Catatan Awal Tahun 2025: BPR Sedang Tidak Baik-baik Saja

Publish

6 January 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
392
Istimewa

Istimewa

Catatan Awal Tahun 2025: BPR Sedang Tidak Baik-baik Saja

Oleh: Khafid Sirotudin, Ketua LPUMKM PWM Jateng, Kabid Diaspora Kader dan Jaringan MPKSDI PPM

Dalam sebuah obrolan santai dengan seorang teman, Sabtu sore, 4 Januari 2025 : ”kondisi BPR sedang tidak baik-baik saja”, ungkapnya. 

“Kok bisa begitu mas”, tanya saya.

”Setidaknya ada 20 BPR tutup operasional selama tahun 2024”, jelasnya.

Jawabannya datar menyiratkan keprihatinan, setelah nyeruput kopi dan menghisap kretek di tangan. 

Teman saya ini salah satu direktur BPR di Jawa Tengah. Membaca laporan keuangan yang sudah diaudit oleh KAP (Kantor Akuntan Publik), BPR yang dipimpinnya masih tergolong sehat meski terjadi peningkatan Non Performance Loan (NPL : Kredit Bermasalah) sebagai side effect negatif terjadinya pandemi Covid-19 tahun 2020-2022. “NPL akan turun setelah collateral (jaminan) laku terjual”, komentar saya setelah tahu ada Lima jaminan aset nasabah macet yang hendak dilelang. Apalagi nilainya jauh diatas kewajiban hutang yang musti dilunasi nasabah pemilik ke lima aset tersebut. Tentu menjadi masalah manakala saat mencairkan kredit tersebut, nilai appraisal-nya dimark-up dan direktur BPR tidak mematuhi indikator 5-C (character, capacity, capital, collateral, condition of economy) bagi calon peminjam.

Obrolan sore itu mengingatkan saya atas sebuah kasus fraud pada Koperasi Jasa Keuangan Syariah atau Baitul Mal wat-Tamwil (KJKS/BMT) di Klaten yang telah dan sedang terjadi sejak 2 tahun lalu. Berawal dari telepon salah seorang teman PDM Kulonprogo yang menanyakan keberadaan KJKS tersebut. Dimana salah satu temannya tidak dapat mencairkan dana deposito yang telah ditempatkan selama 4 tahun. Awalnya dia menempatkan Rp 100 juta dan lancar-lancar saja, apalagi “interest” (bunga/bagi hasil) nya lebih tinggi dari Bank Umum dan BPR. 

Lantas secara bertahap deposito yang ditempatkannya naik hingga Rp 1 Milyar. Apesnya dana yang didepositokan itu bukan hanya milik pribadinya, tetapi juga melibatkan dana keluarga dan teman-temannya se kantor. Mudah ditebak, yang terjadi berikutnya adalah “nggrandet” (kurang lancar) dan akhirnya macet. Mengingat KJKS tersebut sebenarnya dalam kondisi sedang sakit parah akibat tata kelola sebagai lembaga keuangan non bank yang kurang baik. Beberapa upaya mediasi sudah dilakukan, namun masih belum jelas upaya penyelesaiannya. Apalagi saya mengetahui pengurus dan pengelola BMT/KJKS itu terdapat beberapa orang pengurus  persyarikatan dan saat ini telah tutup operasional.

Menurut data yang ada, jumlah BPR (konvensional dan syariah) se Indonesia sebanyak 1.402 unit per Desember 2023. Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 7 tahun 2024 mewajibkan BPR dan BPRS untuk menjadi kesatuan Badan Usaha. Tujuan dari kebijakan ini untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kepengurusan. Pada September 2024, 33 BPR BKK (Badan Kredit Kecamatan) se Jawa Tengah telah siap berkonsolidasi menjadi Perseroda BPR-BKK Jawa Tengah. PT BPR BKK Jateng (Perseroda) adalah BPR yang kepemilikan sahamnya dimiliki oleh Pemprov Jateng (51%) dan Pemerintah Kabupaten/Kota (49%).

Bagi kalangan pemilik dan praktisi perbankan, khususnya BPR/BPRS, kebijakan yang dilakukan oleh OJK tersebut tidaklah semudah membalikkan tangan, meski tujuannya baik demi efisiensi dan efektivitas kepengurusan (Komisaris dan Direksi). Kata “efisiensi” dan “efektivitas” adalah dua kata yang paling mashur dan mujarab dalam praktek ekonomi-perbankan ala kapitalisme. Walaupun terkadang kurang mempertimbangkan frase bijak “nguwongke” (memanusiakan manusia) sebagai insan yang memiliki perasaan dan pikiran. Dalam konteks masyarakat Jawa, nguwongke dapat dimaknai sebagai “servant leadership” yang merujuk pada perasaan alami untuk melayani, serta pilihan sadar menjadi pemimpin yang mampu melayani.

Sebagaimana UU No. 10 tahun 1998, terdapat dua jenis bank, yaitu Bank Umum dan BPR. Berdasar kepemilikannya, BPR terbagi menjadi dua, yaitu BPR yang dimiliki oleh Pemerintah (umumnya Pemkab/Pemkot) dan Swasta. Adapun berdasarkan pengelolaannya, terbagi menjadi BPR konvensional (BPR) dan BPR Syariah (BPRS). PW Muhammadiyah Jawa Tengah memiliki satu BPRS Artha Surya Barokah (ASB), yang memulai kegiatan operasional sejak 30 Juni 2004 sesuai izin usaha Kepala Deputi Gubernur BI Nomor 6/8/KEP.DpG/2004. Berdirinya BPRS ASB yang telah berusia 20 tahun menandai kiprah PWM Jateng dalam industri perbankan syariah. 

Pada 30 Mei 2024 melalui Surat Memo Nomor 320/1.0/A/2024 tentang Konsolidasi Dana, PP Muhammadiyah menghimbau agar beberapa AUM Pendidikan (PTMA) dan AUM Kesehatan (RSMA) segera mengalihkan dana simpanan dan pembiayaan dari Bank Syariah Indonesia (BSI). Memo PPM tersebut pada dasarnya untuk menghindari “Concentration Risk”, resiko penumpukan dana pada BSI, serta menjaga persaingan yang lebih sehat diantara Bank Umum Syariah. Sekaligus menunjukkan keberpihakan dan komitmen persyarikatan agar UMKM mendapat kemudahan dalam mengakses permodalan yang lebih murah dan mudah.

Berbagai komentar di ranah publik melalui berbagai media dan di berbagai WA Group dan media sosial lain internal lingkungan Muhammadiyah ramai dan viral. Banyak juga orang yang menyarankan Muhammadiyah agar segera membuat Bank Umum Syariah. Padahal para pengusul itu bukanlah orang yang memiliki kualifikasi layak dan ekspert sebagai banker. Ada pula yang mengusulkan agar penarikan semua dana BSI se Jawa Tengah ditempatkan ke BPRS ASB. Pengusul tidak memahami bahwa penempatan dana Rp1-2 Triliyun ke BPRS ASB dapat membuat “blooding” (pendarahan besar) pada BPR/BPRS sekelas ASB (Baca tulisan saya : “Relasi BSI Dengan Muhammadiyah” yang dikutip beberapa media).

Menyadari bagaimana rentannya terjadi fraud di BPR/BPRS serta Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS), khususnya KJKS/KSPPS (Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah) dan BTM (Baitut Tamwil Muhammadiyah), PWM Jawa Tengah telah menunjuk Tim Perumus Perbaikan Pedoman Pendirian BTM/KJKS/LKMS di lingkungan Muhammadiyah Jawa Tengah. Tim terdiri dari UPP LP-UMKM, MEBP, Pusat BTM dan LBH PWM. Dari LP UMKM, kami memandatkan tiga orang sebagai anggota Tim Perumus, yaitu Dr. Kartiko AW. M.Si. dan Assoc. Prof. Dr. Bambang Joyo Sumpeno, M.H. (2 Wakil Ketua) dan Nur Hatik, SE. M.Akt. Wakil Sekretaris yang juga praktisi manager KJKS.

Hasil kerja Tim Perumus telah diserahkan kepada PWM Jawa Tengah pada Rabu, 18 Desember 2024 dalam rapat rutin “Reboan” PWM. Sebuah ihitiar mitigasi agar tidak terjadi lagi kasus fraud di lingkungan BTM se Jawa Tengah. Mengingat mal-administrasi dan mal-praktek dari beberapa BMT/KJKS marak dan sempat menyeruak ke permukaan di berbagai media selama tahun 2024. Bahkan ada sebagian kasus KJKS/BMT di Jateng yang sudah dibawa ke ranah hukum. Semoga tidak terjadi pada KJKS dan BTM di lingkungan Muhammadiyah Jawa Tengah.

Berdasarkan bedah kasus yang terjadi di BPR/BPRS dan KJKS/KSPPS, fraud bermula dari ketidaktertiban dan ketaatan pengelola dan pengurus dalam mematuhi kaidah tata kelola yang baik (Good Governance) perbankan dan lembaga keuangan non bank. Beberapa indikator yang biasa digunakan untuk menilai kesehatan bank, diantaranya profil risiko kredit yang dihitung dengan rumus NPL (Non Performance Loan), Good Corporate Governance (tata kelola bank yang baik), Rentabilitas (Earning) kemampuan bank dalam memperoleh keuntungan, permodalan (capital), kualitas aset, likuiditas dan sensitivitas pasar (sensitivity of market).

Bank yang sehat adalah bank yang mampu menjaga kepercayaan masyarakat, menjalankan fungsi intermediasi, menjaga lalu lintas pembayaran dan mendukung kegiatan moneter secara baik. Lembaga perbankan, juga lembaga keuangan non bank, merupakan industri keuangan yang hidup dan matinya tergantung pada “trust” (derajat kepercayaan) masyarakat. Setiap kali terjadi fraud pada sebuah Bank Umum, BPR/BPRS atau BMT/KJKS, maka akan berpengaruh pada berbagai pelaku “pasar uang” yang sejenis. 

Saya tidak meragukan berbagai kebijakan dan peraturan yang telah dibuat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bagi dunia perbankan. Sudah komplit dan lengkap dengan berbagai indikator kuantitatif (key performance indicator) yang diberlakukan. Tetapi saya lebih mempercayai indikator kualitatif berupa rekam jejak moral dan sikap baik para pengurus dan pengelola lembaga keuangan. Antara lain berupa kejujuran (honesty), fairness (keadilan), obyektivitas (obyektif), loyalitas pada profesi, cermat dan hati-hati (prudent), bijaksana (wise) dan tidak pernah terantuk kasus pidana dan kriminal lainnya. Saya sangat percaya dengan kecerdasan dan kemampuan seseorang untuk menjadi direktur atau manager BPR/BPRS/KJKS/BMT, namun saya tidak pernah percaya dengan setan yang melingkupi di sekitarnya. 

Saya menjadi teringat wejangan yang disampaikan seorang kyai dalam sebuah pengajian bakda Subuh di masjid.  “Orang tidak korupsi itu ada yang mendapatkan pahala dan ada yang tidak mendapat apa-apa”, ujarnya. “Seseorang yang memiliki jabatan, peluang dan uang tetapi dia tidak memiliki niat dan keinginan untuk mengambilnya, maka dia beroleh pahala”, terangnya lebih lanjut. “Jika seseorang tidak mempunyai jabatan, tidak ada peluang dan tidak ada uang yang bisa dikorupsi maka tidaklah mendapatkan pahala apa-apa”, tutupnya dalam Kultum singkat. Kuncinya ada pada niat dan hasrat serta tidak terbuai rayuan setan untuk mengambil harta yang bukan menjadi haknya.

Masyarakat tentu masih ingat dengan kasus Eddy Tansil (ET, Tan Tjoe Hong). ET adalah bos perusahaan Golden Key Group yang berhasil membobol (baca : menggelapkan) kredit dari Bank Bapindo sebesar US$ 565-juta (Rp 1,3 Trilyun) pada tahun 1996. Kasus yang dilakoni ET, pria lulusan SD/SMP itu, telah menjadi perhatian publik serta menggegerkan dunia perbankan nasional. Apalagi setelah ET berhasil melarikan diri dari LP Cipinang Jakarta pada 4 Mei 1996, saat dia menjalani hukuman penjara selama 20 tahun. 

Akankah terjadi lagi kasus mal-praktek perbankan di tahun 2025?

Semoga tidak terjadi lagi. Apalagi ada sebuah pekerjaan besar pemerintah yang mencanangkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang “sangat” tinggi tersebut (over confidence) dibutuhkan peran serta dunia perbankan sebagai lembaga intermediasi keuangan masyarakat yang baik. Juga partisipasi aktif segenap pelaku ekonomi, khususnya UMKM sebagai entitas terbesar (99% : 64,2 juta unit usaha) untuk tetap berproduksi dan melakukan aktivitas perdagangan barang dan jasa. 

Tidak akan bermakna pertumbuhan ekonomi yang tinggi suatu negara, tanpa diimbangi dengan pemerataan ekonomi yang berkeadilan sosial bagi segenap warga negara. Meski telah diakui bahwa sektor UMKM sebagai pahlawan “recovery economy” paska resesi 1998 maupun pandemi Covid-19, akan tetapi keberpihakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah belum sepenuhnya dirasakan oleh para pelaku UMKM. Apalagi mendengar rencana Pemerintah menaikkan PPN 12%, menyesuaikan tarif listrik, serta tarif jalan tol yang sudah naik “diam-diam” beberapa kali sejak setahun terakhir. Lantas apa manfaatnya jalan tol bagi upaya peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat selain waktu tempuh yang lebih singkat serta meningkatnya korban kecelakaan di berbagai ruas jalan berbayar tersebut.

Sepulang dari Semarang, Ahad dini hari 5 Januari 2025, saya sempatkan mampir untuk sekedar membeli sayuran “cikra-cikri” (kenikir, randa midang, ulam raja : Cosmos caudatus) di pasar “induk” malam di samping terminal bus Bahurekso Weleri. Saya sempat berbincang dengan seorang bakul dari Bandungan Kabupaten Semarang. 

“Budhal jam pinten mas (berangkat jam berapa)”, tanya saya.

“Jam sewelas saking (jam 23.00 WIB dari) Bandungan”, jawabnya sambil menata dagangan.

“Sakniki lewat tol luwih cepet nggih (sekarang lewat jalan tol lebih cepat ya)”, tanya saya lebih lanjut.

“Mboten pak, eman-eman duite saged ngge tumbas bensin kalih sangu anakke (tidak pak, sayang sekali uangnya, bisa buat membeli BBM dan uang saku sekolah anak)”, jawabnya singkat.

Lantas saya mencoba menghitung tarif tol dari Bawen menuju Weleri pulang pergi. Kurang lebih Rp 200 ribu atau setara dengan 20 liter Pertalite. Dengan mobil Suzuki Carry berisi 20 liter lebih dari cukup untuk pergi pulang Bandungan-Weleri. Apalagi jika mereka melalui jalur Bandungan- Sumowono-Limbangan-Boja-Kaliwungu-Weleri. Bisa lebih pendek jarak dan waktu tempuh yang harus dilalui. Pun lebih irit pemakaian BBM yang musti dibeli. 

Bukankah salah satu tugas Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten dan Kota) adalah membangun infrastruktur jalan yang baik dan mendukung aktivitas ekonomi masyarakat antar daerah dapat berjalan dan bertumbuh secara efektif, efisien, adil dan merata.

Wallahu’alam

Ahad Pahing, 5 Januari 2025


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Prahara Politik Putusan MK: Antara Horor dan Humor Oleh: Immawan Wahyudi,  Immawan Wahyudi Dos....

Suara Muhammadiyah

25 August 2024

Wawasan

Losing My Religion: Mengapa Generasi Muda Kehilangan Iman? Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu....

Suara Muhammadiyah

1 January 2025

Wawasan

Vonis Ringan Koruptor Bukan Sekadar Tidak Adil Karena Membahayakan Eksistensi Bangsa Oleh: Immawan....

Suara Muhammadiyah

10 December 2024

Wawasan

Imam Masjid Muhammadiyah Seharusnya: Belajar dari Turki Oleh: Dr. Husamah, S.Pd, M.Pd, Dosen Pendi....

Suara Muhammadiyah

16 December 2024

Wawasan

Oleh: Drh H Baskoro Tri Caroko LPCRPM PPM Bidang Pemberdayaan Ekonomi Menyimak acara seminar via z....

Suara Muhammadiyah

26 February 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah