Bulan di Atas Kubah

Publish

23 February 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
345
Bulan

Bulan

Cerpen R Toto Sugiharto 

Saya tersesat. Terpisah dari kawan-kawan. Kami baru survei untuk lokasi pencarian sumber air bersih di lereng gunung api. Kami bertiga. Tetapi, saya terpisah dari dua kawan saya, Khomsun dan Kholili. Tiba-tiba saya sudah berada di kawasan tebing. Ada masjid cukup besar. Ukuran sekitar panjang 15 meter lebar 12,5 meter dan tinggi sembilan meter. Masjid itu kelihatan tua namun megah dengan satu tiang di tengah-tengah dengan konstruksi beton. 

Kata orang setempat, masjid itu sudah berusia lebih dari 40-an tahun meski belum genap setengah abad. Bahan materialnya dengan memanfaatkan sumber daya alam sekitar, seperti batu, pasir dari material vulkanik, kayu dari pepohonan yang tumbuh di sekitarnya, dan bahan material lainnya yang juga diambil dengan memanfaatkan sisa bangunan yang tidak dikelola lagi, semisal bangunan yang hangus akibat disambar awan panas atau digulung lava dan banjir lahar. 

Hampir tengah hari. Saya ingat sudah hampir waktunya shalat Jum'at berjamaah. Di masjid baru ada lima orang. Saya yang keenam. Jam dinding masjid mati. Jam di ponsel saya 11:35 WIB. Sudah masuk waktu dhuhur atau saatnya shalat Jumat berjamaah. Tapi, keadaan masih sepi. Siapa pula yang akan adzan? 

Seseorang menghampiri saya, “Assalamu’alaikum...” 

“Wa’alaikumussalam ...,” 

“Mohon maaf, saya atas nama takmir masjid bermaksud minta waktunya Mase nanti jadi khatib. 

“Lho kenapa saya?” 

“Khatib yang bertugas ternyata berhalangan. Tidak ada orang lagi yang mampu.” 

“Masya Allah...!” seru saya. 

Bagaimana mungkin? Seumur-umur – saat ini sudah masuk angka kepala lima – saya belum pernah berkhutbah. Lebih-lebih, sungguh sudah terlalu banyak saya berbuat maksiat. Apakah patut saya berdiri di atas mimbar, di hadapan orang dusun pelosok yang polos dan lugu? 

“Siap, Lik?” tanya seseorang di sebelah kanan lelaki itu. 

“Silakan, Mase...,” bisik lelaki itu kemudian menyilakan saya naik ke mimbar khutbah. 

Aduh! Bagaimana ini? Saya seperti tersudut. Ya, apa boleh buat. Akhirnya saya beranjak dari tempat duduk saya. 

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh....,” ucap saya membuka salam. 

Jamaah pun menyahut serentak, “Wa’alaikumussalam....” 

Dan, seseorang yang bertanya tadi kemudian berdiri melantunkan adzan. 

“Mas... Mas Rostan ya?” bisik seseorang di sebelah kanan saya. Ooh... masya Allah. Ternyata saya bermimpi. Saya tertidur di masjid. Dan, yang membangunkan seorang lelaki muda yang mengenal saya. 

“Iya. Saya Rostan, sampean siapa? Maaf saya lupa,” sahut saya kikuk. 

“Iya. Nanti saya jelaskan, Mas. Sekarang, kita ibadah dulu,” bisiknya kemudian. 

Saya mengangguk pelan. Lalu, kami mendengarkan khutbah bersama jamaah shalat Jum'at lainnya. Ooh, sekilas saya mengerling ke sekeliling, ternyata jamaah sudah memadati masjid. Mereka datang satu per satu di saat saya tadi tertidur pastinya. 

Ah, untung tadi saya hanya bermimpi. Andaikata sungguh-sungguh terjadi, maka betapa kewalahan saya dan gugup-gagap menyampaikan materi khutbah. 

“Jadi, kita datang lebih awal, Mas. Kita tunggu di sini saja,” ucap lelaki muda itu yang belakangan saya ingat, namanya Kholili. 

“Jadi, sampean menggantikan Mas Khomsun ya...?” tanya saya untuk menegaskan. 

“Iya, Mas Khomsun dapat tugas mendadak dari dosennya.” 

“Ooo begitu.” 

Ya, jadi kedatangan kami di lereng gunung api ini sebenarnya juga hendak “menyelamatkan” masjid ini selain mencari sumber air bersih. Maksudnya dengan istilah “menyelamatkan”, yaitu melepaskan penguasaan masjid kepada warga setempat. Lalu, siapa pihak yang menguasai masjid sebelumnya? Mereka adalah orang-orang yang menjalankan organisasi yang akhirnya dinyatakan terlarang dan dibubarkan pemerintah. 

Sang muadzin menghampiri kami, “Lha ini yang namanya Mas Rostan ya?” 

“Betul, Mas. Sampean Mas Ipin, kan?” 

“Iya. Betul saya Ipin. Arifin, Mas,” sahutnya kemudian. 

