan shalat berjamaah di masjid lain.
صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ مِنَ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ الْكَعْبَةَ
“Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih baik dair 1000 shalat di masjid lainnya kecuali Ka’bah”. (HR an-Nasai HR Ahmad)
Ibadah lain yang dapat dilakukan juga adalah (1) mengikuti kajian di majelis taklim, (2) mengikuti tutorial membaca Al-Qur'an, (3) menasihati agar menjaga kesehatan, dan (4) mengantarkan istri atau suami, saudara, teman satu regu atau teman rombongan yang sakit ke dokter
Di Mekkah
Shalat berjamaah di Masjidil Haram yang mempunyai keutamaan berpahala seratus ribu kali lipat dibandingkan dengan shalat di masjid lain.
وَعَنِ اِبْنِ اَلزُّبَيْرِ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا اَلْمَسْجِدَ اَلْحَرَامَ، وَصَلَاةٌ فِي اَلْمَسْجِدِ اَلْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةٍ فِي مَسْجِدِي بِمِائَةِ صَلَاةٍ (رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ)
“Dari Ibn az-Zubair radiyallahu 'anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda bahwa shalat di Masjid-ku (Masjid Nabawi) ini lebih utama dibandingkan dengan seribu shalat di masjid lain, kecuali di Masjidil Haram. Shalat di Masjidil Haram lebih utama dibandingkan dengan shalat di Masjidku dengan kelipatan pahala seratus ribu shalat.". (HR Ahmad)
Ibadah lain sebagaimana yang dilakukan di Medinah dapat pula dilakukan di Mekkah.
Kembali dari Tanah Suci
Setelah beribadah haji, semestinya kualitas iman dan takwa para haji makin baik. Mereka secara serius dan nyata melaksanakan perintah, tidak hanya yang berhukum wajib, tetapi juga yang berhukum sunnah. Bukan hanya ibadah mahdah yang kuantitasnya makin bertambah, melainkan juga ibadah yang bersifat “ghairu” mahdah dan kualitasnya pun makin bagus.
Ketika belum beribadah haji sudah menjadi dermawan, setelah berhaji makin dermawan. Yang semula kikir berubah menjadi dermawan. Yang semula sering berkata kotor dan kasar berubah menjadi orang yang sangat santun. Yang sudah santun, makin santun.
Sementara itu, mereka meninggalkan larangan Allah Subhanahu wa Ta’al tidak hanya yang haram, tetapi juga yang makruh. Bahkan, amalan yang mubah pun jika manfaatnya lebih sedikit daripada mudaratnya, ditinggalkan atau setidak-tidaknya dihindari.
Amalan lain seperti silaturahim dilakukannya makin intensif. Mengapa? Orang yang memutusnya tidak akan masuk surga sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam HR al-Bukhari dan Muslim berikut ini.
ا يَدْخُلُ اَلْجَنَّةَ قَاطِعٌ
"Tidak akan masuk surga orang yang memutus (silaturahmi)."
Berkenaan dengan ikhtiar secara intensif menjalin silaturahim, dia tidak menyakiti tetangganya, baik dengan ucapan maupun perilakunya karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda sebagaimana terdapat di dalam HR Muslim
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ، عَنْ أَبِي حُصَيْنٍ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِي جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيسْكُتْ
"Abu Bakr bin Abi Syaibah telah menceritakan kepada kami, dia berkata, Abu al-Ahwash telah menceritakan kepada kami, dari Abu Hushain, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah dia menyakiti tetangganya. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia memuliakan tamunya. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia mengucapkan perkataan yang baik atau diam.”
Di dalam hadis lain dijelaskan sebagai berikut.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
"Dari sahabat Abu Hurairah ra, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak masuk surga orang yang tetangganya tidak selamat dari kejahatannya,’” (HR Muslim).
Masih berkaitan dengan ikhtiar menjalin silaturahim adalah menghindari ucapan dan perilaku yang menunjukkan ria dan membanggakan diri. Ada orang yang pulang dari beribadah haji selalu menyebut atau menulis nama dirinya diawali dengan kata haji atau hajjah yang disingkat dengan H atau Hj. Ketika namanya disebut atau ditulis tanpa sebutan haji atau hajjah atau singkatan H atau Hj. dia merasa tidak dihargai. Wajahnya langsung berubah cemberut memperlihatkan kekecewaannya yang luar biasa. Di antara mereka ada yang sampai mengatakan, "Mahal lho biaya naik haji!. Tidak setiap orang bisa!"
Sikap seperti itu dapat menimbulkan rasa tidak senang pada teman-teman atau tetangganya. Mereka menganggapnya bahwa dia ria dan membanggakan diri. Akibatnya, silaturahim yang semula terjalin baik, justru terusik. Tegur sapa mulai tidak sehangat sebelumnya. Suasana shalat berjamaah di masjid atau di musala pun berubah. Keeksklusifan mulai tampak. Jamaah yang sudah beribadah haji mengelompok.
Tetap Didoakan
Sekembali beribadah haji, mereka tetap perlu didoakan. Mereka didoakan agar dapat merawat kemabruran hajinya dengan meningkatkan amal saleh,antara lain, dermawan dan berkata baik. Di samping itu, mereka meninggalkan amal salahnya seperti ria dan membanggakan diri, memutus silaturahim, dan menyakiti hati tetangga.
Selama ini ada kebiasaan sebagian muslim mengunjungi muslim yang baru pulang beribadah haji baru sekadar minta didoakan. Mereka lupa mendoakan atau memang belum mengerti, ya?
Allahu a’lam