Dari Darus-Salam Menuju Darus-sosialis: Cara Pak Kasman Memahami Perempuan dalam Islam

Publish

27 September 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
2024
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Dari Darus-Salam Menuju Darus-sosialis: Cara Pak Kasman Memahami Perempuan dalam Islam

Oleh: Mu’arif

Dalam pandangan Kasman Singodimedjo, hak-hak perempuan itu sebanding dengan hak-hak laki-laki atas dasar penunaian kewajiban masing-masing. Sebab, di hadapan Allah SWT, laki-laki dan perempuan menanggung kewajiban yang setara.

Cukup menarik dalam hal ini bahwa Pak Kasman memahami dalil-dalil perintah dalam Al-Qur’an selalu ditujukan kepada laki-laki dan sekaligus perempuan. Hal ini, dalam tafsiran Pak Kasman, sesungguhnya menunjukkan suatu pemahaman bahwa posisi laki-laki dan perempuan itu setara dalam hal menanggung beban kewajiban agama. Secara jernih, Pak Kasman merenungkan makna keberagaman manusia dengan latar belakangnya sebagai suatu ketetapan Allah SWT agar masing-masing saling memahami dan hidup harmonis.

 “Allah sendiripun tidak membeda-bedakan antara manusia yang satu terhadap manusia yang lain atas dasar keyakinan atau kepangkatan, atas dasar tugas atau kedudukan, atas dasar keberuntungan atau pemilihan, atas dasar gelar atau lencana, atas dasar keturunan atau asal-usul, atas dasar penunjukan atau pemilihan atas dasar kesukaan atau kegemaran, atas dasar kemampuan atau kekuasaan, atas dasar sikap atau pintarnya omong, atas dasar kecakapan atau lagak-lagu, tidak, bukan itu ukuran penilaian Allah,” tulis Kasman.

Pola Relasi Kemitraan Harmonis

Pola relasi antara laki-laki dan perempuan, dalam kacamata strukturalisme Kasman, dalam bentuk relasi partnership—kemitraan yang harmonis. Dengan kosmologi umat Islam, kehadiran umat manusia di muka bumi sebenarnya berasal dari sepasang manusia dengan jenis kelamin laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa). Inilah cikal bakal komunitas manusia, yang dimulai dari relasi kemitraan yang harmonis antara laki-laki dan perempuan sampai melahirkan anak keturunan. Hadirnya keluarga sebagai unit terkecil dalam struktur masyarakat menjadi pilar dalam pembentukan komunitas besar yang bernama bangsa.       

Lahirnya konsep nation (bangsa) dalam Islam, sebagaimana Kasman menafsirkan Al-Qur`an (Q.S. Al-Baqarah [2] : 213, Yunus [10] : 19) dalam konteks politik kenegaraan, tidak bisa lepas dari konsep “umat yang tunggal” (ummatan wāhidatan). Umat yang tunggal terbentuk dari unit-unit kecil dalam masyarakat. Sedangkan masyarakat terbentuk dari individu-individu—Kasman menggunakan istilah “oknum individual”—yang terdiri dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Dengan merujuk pada penafsiran Surat Al-Hujurat ayat 13, Kasman menegaskan bahwa konsep keumatan dalam ajaran Islam tidak hanya mencakup konsepsi “kebangsaan” tetapi sekaligus internasionalisme. 

Setiap menyampaikan pandangan resmi ideologi Partai Masyumi, Kasman selalu mendapat kritik dan sanggahan sehingga terciptalah perdebatan sengit di forum-forum Konstituante. Gagasan-gagasan resmi tentang konsepsi Islam dalam praktik kehidupan bernegara—terutama menyangkut dasar negara dan hukum Islam—perwakilan PKI (Asmara Hadi, Nyoto) selalu membantah dan menuding argumentasi Kasman terlalu lemah. Sedangkan kritik dari para Feminis Radikal terhadap ideologi Partai Masyumi terkait pandangan yang bersumber dari para orientalis yang menilai agama Islam telah mengeksploitasi kaum perempuan. Merespon kritik para feminis, Kasman menegaskan: “ukuran penilaian Allah untuk membeda-bedakan manusia itu hanya satu, yaitu takwa/baktinya kepada Allah seperti termaktub dalam Qur’an Al-Hujurat ayat 13: “Hai manusia! Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari laki-laki dan perempuan; dan Kami telah jadikan kamu beberapa bangsa dan puak, supaya berkenal-kenalan; sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah itu ialah yang sebakti-baktinya dari antaramu; sesungguhnya Allah itu Yang Mengetahui, Yang Sadar.

Menuju Darus-sosialis

Oknum individual dalam masyarakat terdiri atas laki-laki dan perempuan. Pola relasi antara keduanya dalam bentuk kemitraan yang harmonis, karena sekalipun berbeda jenis kelamin tetapi masing-masing berperan saling melengkapi. Kebutuhan hidup bersama antara laki-laki dan perempuan dalam naungan ikatan pernikahan adalah sunnatullah. Dari pernikahan yang sah lahirlah institusi atau pranata sosial terkecil dalam masyarakat.

Terjadilah pembagian tugas dan peran—struktural—dalam keluarga. Kasman memang menghendaki pembagian tugas dan peran antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga, tetapi pola relasi antara keduanya tidak dalam kerangka eksploitasi. Keluarga sebagai pranata sosial adalah suatu keharusan, diibaratkan sebuah “kapal” yang akan berlayar menuju ke suatu tujuan.

Maka pembagian tugas dan peran meniscayakan struktur untuk mengisi posisi peran: siapa sang kapten, siapa awak kapal, dan siapa penumpang. Perumpamaan kapal sebagaimana Kasman mengungkapkan arti penting kehadiran keluarga, adalah sebuah analogi dari sebuah struktur sosial terkecil dalam masyarakat. Dari institusi keluarga inilah sebuah bangsa yang besar terbentuk.

Pandangan Kasman yang mendudukan posisi keluarga sebagai bagian penting dalam kehidupan sosial secara tidak langsung telah mengafirmasi pandangan para aktivis Neo-feminisme yang memang mempertahankan “institusi keluarga.” Kutipan berikut ini menunjukkan bagaimana pandangan Kasman tentang keluarga:

 “Rumah tangga tokh merupakan bouwsteen atau batu pondamen dari masyarakat dan negara. Jika perihidup dalam rumahtangga itu bobrok atau kalut, maka janganlah diharapkan tercapainya keadilan sosial di masyarakat dan negara itu, betapapun telah terdapat di situ kesibukan proyek usaha-usaha dan istana-istana internasional, meskipun telah banyak berdiri universitas-universitas dan pabrik-pabrik besar, meskipun telah ada kecukupan sandang dan pangan, betapapun telah tercapai voordelige handelsbalans, telah tercapai batigslot bagi anggaran belanja negara, ya, meskipun telah berdiri masjid-mesjid yang monumental dan pesantren-pesantren yang modern up to date! Oleh sebab itu, harus ada pembangunan dan jaminan keamanan mengenai kebahagiaan berrumahtangga,” tulis Kasman.

Praktik kehidupan berrumah tangga dalam pandangan Kasman adalah sunatullah. Hubungan timbal balik antara laki-laki dan perempuan atas dasar kebutuhan hidup (kebutuhan biologis) telah tersirat dalam ajaran Islam. Allah SWT mengatur bagaimana hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam suatu ikatan kokoh berdasarkan ajaran Islam. Dari ikatan antar oknum individual, yakni laki-laki dan perempuan, lahirlah institusi keluarga yang mendapat kedudukan mulia di dalam ajaran Islam.

Secara lugas, Kasman menyebut Dar-ul salam untuk menyebut “Rumah Tangga.” Namun frase rumah tangga dalam pengamatan Kasman dinilai terlalu statis, sehingga ia menggunakan istilah “Rumah Tangga Bahagia” untuk memaknai Dar-ul salam. Sebagai kewajiban individual, setiap Muslim diwajibkan untuk menjadikan rumah tangga dalam kondisi yang harmonis.

 “…Masing-masing manusia sebagai oknum individueel diwajibkan berusaha sekuat tenaganya sehingga rumah tangganya itu merupakan “dar-ul salam”. “ Dar” artinya rumah, “salam” artinya “bahagia,” jadi dar-ul salam berarti “rumah bahagia”. Istilah “ rumah bahagia” menunjukkan dari dar-ul salam itu kepada fungsi yang statis, tetapi apabila yang kita maksudkan itu fungsi dinamisnya, maka kita harus pakai istilah: “rumah tangga bahagia,” tulisnya.  

Dari pranata sosial terkecil dalam masyarakat inilah Kasman menggagas keselarasan antara “keluarga bahagia” dengan konsep nasionalisme—baik yang digerakkan “dari atas” (pemerintah) maupun yang digerakkan “dari bawah” (oknum individual). Dalam konteks keadilan sosial, maka upaya yang ditempuh lewat jalur institusi keluarga masuk kategori fardlu ‘ain—kewajiban oknum individual—sedangkan program-program yang diselenggarakan oleh pemerintah masuk kategori fardlu kifayah—kewajiban kolektif. Kasman menggunakan dua aras pendekatan sekaligus dalam rangka mewujudkan keadilan sosial, yakni “dari atas” (pemerintah/fardlu kifayah/kolektif) dan “dari bawah” (keluarga/fardlu ‘ain/individu). Sebab, dalam alur logika berpikir Kasman, baik fardlu ‘ain maupun fardlu kifayah, keduanya tetap dalam kerangka “fardlu” (kewajiban).

