Paman Jangkung, Cerpen R Toto Sugiharto

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
321
Cerpen R Toto Sugiharto

Cerpen R Toto Sugiharto

Kami memanggilnya: Paman Jangkung. Badannya tinggi. Kurus. Beliau adik kandung ibu. Tetapi, ibu dan saudara yang lain, Bulik Tun dan Pakde Pur, menjadikan Paman Jangkung sebagai contoh keburukan. Antara lain, suka membohongi Eyang Putri dan Kakung, memusuhi orang yang tidak memberinya uang kepada paman, menjual barang-barang milik Eyang. Semua yang buruk dialamatkan kepada Paman Jangkung. 

Ayah sering melarang ibu menceritakan keburukan Paman Jangkung kepada saya. Belakangan saya tahu maksud ayah, salah satunya agar saya tidak meniru paman, melakukan keburukan dengan alasan paman juga melakukannya. Tetapi, saya meyakinkan ayah dan ibu, bahwa saya tidak akan berniat dan berbuat buruk hanya dengan dalih pembenar dari keburukan yang dilakukan paman. 

Suatu kali saya memang pernah mengetahui langsung bagaimana Paman Jangkung berbohong. Saat itu hari penerimaan rapor kami. Dua anak paman sebenarnya tidak mendapatkan nilai memadai. Tapi, kepada Eyang, paman bilang nilai rapor kedua anaknya masuk tiga besar. Lalu, paman menagih hadiah dari Eyang. Sayang, Eyang tidak sempat mengecek isi rapor kedua cucunya. Maka, Eyang pun membelikan dua buah sepeda untuk kedua anak paman. Setelah dua sepeda telanjur dibelikan dan diberikan kepada dua cucunya, Eyang iseng bertanya kepada dua cucunya itu. Eyang pun terbahak-bahak setelah mendengar cerita kedua cucunya bahwa mereka berada di peringkat tiga puluh besar. 

“Dasar, bapakmu itu memang preman amatir...,” begitu seloroh Eyang Kakung. 

Kami pun terpingkal-pingkal. 

Beberapa hari setelah pemberian sepeda itu, saya mendengar cerita dari ibu bahwa kedua anak paman mendapat hadiah dari Eyang Putri dari pihak istri paman yang memiliki butik dan kios pakaian di pasar kota. Dan, berselang sepekan dari cerita ibu, dua sepeda tersebut hilang bersamaan. Yang aneh, kedua sepeda itu sebenarnya sudah diikat rantai dan digembok dengan kuat. Lalu, berselang enam bulan kemudian, dari ayah, saya mendapat cerita, kawan ayah yang menjadi dosen ditawari Paman Jangkung dua sepeda itu tapi kemudian hanya membeli satu. Ayah dan kawannya tidak tahu kepada siapa paman menjual sepeda satunya. 

Kepada Eyang Putri, Paman Jangkung mengaku berpuasa setiap Ramadhan. Sementara, saya sering melihat dengan mata kepala sendiri, paman jajan di warung tidak jauh dari tempat tinggal kami. 

Tentu masih ada banyak lagi cerita tentang kelakuan Paman Jangkung. Bisa jadi novel bila diungkapkan semuanya. 

Sebenarnya Paman Jangkung pernah bekerja di perusahaan Pakde Pur. Sementara, gelar kesarjanaan paman diragukan. Pakde Pur juga tidak berani meyakinkan manajemen perusahaannya perihal kebenaran gelar “doktorandus” yang melekat pada nama Paman Jangkung. Alhasil, Paman Jangkung hanya ditempatkan di bagian operator telepon. Sebulan, dua bulan paman menerima gaji. Juga, di akhir bulan paman berkesempatan pulang menengok dan berkumpul dengan keluarganya. Namun, belum genap setahun, paman sudah tidak ngantor lagi di perusahaan Pakde Pur. Usut punya usut, paman ketahuan menggunakan telepon kantor untuk berkomunikasi dengan mantan kekasihnya di pulau seberang. 

***

Sudah tiga tahun ini saya jauh dari keluarga. Saya bekerja di pulau seberang. Anak bungsu paman bekerja di kota di ujung timur pulau. Anak sulung paman pernah bekerja tapi kemudian dirumahkan selama dua tahun masa pandemi. Tapi, kemudian tidak melanjutkan kontrak kerja lagi sehingga benar-benar di rumah saja. 

Memasuki masa kerja tahun keempat, saya mendapatkan kesempatan cuti selama dua pekan. Saya mendarat bertepatan adzan Maghrib berkumandang. Saya disambut seruan takbir anak-anak dan orang dewasa merayakan Lebaran. Saya menumpang taksi online menuju rumah berjarak 60-an kilometer dari bandara. Tapi, di tengah perjalanan ayah menghubungi saya, beliau akan menjemput saya di terminal buskota. Alhasil, saya membelokkan tempat turun kami di terminal itu. 

Tiba di terminal, saya disambut ayah dengan senyuman khas beliau, “Gimana perjalanan? Macet ya?” 

“Lancar kok,” sahut saya, “Gimana ibu?” 

“Alhamdulillah. Sehat,” balas ayah, “Pamanmu yang sakit.” 

“Paman Jangkung sakit?” 

“Iya. Serangan jantung. Katanya, termasuk ringan. Makanya dia nggak mau opname.” 

“Oh begitu.” 

“Perutmu tentu lapar. Ayah juga pernah terbang tiga jam di pesawat. Ayo, kita ke warung tongseng kambing di ujung itu,” ayah mengajak saya menuju warung tongseng. 

