Buya Hamka dan Pancasila
Oleh: Fokky Fuad Wasitaatmadja, Associate Professor, Universitas Al Azhar Indonesia
Keyakinan Pada Tuhan
Buya Hamka adalah salah pemikir besar Indonesia, sekaligus Pahlawan Nasional yang dilahirkan di Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada tanggal 17 Pebruari 1908. Sebagai seorang pemikir-filsuf, sastrawan, ahli tafsir, ahli tasawuf, ahli fiqh, sejarawan, juga pejuang kemerdekaan. Beliau telah melahirkan beragam pemikiran yang termuat dalam buku, majalah, harian koran, dan sebagainya. Beberapa tulisannya tentang pandangan beliau atas Pancasila menarik untuk dicermati dalam kaitannya dengan sebuah keyakinan manusia terhadap Tuhannya.
Buya Hamka bukan saja seorang agamawan, melainkan sekaligus seorang negarawan religius. Buya Hamka memberikan gagasan pemikiran tentang Pancasila dalam dunia manusia Indonesia yang religius. Pancasila beliau paparkan dalam pemikiran yang bernas. Pancasila bukanlah sebuah pemikiran kosong tanpa makna, ia adalah ide relgius manusia Indonesia yang mengakui dirinya bertuhan.
Salah satu tulisan awal tentang pandangan Hamka atas Pancasila tertuang dalam buku kecil yang ditulis pada tahun 1951 dengan judul Urat Tunggang Pancasila. Hamka. Dalam buku kecil setebal 38 halaman ini, Buya Hamka menjelaskan konsep Pancasila yang berfokus (berurat tunggang) pada satu sila yang paling utama, yaitu: Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila tentang keyakinan manusia atas kekuasaan Tuhan menurut Beliau adalah inti pokok dari Falsafah Pancasila. Keyakinan manusia kepada Tuhan menggerakkan manusia untuk bergerak dan berjuang.
Buya Hamka menulis: “Hidup baginja ialah bakti, mati ialah sjahid. Sulthan Hasanuddin, Pangeran Diponegoro, Tengku Tjik Di Tiro, kejakinan kepada Tuhan Jang Maha Esa sadjalah, lain tidak jang menjebabkan djiwa mereka njala dan berapi dan membuat sedjarah mengagumkan itu. Didalam asap mesiu, dibawah tekanan sendjata Djepang jang lengkap, didalam kekuasaan kaum Sekutu jang telah menentukan Indonesia kembali mendjadi djadjahan Belanda menurut perdjandjian Postdam, Yalta, Kairo, Teheran, dll. meletuslah revolusi Indonesia. Ketuhanan Jang Maha Esa tempat bergantung satu-satunja, tempat bertawakallah satu-satunja bagi Bung Karno, Bung Hatta dan rakjat Indonesia seluruhnja” (Hamka, 1951: 14).
Kalimat tersebut menjelaskan bahwa segala yang menggerakkan setiap manusia untuk berjuang adalah adanya keyakinan manusia yang kuat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tanpa adanya keyakinan kepada manusia yang kuat kepada Tuhannya, maka tidak akan ada semangat untuk berjuang, berkorban demi pencapaian kemerdekaan Indonesia. Keyakinan yang kuat kepada Tuhan menggerakkan manusia sekaligus menjadikan manusia bergantung pada kekuatan Tuhan atas pencapaian hasil perjuangannya.
Revolusi perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak akan pernah tercipta tanpa adanya jiwa bertuhan dalam diri manusia Indonesia. Mengorbankan harta hingga nyawa bagi Buya Hamka terjadi ketika manusia mampu menjaidkan Tuhan menjadi satu-satunya tujuan hidupnya. Tuhan diletakkan dalam setiap gerak dan jiwa manusia, sehingga harta dan nyawa menjadi begitu kecil dihadapan keagungan Tuhan. Pancasila menjelaskan hakikat terdalam manusia Indonesia sebagai manusia bertuhan, yang dengan itu ia membentuk sebuah bangsa yang menegara.
Pancasila dan Modernisasi
Bagi Buya Hamka keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam Pancasila tidaklah berarti menghambat kemajuan atau modernisasi. Modernisasi kemajuan bangsa menurut Buya Hamka adalah proses perubahan sosial dari masyarakat agraris menuju masyarakat Industri maju, perubahan sosial dari kebodohan menuju pada masyarakat berilmu pengetahuan. Perubahan ini tidak berarti terjadinya werternisasi dengan menghilangkan keyakinan kepada Tuhan berbentuk sekularisasi. Modernisasi tetap harus berpegang kepada keyakinan kepada Tuhan. Menghilangkan keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa akan meluncurkan ke alam sekularisme, dan menjadikan Pancasila menjadi kosong-melompong (Hamka, 2005: 270-271).
Bagi Buya Hamka cukup dengan keyakinan yang kuat kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka manusia akan mencapai derajat yang tinggi. Sebagai makhluk Tuhan yang meyakini kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, manusia diberikan tiga kekuatan oleh Tuhan ke dalam dirinya berupa kemerdekaan: kemerdekaan atas kehendak, kemerdekaan akal fikir, dan kemerdekaan atas jiwa. Kemerdekaan atas kehendak menurut Buya Hamka diakitkan dengan kehendak untuk selalu berbuat kebaikan dan bukan keburukan. Kemerdekaan atas akal fikir bermakna kebebasan fikiran untuk selalu menjunjung kebenaran dan keadilan. Kemerdekaan atas jiwa menurut Buya Hamka adalah bebas dari segala ketakutan, jiwa yang bebas akan mampu menghadapi segala perubahan yang terjadi (Hamka, 1951:26-27).
Bagi Buya Hamka Pancasila bertumpu pada ide utamanya yaitu keyakinan manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan keyakinan itu tertuang pada Sila Pertama Pancasila. Ketika Sila Pertama ini hilang, maka hilanglah makna Pancasila. Buya Hamka menjelaskan: “Éntah 10.000 milyar kekayaan. Angka yang di muka sekali adalah angka 1; itulah Ketuhanan Yang Maha Esa. Angka-angka berikutnya empat berderet adalah Peri Kemanusiaan, Kebangsaan, Kedaulatan Rakyat, dan Keadilan Sosial semuanya dilambangkan dengan nol. Maka selama angka 1 masih ada selama itu pulalah 4 nol yang mengikutinya ada harga; tetapi kalau angka 1 itu hilang walaupun 4 nol ditambah 1000 nol lagi, tidaklah ada harganya” (Hamka, 2005: 234-235).
Menurut Buya Hamka Tuhan Yang Maha Esa adalah penggerak segalanya, ia menjadi penyebab segala hal yang ada di alam semesta. Tuhan disimbolkan dengan angka 1, dan angka 1 adalah penyebab munculnya angka-angka selanjutnya. Tanpa angka 1 tidak akan tercipta angka di muka bumi. Tanpa Tuhan tidak akan ada alam semesta dan manusia beserta segenap kehidupannya. Tuhan menjadi titik awal dari segala yang ada dalam jagat raya. Demikiran pula Pancasila, tanpa jiwa bertuhan tak akan muncul jiwa yang berperikemanusiaan, tak akan tercipta rasa persatuan dan semangat bermusyawarah guna mencapai keadilan sosial. Pancasila menurut Beliau diawali oleh sebuah pengakuan manusia akan eksistensi dan kehendak Tuhan dalam Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Sila Pertamanya.
Pada buku yang ditulis oleh Buya Hamka dengan judul Hamka dari Hati ke Hati tentang Agama, Sosial-Budaya, Politik beliau menjelaskan: “Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, itulah Tauhid” (Hamka, 2005: 231). Pancasila yang bertumpu pada keyakinan pada Tuhan (tauhid) merupakan bentuk dari konsep filsafat metafisika, sebuah gagasan ide tentang keyakinan atas eksistensi Sang Adi Kodrati Tuhan Yang Maha Esa. Pancasila sebagai sebuah sistem Filsafat berfokus pada keyakinan manusia yang dengan keyakinan kepadaNya itu ia implementasikan kepada sesama manusia dan alam. Keyakinan yang kuat kepada Tuhan Yang Maha Esa melahirkan sila kemanusiaan, persatuan Indonesia, musyawarah, dan keadilan sosial.
Keyakinan kepada Tuhan bagi manusia Indonesia terus terbawa dalam proses modernisasi. Kemajuan teknologi tidak menghilangkan ide ketuhanan bagi setiap jiwa manusia Indonesia. Modernisasi hanyalah sebuah proses perubahan sosio-kultural yang bersifat dinamis, tetapi gagasan ketuhanan adalah sebuah nilai konstanta yang tak hilang dan menetap serta menubuh dalam diri manusianya. Tampak jelas bahwa Pancasila bagi Buya Hamka bukan semata ideologi dan politik bernegara semata, tetapi juga merupakan filsafat mendasar manusia Indonesia yang menyatakan dirinya sebagai makhluk yang bertauhid di bumi Nusantara.
"Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada tuhan selain Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang." (Qs. Al-Baqarah [2]: 163).