 “Menurut ajaran Islam, alhasil segala apa yang hendak dicapai dengan nama umum “keadilan sosial” itu upaya diusahakan tercapainya hal itu terlebih dahulu, atau setidak-tidaknya bersama-sama in the same time dengan usaha pemerintah di tiap-tiap rumah tangga tersebut. Apabila kita bicara mengenai keadilan sosial, maka unit yang terkecil sebagai anggota sociologis-psychologis dari masyarakat itu bukanlah perseorangan atau oknum manusia masing-masing, tetapi justru “keluarga di rumah tangga” itulah..” Kasman kembali menegaskan: “Belumlah cukup apabila usaha dan jaminan termaksud diatur “dari atas”, yaitu oleh negara dengan cara perundang-undangan (mengenai perkawinan, keluarga, kewarisan), tetapi terutama sekali hal itu harus dilakukan oleh tuan dan nyonya rumah sendiri, tidak saja terhadap kawan-kawan serumah, tapi juga dan yang terutama sekali terhadap pada diri pribadi sendiri. Sehingga dengan begitu tiap-tiap rumah tangga itu hendaklah merupakan kern-masyarakat yang adil, makmur, dan berbahagia yang menyinari pula kepada tetangga, tetangga terdekat dan tetangga yang jauh (baca Al-Qur`an Surah an-Nisa` [4] : 36).

Cukup menarik frase akhir dari kutipan di atas bahwa tiap-tiap rumah tangga, dalam pandangan Kasman, hendaklah menjadi pusat dan sekaligus contoh dari pengejawantahan “rumah tangga bahagia”—adil dan makmur—yang dapat menyinari tetangga-tetangga yang lain, baik yang dekat maupun yang jauh. Dari konsep “rumah tangga bahagia” sebagai penjelmaan arti dar-ul salam, ketika berhasil menyinari—berinteraksi dan membangun kesadaran kolektif—akan tercapai bentuk “dar-ul sosialis.”

Terminilogi dar-ul sosialis secara tersurat diungkapkan Kasman dalam buku Renungan dari Tahanan. Ia menyimpulkan bahwa terbentuknya institusi keluarga lewat peran oknum individual antara laki-laki dan perempuan yang dilegalkan lewat syariat pernikahan akan membentuk rumah tangga bahagia.

Dari rumah tangga bahagia inilah terjalin komunikasi dan interaksi yang dipandu ajaran agama Islam sampai terbangun kesadaran bersama (kolektif) tentang arti penting kehidupan berbangsa dan bernegara. Walaupun terminilogi dar-ul sosialis terkesan agak sekuler (secara bahasa berarti: rumah tangga sosialis), tetapi di akhir kesimpulan Kasman menguncinya dengan frase: “sesuai dengan ajaran-ajaran Islam: kebahagiaan di dunia dan di akhirat.”

Dengan demikian, terminilogi dar-ul salam hingga dar-ul sosialis adalah cara Kasman memahami bagaimana proses nasionalisme di Indonesia terbentuk. Jika rumah tangga ibarat kapal, maka negara Indonesia adalah kapal besar, yang sedang berlayar menuju ke suatu tujuan. Jika salah satu rumusan tujuan nasional adalah terwujudnya “keadilan sosial” bagi seluruh rakyat Indonesia, maka dalam konteks ideologi Partai Masyumi, tujuan kapal berlayar adalah menuju “Baldatun Thayyibatun wa Rabbaun Ghafur.

Diktum inilah yang kemudian diadaptasi ke dalam struktur ideologi Partai Masyumi ketika merumuskan tujuan partai. Konsep “Baldatun Thayyibatun wa Rabbaun Ghafur yang digali dari al-Qur’an surat Yunus ayat 10, 25 dan Al-Baqarah ayat 112 kemudian dirumuskan menjadi tujuan Partai Masyumi: “…terlaksanannya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat, dan Negara Republik Indonesia, menuju keridaan Ilahi.” (habis)   

Mu’arif, Pengkaji Sejarah Muhammadiyah-‘Aisyiyah


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Khazanah

Ibrah Sejarah Maroko - Spanyol Oleh: Sudarnoto Abdul Hakim, Guru Besar Ilmu Sejarah dan Peradaban I....

Suara Muhammadiyah

26 April 2024

Khazanah

Singa di Atas Meja: Sosok Kasman Singodimedjo di Mata Sahabat  Oleh: Mu’arif Mr. Kasman....

Suara Muhammadiyah

21 September 2023

Khazanah

Aisyah binti Abu Bakar: Wanita Kritis dan Pemberani Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya ....

Suara Muhammadiyah

19 February 2024

Khazanah

Perang dan Pandemi yang Menghentikan Ibadah Haji Kerajaan Arab Saudi melalui Kementerian Haji Keraj....

Suara Muhammadiyah

5 June 2024

Khazanah

Apakah Islam Mengistimewakan Arab di atas Non-Arab? Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya....

Suara Muhammadiyah

22 March 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah