Cara Memandang Kematian dan Akhirat
Oleh: Rusydi Umar, Dosen S2 Informatika Universitas Ahmad Dahlan, Anggota MPI PP Muhammadiyah (2015-2022)
Di banyak ceramah, kita kerap mendengar ungkapan yang terasa begitu pasti: “Tenang saja, orang beriman itu masuk surga, tapi biasanya dicuci dulu di neraka.” Kalimat ini disampaikan seolah-olah menjadi hukum baku. Akibatnya mudah ditebak: banyak orang Islam hidup dalam kecemasan, takut mati, dan memandang akhirat sebagai ancaman sebelum menjadi harapan.
Padahal, benarkah Islam mengajarkan bahwa setiap mukmin yang masih berdosa pasti harus melewati neraka terlebih dahulu?
Jika kita teliti dengan jernih, doktrin “dicuci dulu di neraka” bukanlah pernyataan eksplisit Al-Qur’an, melainkan penyederhanaan dari kemungkinan teologis yang kemudian berubah menjadi kepastian dalam bahasa dakwah populer. Di sinilah masalahnya bermula.
Al-Qur’an justru menegaskan prinsip yang sangat fundamental: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa’: 48). Ayat ini membuka ruang luas bagi ampunan, bukan menutupnya dengan kepastian hukuman. Jika setiap dosa pasti harus dibalas dengan neraka, maka konsep maghfirah (ampunan) kehilangan maknanya, dan doa-doa permohonan ampunan menjadi formalitas belaka.
Dalam akidah Ahlus Sunnah, yang juga menjadi arus utama Muhammadiyah, posisi yang lurus adalah tidak mengunci keputusan Allah. Neraka bagi mukmin memang mungkin, tetapi bukan keharusan teologis. Ia adalah salah satu kemungkinan keadilan, bukan vonis otomatis.
Masalahnya, ketika kemungkinan ini dipresentasikan sebagai kepastian, agama berubah wajah. Dari tuntunan yang menenteramkan, ia menjelma menjadi sistem ketakutan. Padahal Nabi Muhammad SAW, justru membangun iman umatnya dengan keseimbangan antara khauf (takut) dan raja’ (harap). Bahkan beliau bersabda, “Barang siapa mencintai pertemuan dengan Allah, Allah pun mencintai pertemuan dengannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sulit membayangkan cinta perjumpaan lahir dari rasa takut yang kronis.
Islam memandang kematian bukan sebagai hukuman, melainkan peralihan. Bagi jiwa yang beriman, kematian adalah panggilan lembut: “Wahai jiwa yang tenang, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya.” (QS. Al-Fajr: 27–28). Ini bahasa kasih, bukan bahasa algojo.
Lalu bagaimana agar seorang hamba tidak hidup dengan ketakutan “dicuci dulu”, tetapi justru menumbuhkan harapan untuk langsung menuju surga? Di sinilah resep spiritual Islam bekerja secara sangat manusiawi.
Pertama, bersihkan hak manusia sejak di dunia. Tidak ada dosa yang lebih berisiko di akhirat selain kezaliman sosial. Meminta maaf, mengembalikan hak, dan tidak meremehkan luka orang lain adalah investasi akhirat yang nyata. Al-Qur’an menautkan keselamatan akhirat dengan kelapangan hati dalam relasi antarmanusia. “Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Tidakkah kamu ingin Allah mengampunimu?” (QS. An-Nur: 22). Karena itu, meminta dan memberi maaf adalah ikhtiar teologis, bukan sekadar etika sosial. Bahkan Allah memuji orang-orang yang “menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain” (QS. Ali ‘Imran: 134) sebagai ciri penghuni jalan menuju ampunan dan surga.
Kedua, rawat taubat sebagai sikap hidup, bukan sekadar ritual penyesalan. Taubat bukan jaminan matematis, tetapi ia adalah bahasa kerendahan hati yang paling dicintai Allah.
Ketiga, perbanyak amal yang ikhlas dan berdampak sosial. Amal yang lahir dari keikhlasan dan memberi manfaat luas memiliki “berat” yang besar dalam timbangan, meski tampak sederhana di mata manusia.
Keempat, bangun hubungan cinta dengan Allah, bukan sekadar relasi takut. Ibadah yang dilakukan dengan rasa rindu akan melahirkan jiwa yang tenang, bukan jiwa yang selalu cemas.
Pada titik ini, kematian tidak lagi ditakuti, tetapi disiapkan dengan tenang. Bukan karena merasa suci, melainkan karena percaya bahwa Allah lebih mencintai hamba-Nya daripada hamba itu mencintai dirinya sendiri. Islam tidak mengajarkan kita meremehkan dosa. Tetapi Islam juga tidak mengajarkan kita membenci kematian. Di antara takut dan harap, di sanalah iman bertumbuh secara dewasa. Dan ketika iman matang, kematian tidak lagi terasa sebagai “dicuci”, melainkan dipeluk, sebagai perjumpaan dengan Kekasih yang Maha Pengasih, dan gerbang menuju surga yang dijanjikan.