“Hai.... Adik ipar sampeyan sakit jantung ya?” sambut Cak Mim. 

“Iya. Tapi, masih ringan kok. Jadi, gak perlu opname,” sahut ayah, “Dari mana Cak Mim tahu?”

“Ya dari dialah. Tapi, siapa mau percaya dia, kan?” 

“Ah, jangan gitulah, Cak.” 

“Lho kenyataannya, semua orang kena. Jadi korban. Malah, kedua mertuamu juga, kan? Jadi bulan-bulanan ulah anaknya. Ha ha ha....” 

“Halah...! Sampeyan juga kena, kan, Cak Mim...?” sela seseorang di sebelah kiri ayah. 

“Ha ha ha... Betul, sampeyan, Mas Isa. Saya kena berapa ya... itu ada catatan bonnya. Ha ha ha...,” sahut Cak Mim tergelak-gelak. 

Saya jadi ingat, lebih dari dua puluh tahun silam, Cak Mim menitipkan seporsi tongseng kambing untuk Eyang Putri. Beberapa kali, setiap berkesempatan Paman Jangkung kumpul-kumpul dengan kawan-kawannya di terminal, Cak Mim lalu menitipkan tongseng kambing untuk Eyang Putri. Namun, beberapa porsi tongseng kambing Cak Mim tidak disampaikan kepada Eyang Putri yang seharusnya lebih berhak menerimanya. Tongseng itu dinikmati Paman Jangkung bersama isteri paman dan kedua anaknya. Nah, kalaupun ada catatan Paman Jangkung ngebon sate, gule, dan tongseng kambing, itu tentu sudah di luar pemberian Cak Mim yang cuma-cuma, yang sebenarnya jatah untuk Eyang Putri. 

Tak berapa lama, dua porsi tongseng kambing disajikan di meja. Satu porsi untuk ayah. Satu porsi lagi untuk saya. Segera pula kami menikmatinya dengan lahap. 

“Sampeyan beruntung, Nak, keluar dari kota ini. Nggak kena jajahan pamanmu. Coba kalau sampeyan di sini, aah sudah jadi bulan-bulanan pamanmu pastinya, ha ha ha...,” ucap Cak Mim di sela-sela kami menikmati tongseng kambing beliau yang memang lezat tiada yang menandingi. 

“Ah, nggak kena apa? Dia itu punya banyak akal. Tinggal minta ditransfer to,” timpal ayah seraya mengunyah nasi dan lauk tongseng. 

“Ha ha ha... jadi, kena juga, sampeyan, Nak?” Saya terpaksa mengangguk. Saya pikir, ayah mengetahuinya dari ibu. 

“Berapa? Eeh, apa alasannya biar pamanmu dapat uang dari sampeyan?” 

“Ya, sakit juga. Nggak ada income.” 

“Kapan itu?” 

“Setahunan ini.” 

“Setahunan ini? Aah itu sih belum sakit dia. Jadi, sama saja kena, sampeyan, Nak. Ha ha ha....” 

Saya nyengir. 

Nasi sebakul pun, seukuran empat porsi, tandas masuk ke lambung kami masing-masing.

*** 

Kami merayakan Lebaran dalam suasana prihatin. Pakde Pur tidak mudik tiga tahun terakhir. Selain karena terhalang pandemi selama dua tahun berturut-turut, juga kedua orang tua beliau, Eyang Kakung dan Putri, sudah tiada. Jadi, tidak ada lagi kerabat dan saudara berusia lebih tua yang patut dikunjungi untuk sungkeman. Bulik Tun, meskipun lebih muda, tidak juga mau mendatangi kerabatnya yang lebih tua, seperti ibu yang menjadi kakak kandungnya. Lebih-lebih Paman Jangkung yang sedang menanggung sakit. 

Saya mengunjungi Paman Jangkung seorang diri. Ayah berdalih ada syawalan trah di kampung halaman mendiang orang tuanya di luar kota. Ibu memilih tinggal di rumah, menunggu saya pulang untuk kemudian menyusul ayah. 

Paman Jangkung sendirian. Isteri beliau diantar anak sulung berlebaran saling mengunjungi tetangga. Anak bungsu paman tidak mudik. Roman muka paman tampak jauh lebih tua dibandingkan wajah ayah dan ibu. Rambutnya kusut. 

“Aku sudah nggak merokok lagi. Kata dokter, aku kena pembengkakan jantung. Aku bisa bohong pada semua orang. Tapi, nggak bisa bohong pada dokter,” bisiknya terbata-bata.•

 

Yogyakarta, Syawal 1444 H/Mei 2023.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Humaniora

Sajadah Kirman  Cerpen Ichsan Nuansa Asyhadu al Laa Ilaaha Illallah... Suara adzan Rido melun....

Suara Muhammadiyah

26 April 2024

Humaniora

Mudik dan Indahnya Silaturrahmi Oleh: Mahli Zainuddin Tago Pulau Sangkar-Kerinci, awal Juni 1979. ....

Suara Muhammadiyah

31 May 2024

Humaniora

Hormati Tetangga, Muliakan Tamu Oleh: Wahyudi Nasution Doso, begitu nama panggilan teman ngobrol P....

Suara Muhammadiyah

3 October 2024

Humaniora

Oleh: Mustofa W Hasyim Mas Abdul Hadi atau Bang Abdul Hadi sebenarnya sudah sampai pada maqom filos....

Suara Muhammadiyah

22 January 2024

Humaniora

Menjaga Titik dan Koma Oleh: Isngadi Marwah Atmadja Pada mulanya titik dan koma  Lalu huruf ....

Suara Muhammadiyah

16 August 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah