Dakwah Muhammadiyah di Era Algoritma dan Post-Truth

Publish

26 December 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
78
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Dakwah Muhammadiyah di Era Algoritma dan Post-Truth

Oleh: Mohammad Nur Rianto Al Arif, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah/ Ketua PDM Jakarta Timur

Hari ini, dakwah tidak lagi hanya disampaikan di mimbar masjid, pengajian majlis taklim, atau aula kampus. Dakwah kini hadir di layar ponsel, bersaing dengan video joget, gosip artis, iklan belanja, hingga potongan ceramah satu menit yang berlalu begitu saja di timeline. Siapa sangka, pesan-pesan agama kini harus berhadapan dengan sesuatu yang tak kasat mata bernama algoritma.

Algoritma adalah “otak” di balik media sosial karena menentukan konten apa yang muncul di layar kita, berdasarkan apa yang sering kita tonton, sukai, dan bagikan. Masalahnya, algoritma tidak bekerja untuk kebenaran, apalagi pencerahan. Algoritma bekerja untuk menahan perhatian selama mungkin. Konten yang memicu emosi seperti marah, takut, benci, atau terharu berlebihan biasanya lebih diutamakan.

Di sinilah dakwah menghadapi tantangan besar. Dakwah yang seharusnya menenangkan, mencerdaskan, dan mencerahkan, sering kalah cepat dengan konten yang provokatif dan sensasional. Apalagi kita juga hidup di era yang disebut banyak ahli sebagai era post-trut yaitu zaman ketika fakta sering kalah oleh opini, emosi, dan keyakinan pribadi.

Dalam situasi seperti ini, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan pembaruan (tajdid) dihadapkan pada pertanyaan penting yaitu bagaimana berdakwah secara jernih di tengah dunia yang bising, penuh potongan informasi, dan mudah dipelintir?

Istilah post-truth mungkin terdengar berat, tetapi gejalanya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Kita melihat hoaks cepat menyebar. Potongan ayat atau hadis sering dibagikan tanpa penjelasan. Isu agama mudah sekali dipakai untuk memancing emosi dan kemarahan. Klarifikasi kalah cepat dibanding tuduhan.

Di era ini, orang sering tidak lagi bertanya, “Apakah konten ini benar atau tidak?” melainkan, “Apakah ini sesuai dengan perasaan dan keyakinan saya?” Jika sesuai, langsung dibagikan. Jika tidak sesuai maka langsung ditolak bahkan meski datang dari sumber yang jelas dan terpercaya.

Dampaknya terasa dalam kehidupan beragama. Siapa pun bisa tampil sebagai “ustaz” di media sosial. Tidak sedikit yang ceramahnya tegas, suaranya lantang, dan potongan videonya viral. Padahal, isi pesannya sering dangkal, hitam-putih, bahkan menyesatkan. Ukuran kebenaran bergeser yaitu bukan lagi pada kedalaman ilmu, melainkan pada jumlah pengikut. Bagi Muhammadiyah, ini bukan sekadar soal kalah populer. Kondisi saat ini soal krisis akal sehat dalam beragama.

Sejak berdiri, Muhammadiyah tidak memaknai dakwah hanya sebagai ceramah dari mimbar ke mimbar. Dakwah Muhammadiyah adalah dakwah yang bekerja seperti mendirikan sekolah, rumah sakit, panti asuhan, hingga membantu korban bencana. Inilah dakwah yang tidak banyak berteriak, tetapi nyata manfaatnya.

Namun di era digital, dakwah semacam ini sering kalah pamor. Karena yang muncul di layar publik justru adu potongan ceramah, perdebatan panas, dan klaim kebenaran sepihak. Amal nyata sering tidak viral karena tidak cukup “menjual” secara algoritmik.

Di sinilah tantangan dakwah Muhammadiyah hari ini yaitu bagaimana tetap setia pada misi pencerahan, tanpa terasing dari ruang digital tempat masyarakat terutama generasi muda menghabiskan waktunya? Dulu, mimbar dakwah berada di masjid atau majelis taklim. Kini, mimbar itu bernama feed, story, dan short video. Masalahnya, mimbar ini tidak netral. Algoritma hanya menampilkan apa yang ingin kita lihat, bukan apa yang perlu kita ketahui.

Akibatnya, banyak orang hidup dalam “ruang gema”. Jika seseorang menyukai konten agama yang keras dan penuh ancaman, maka ia akan terus disuguhi konten serupa. Sebaliknya, jika ia menyukai konten yang menenangkan dan moderat, maka ia juga akan berada di lingkaran itu. Pertemuan gagasan menjadi jarang dan dialog makin sulit.

Bagi dakwah Muhammadiyah, situasi ini berbahaya. Dakwah pencerahan justru membutuhkan dialog, nalar, dan kesediaan mendengar pandangan lain. Sementara algoritma mendorong polarisasi dan kesederhanaan berlebihan. Pertanyaannya ialah haruskah dakwah mengikuti selera algoritma agar didengar?

Jawabannya tidak sederhana. Muhammadiyah tidak bisa menutup diri dari dunia digital. Namun jika dakwah sepenuhnya tunduk pada algoritma seperti mengejar sensasi, potongan ekstrem, dan emosi sesaat maka dakwah kehilangan ruhnya. Terdapat anggapan bahwa dakwah yang rasional dan berimbang sulit diterima publik awam. Padahal, masalahnya sering bukan pada isinya, tetapi pada cara menyampaikannya. Bahasa yang terlalu akademik, istilah yang berat, dan gaya yang kaku membuat pesan pencerahan sulit dicerna.

Muhammadiyah perlu berani belajar berkomunikasi lebih cair, lebih membumi, tanpa kehilangan substansi. Populer tidak harus dangkal. Sederhana tidak berarti menyederhanakan kebenaran. Justru di tengah banjir hoaks dan emosi, masyarakat membutuhkan suara yang menenangkan, menjelaskan dengan sabar, dan tidak menghakimi. Inilah ceruk dakwah Muhammadiyah yang seharusnya diisi.

Anak muda hari ini belajar agama dengan cara yang sangat berbeda. Mereka tidak selalu datang ke pengajian. Mereka mencari jawaban lewat mesin pencari, media sosial, dan video pendek. Sering kali, yang mereka dapatkan adalah potongan informasi tanpa konteks. Akibatnya, banyak yang hafal dalil, tetapi bingung menerapkannya. Tahu hukum halal-haram, tetapi tidak memahami tujuan dan hikmahnya. Mudah menghakimi, tetapi sulit berempati.

Kondisi saat ini bukan kesalahan generasi muda semata, melainkan juga tantangan bagi gerakan dakwah. Jika dakwah tidak hadir di ruang yang mereka tempati, maka ruang itu akan diisi oleh narasi lain yang belum tentu menyehatkan.

Muhammadiyah dengan jaringan sekolah dan universitas yang luas sebenarnya punya modal besar. Namun dakwah digital tidak cukup hanya dengan akun resmi atau unggahan seremonial. Dakwah ini membutuhkan keseriusan, kreativitas, dan pemahaman mendalam tentang dunia anak muda.

Era post-truth juga melahirkan budaya saling serang. Media sosial sering menjadi arena penghakiman massal. Salah ucap sedikit, seseorang bisa “dihukum” oleh publik digital. Dalam situasi ini, dakwah sering berubah menjadi alat untuk merasa paling benar.

Muhammadiyah justru perlu menawarkan jalan lain yaitu dakwah etis. Dakwah yang menekankan kejujuran, tanggung jawab, dan adab dalam berpendapat. Melawan hoaks bukan dengan hoaks tandingan, tetapi dengan klarifikasi yang sabar. Menjawab perbedaan bukan dengan cacian, tetapi dengan penjelasan. Dakwah semacam ini memang tidak selalu viral. Namun akan mampu membangun kepercayaan jangka panjang. Di tengah dunia yang penuh kegaduhan, suara yang tenang justru akan dicari.

Di saat banyak orang berdebat soal agama di media sosial, rumah sakit Muhammadiyah tetap melayani pasien tanpa bertanya afiliasi. Sekolah Muhammadiyah tetap mendidik anak bangsa. Relawan Muhammadiyah tetap turun ke lokasi bencana.

Gerak dakwah inilah yang tidak bisa dipalsukan. Dakwah yang tidak membutuhkan algoritma untuk membuktikan manfaatnya. Tantangannya adalah bagaimana dakwah nyata ini diceritakan dengan baik, agar publik terutama generasi digital agar dapat melihat wajah Islam yang ramah dan bekerja. Bukan untuk pamer, tetapi untuk melawan narasi negatif tentang agama.

Menghadapi era algoritma dan post-truth, dakwah Muhammadiyah perlu menata ulang langkahnya. Bukan dengan meninggalkan prinsip, tetapi dengan menyesuaikan cara. Pertama, dakwah perlu hadir di isu-isu nyata yang dekat dengan kehidupan seperti keadilan sosial, kemiskinan, lingkungan, kesehatan mental, dan masa depan anak muda. Islam harus terasa relevan, bukan sekadar normatif.

Kedua, Muhammadiyah perlu menyiapkan kader dakwah digital yang tidak hanya pandai bicara di depan kamera, tetapi juga matang secara pemikiran dan akhlak. Ketiga, dakwah tidak bisa dikerjakan sendiri-sendiri. Dibutuhkan kolaborasi antara ulama, akademisi, aktivis, dan praktisi media agar pesan pencerahan bisa disampaikan dengan efektif.

Algoritma boleh menentukan apa yang muncul di layar kita, tetapi  tidak boleh menentukan arah dakwah. Muhammadiyah tidak perlu berlomba menjadi yang paling viral. Hal yang lebih penting adalah menjadi yang paling konsisten menjaga akal sehat dan nurani umat.

Di era ketika kebenaran sering dipelintir, dakwah Muhammadiyah harus menjadi jangkar. Tidak selalu ramai, tetapi kokoh. Tidak selalu populer, tetapi memberi arah. Dakwah di era algoritma bukan tentang menaklukkan timeline, melainkan tentang menjaga kemanusiaan dan kejernihan berpikir. Dakwah Islam berkemajuan semakin dibutuhkan pada kondisi post-truth seperti saat ini.

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Muslim Memuliakan Nabi Isa Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Islam men....

Suara Muhammadiyah

25 December 2023

Wawasan

Oleh: Prof Dr Dadang Kahmad, MSi Manusia adalah Zoon Politicon kata Aristoteles, yang berarti manus....

Suara Muhammadiyah

29 September 2025

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Bagaimana seharusnya kita mensy....

Suara Muhammadiyah

11 September 2024

Wawasan

Banten, Jawara dan Muhammadiyah Oleh: Saidun Derani Diskusi “Dakwah Kultural” dikaitka....

Suara Muhammadiyah

1 May 2024

Wawasan

Wakaf Literasi Ala Genzi Oleh: Khafid Sirotudin, Storywriter, Citizen Journalism Wakaf Literasi ad....

Suara Muhammadiyah

6 March 2025