Arifin alias Ipin adalah pihak yang akan mewakafkan masjid yang dibangun oleh ayah mertuanya. Ia dan isterinya, Emilia Wulan Handadari sebelumnya “nyusuki” dari mendiang Giri Cahya Wengi, kakak iparnya yang belum lama wafat. Emmy dan Giri adalah saudara kembar kedhana-kedhini. Sehingga, oleh orang tuanya, kedua anak kembar itu dipisahkan. Emmy dibesarkan oleh Pakde, kakak dari ayah mereka di Kediri, Jawa Timur dan menemukan jodohnya, Arifin. Sedangkan Giri dibesarkan oleh orang tua kandungnya yang juga memiliki rumah di pinggiran kota kabupaten. 

Pada saat masjid dikelola Giri, rupanya dia kewalahan sehingga lebih banyak diambil alih oleh kawan karibnya, Susilo yang memimpin organisasi keagamaan di tingkat kapanewon. Seiring berjalannya waktu, Giri semakin tidak mampu atau tidak memiliki waktu lagi untuk sejenak-dua jenak saja menengok masjid peninggalan orang tuanya itu. Sampai akhirnya pengelolaan sepenuhnya diambil alih Susilo dan kawan-kawannya. 

Di tangan Susilo ternyata banyak dilakukan perombakan. Tempat wudhu yang sebelumnya juga sebagai sumber air bersih dirombak, diubah konstruksinya yang semula alami dibuat berkonstruksi konblok dan beton. Alhasil, sumber air pun mati. Dan, air wudhu sejak 1998 terpaksa diambilkan dari pipa PDAM Kabupaten. Padahal, sebelumnya air bersih berlimpah. Dan, bahkan bisa mencukupi kebutuhan warga dua rukun tetangga (RT) di padukuhan itu. 

Nah, belakangan organisasi yang dijalankan Susilo dan kawan-kawannya itu dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan dibubarkan oleh pemerintah. Maka, pada saat Emmy mudik ia membicarakan masjid itu bersama Giri yang sedang menderita sakit. Ia berinisiatif mewakafkan masjid itu agar menjadikan amal jariyah kedua orang tua serta anak dan cucu mereka. Giri sepakat. Setelah menandatangani akta wakaf, enam bulan kemudian Giri meninggal dunia sedangkan isterinya memilih tinggal bersama orang tua kandungnya di tabon, padukuhan asalnya di desa sebelah. 

“Kebetulan saya teman Emmy. Kami dulu satu jurusan. Tapi, saya kakak kelas Emmy. Kebetulan waktu reuni Emmy cerita semua. Lalu, akhirnya diputuskan wakaf masjid ini,” urai saya. 

“Sekalian rumah juga, Mas. Nanti mungkin bisa jadi kantor anak ranting,” timpal Emmy yang membawakan menu makan siang untuk kami. 

“Waaa bagus. Jadi lebih sempurna amalan wakaf keluarga kalian. Semoga menjadi amal jariyah almarhum Mas Giri juga,” balas saya. 

“Aamiin ya Rabbal ‘alamiin...,” sahut Emmy dan Ipin serentak.

Saya dan Kholili bersepakat tidur di rumah yang pernah ditempati mendiang Giri dan isteri dengan seorang anak mereka. Sementara, Emmy sudah kembali ke Kediri bersama suaminya. Saya terbangun di dini hari. Ponsel saya menunjukkan angka waktu 04:04 WIB. Saya beranjak dari sleeping bag. Dalam remang-remang cahaya saya melihat Kholili meringkuk dibalut sleeping bag-nya di sebelah saya. 

Saya keluar dari rumah tua yang kelak akan dibangun untuk kantor anak ranting organisasi keagamaan yang dikelola Khomsun yang juga masih famili Emmy. Maka, seperti yang menjadi harapan mereka, bersama saya, mereka akan berikhtiar mengembalikan sumber air yang mampu mencukupi kebutuhan masjid sehingga bisa lebih menghemat pengeluaran. Saya menikmati panorama malam dan dini hari di lereng gunung. Dan, wahai, saya menyaksikan bulan purnama bersinar di atas kubah.•


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Humaniora

Cerpen Ashari REJEKI sering diidentikkan dengan harta. Boleh saja. Silahkan. Sah-sah saja. Namun da....

Suara Muhammadiyah

22 September 2023

Humaniora

Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Iyus Herdiana Saputra Pada Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (2) te....

Suara Muhammadiyah

21 September 2023

Humaniora

Cerpen Risen Dhawuh Abdullah Dan untuk yang kesekian kalinya, ayah mengulanginya lagi. Ayah sama se....

Suara Muhammadiyah

16 February 2024

Humaniora

Harapan dalam Tiap Proses Hidup  Amalia Irfani, LPPA PWA Kalbar  Ma fil aba, fil abna, &....

Suara Muhammadiyah

22 December 2023

Humaniora

Cerpen Hamdy Salad Kalau saja seluruh media masa di negeri antah barantah itu tidak pernah menulis ....

Suara Muhammadiyah

20 October 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah