YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Pilkada serentak 27 November mendatang menjadi momentum partisipasi aktif masyarakat dalam demokrasi. Pilkada bukanlah ritual penggantian pemimpin, “Penting mengarus utamakan gender, disabilitas, dan inklusi sosial. Mari kita mendukung kebijakan inklusif dalam Pilkada,” terang narasumber dari Forum Masyarakat Sipil Pemantau untuk Indonesia Inklusif (Formasi) Disabilitas, Nur Syarif Ramadhan.
Tak hanya Nur, dua narasumber lain juga mendukung terciptanya Pilkada yang inklusif pada webinar bertajuk Pendidikan Pemilih Cerdas untuk Pilkada dan Pembangunan Daerah yang Inklusif itu, Sabtu (02/11/2024) pagi. Dua narasumber lain yang diundang adalah Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah Ridho Al-Hamdi dan dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Angraini.
Ini merupakan kolaborasi yang dilakukan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Aisyiyah (LPPA) PP Aisyiyah dengan Program Inklusi Aisyiyah. Diketahui sebelumnya, (01/11/2024) Inklusi juga menyelenggarakan webinar tentang layanan kesehatan inklusif.
Belajar dari pengalaman Pemilu sebelumnya, “Isu politik uang memang masih menjadi PR besar kita. Juga tentang bagaimana kita memainstreamingkan Pemilu yang inklusif yang memberikan ruang yang sama kepada kelompok penyandang disabilitas, ibu-ibu atau masyarakat terpencil, dan ruang-ruang yang belum tersentuh,” ujar Tri Hastuti selaku Koordinator Program Inklusi Aisyiyah.
Menariknya selain tema, webinar ini juga berlangsung inklusif. Ada juru bicara isyarat yang menjadi penerjemah pemateri sehingga penyandang tunarungu juga bisa mengikuti kegiatan.
Dalam materinya, Ridho menyampaikan mengenai kebijakan politik kebangsaan Muhammadiyah-Aisyiyah pada Pilkada tahun ini. Menurutnya posisi politik Muhammadiyah sangat strategis.
Muhammadiyah tidak berpolitik praktis. Dalam konteks kelembagaan, keterlibatan dalam politik praktis dipahami ketika Muhammadiyah secara kelembagaan menyatakan sikap resmi tertulis atau mendeklarasikan diri di hadapan publik mendukung calon tertentu. “Selama ini tidak dilakukan, maka Muhammadiyah tidak terlibat secara partisan dalam politik praktis. Maka dari itu, dibutuhkan cara-cara yang strategis,” tegas Wakil Dekan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu.
Selanjutnya, ia juga menegaskan praktik-praktik politik yang sama sekali tidak dibenarkan, salah satunya tentang politik uang. Sudah dikaji sejak lama dan sudah disepakati oleh LHKP bersama Majelis Tarjih dan PP Muhammadiyah jika politik uang hukumnya haram.
“Muhammadiyah memfatwakan politik uang itu haram. Itu menjadi politik nilai yang harus Muhammadiyah dan Aisyiyah perjuangkan,” tegasnya.
Menurutnya, politik uang membentuk cara berpikir masyarakat yang pragmatis. Ini membuat masyarakat menjadi suka meminta-minta.
Senada, Titi menegaskan tidak ada toleransi untuk politik uang. Jika melihat UU Pilkada Pasal 187A ayat 1 dan 2, dapat ditarik kesimpulan jika politik uang itu haram.
Hukuman diberikan tidak hanya bagi pelaku, tapi juga penerima. “Kalau pasal 187 A ayat 1 dan 2 ditegakkan dengan benar, politik uang itu bukan hanya haram tapi hukumannya betul-betul membuat jera,” terangnya menerangkan mengenai landasan konstitusi Pilkada.
Terakhir, Titi menyampaikan jika pembangunan demokrasi harus tetap dikawal setelah Pilkada. Pengkajian demokrasi dimulai dengan mengkaji perbaikan sistem atau aturan main yang bisa diusulkan.
Oleh karena itu selain mengawal Pilkada, tambahnya, “Kita harus segera bergegas untuk melakukan pengawalan agenda pembangunan demokrasi yang sudah di depan mata, yaitu revisi Undang-undang Pemilu dan Pilkada untuk menjadi satu naskah yang terkodifikasi serta revisi undang-undang partai politik,” pungkas Titi.
Menanggapi kajian ini, Ketua PP Aisyiyah Siti Noordjannah Djohanti berharap kegiatan ini terus berkelanjutan. “Saya sepakat bahwa pertemuan ini tidak hanya berhenti pada mengkaji. Itu bukan tradisi Muhammadiyah! Bukan tradisi Aisyiyah! Harus ada strategi untuk kita berbuat riil,” tegasnya yang juga Panwas Pemilu tingkat pusat tahun 2004. (hafidz)