Demokrasi dan Tirani Mayoritas

Publish

25 September 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
28
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Demokrasi dan Tirani Mayoritas

Oleh: Suko Wahyudi, Pegiat Literasi Tinggal di Yogyakarta 

Demokrasi pada pandangan lahiriah selalu tampak menawan. Ia menjanjikan keterlibatan rakyat, suara mayoritas dihitung, dan keputusan diambil bersama. Dari kejauhan, wajahnya tampak berseri: pesta politik, semarak pilihan raya, dan jargon kebebasan yang menggema di ruang publik. 

Akan tetapi, di balik gemerlap itu tersembunyi pertanyaan mendasar yang tak boleh diabaikan: apakah arti sebuah pilihan bila hak hidup, kebebasan, dan kepemilikan seseorang dapat dirampas begitu saja oleh suara terbanyak? Demokrasi yang melupakan perlindungan hak dasar sesungguhnya hanyalah topeng, wajah meriah dengan isi bengis.

Hak-hak dasar manusia hadir lebih dahulu daripada negara, bahkan sebelum sistem demokrasi lahir. Hak untuk hidup, hak atas kebebasan, dan hak untuk memiliki hasil kerja bukanlah pemberian negara, bukan pula kemurahan hati mayoritas, melainkan anugerah yang melekat pada setiap insan. 

John Locke dalam Two Treatises of Government (1689) menegaskan bahwa “Men are by nature all free, equal, and independent, no one can be put out of this estate and subjected to the political power of another without his own consent.” Manusia secara kodrati adalah makhluk yang bebas, setara, dan mandiri; tidak seorang pun boleh ditundukkan pada kekuasaan politik orang lain tanpa persetujuannya.

Locke juga menekankan bahwa setiap manusia membawa hak-hak yang tak dapat dirampas seperti life, liberty, and property. Jika demokrasi mengabaikan fondasi ini, ia dapat berubah menjadi tirani baru: bukan tirani seorang raja tunggal, melainkan tirani suara terbanyak yang bersembunyi di balik legitimasi rakyat.

Tirani Mayoritas dan Rapuhnya Demokrasi

Keyakinan bahwa suara rakyat tidak mungkin salah sering kali meninabobokan kesadaran kita. Padahal, pengalaman sejarah menunjukkan kenyataan yang pahit: suara mayoritas bisa sama keras dan kejamnya dengan absolutisme seorang penguasa tunggal. 

Alexis de Tocqueville dalam Democracy in America (1835) mengingatkan bahwa mayoritas dapat menjalankan otoritas yang begitu besar, sehingga seolah-olah bukan hanya kekuasaan, tetapi juga seluruh kewenangan berpindah ke tangan mereka. Dari pengamatan inilah lahir istilah tirani mayoritas, yakni ketika suara terbanyak berubah menjadi instrumen penindasan terhadap kelompok yang lebih kecil.

Maka dari itu, demokrasi tidak cukup diukur dengan mekanisme pemilu atau sekadar hitungan suara. Ia memerlukan pagar hukum yang adil, prinsip yang tegas mengenai apa yang tak boleh disentuh, bahkan oleh suara mayoritas sekalipun. Hak hidup, kebebasan, dan kepemilikan adalah hak yang tak dapat diperdagangkan dalam kotak suara. Tanpa perlindungan hak, demokrasi mudah terperosok menjadi rimba belantara politik, tempat yang kuat menelan yang lemah dengan alasan mayoritas setuju.

Sejarah memperlihatkan betapa demokrasi sering runtuh bukan karena despotisme seorang raja, melainkan karena kelengahan rakyat menjaga hak-haknya sendiri. Banyak orang rela menukar kebebasan dengan kenyamanan sesaat, atau membiarkan mayoritas menentukan arah hidup minoritas. Pada saat itulah demokrasi kehilangan jiwanya dan menjelma menjadi kedok bagi perampasan.

Hak Asasi sebagai Fondasi yang Tak Boleh Diganggu Gugat

Demokrasi yang hanya mengandalkan aritmetika suara pada dasarnya tidak lebih dari permainan angka. Ia dapat menentukan siapa yang keluar sebagai pemenang dalam sebuah kontestasi politik, tetapi kemenangan itu sendiri tidak serta merta identik dengan hadirnya keadilan.

Angka bisa dihitung, suara bisa ditimbang, tetapi nilai kebenaran dan keadilan tidak bisa diputuskan hanya dengan mayoritas matematis. Sebuah pemerintahan yang lahir dari suara terbanyak belum tentu membawa perlindungan terhadap yang paling sedikit; ia bisa saja menjadi instrumen legitimasi bagi kepentingan kelompok dominan.

Padahal, yang lebih dirindukan dalam demokrasi adalah landasan moral politik yang kokoh. Demokrasi sejati semestinya berakar pada prinsip bahwa hukum berdiri di atas semua orang, tanpa kecuali, serta bahwa hak-hak dasar setiap warga negara tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun, bahkan oleh mereka yang memperoleh mandat mayoritas. 

Dengan kata lain, demokrasi tidak hanya tentang siapa yang menang dalam pemilu, melainkan tentang batas-batas yang tak boleh dilanggar meskipun oleh pihak yang menang. Tanpa kesadaran moral ini, demokrasi mudah tergelincir menjadi wajah baru dari ketidakadilan.

Bahaya besar demokrasi yang abai terhadap perlindungan hak adalah hilangnya arah dan tujuan. Orang merasa berkuasa hanya karena jumlah, seolah-olah banyak berarti benar, padahal jumlah tidak pernah menjadi ukuran mutlak kebenaran atau keadilan. 

Demokrasi yang menekankan angka semata rawan berubah menjadi alat pembenaran bagi keserakahan kelompok tertentu. Suara mayoritas yang dimenangkan dengan cara propaganda, manipulasi, atau sekadar mengikuti arus bisa menutup pintu bagi suara hati nurani dan mengabaikan kewajiban melindungi yang lemah. Pada titik ini, demokrasi kehilangan inti moralnya dan menjelma sekadar arena perebutan kekuasaan.

Padahal, keadilan merupakan syarat sah atau tidaknya suatu pemerintahan, jauh lebih penting daripada sekadar klaim legitimasi angka. Bila keadilan dihapus dari ruang publik, demokrasi hanya menyisakan kebebasan semu dan ketidakpastian hidup bersama. Masyarakat akan berjalan tanpa kompas moral, menukar hak dengan kenyamanan sesaat, dan membiarkan kekuasaan dipertahankan oleh mereka yang beruntung memenangkan suara terbanyak. 

Sejarah panjang, dari Romawi kuno hingga dunia modern, menunjukkan pola yang sama: ketika mayoritas tak diimbangi perlindungan hak dasar, yang lahir bukanlah kemakmuran, melainkan kekacauan yang menelan semua pihak.

Demokrasi Indonesia

Kondisi Indonesia hari ini menuntut kewaspadaan yang serupa. Demokrasi kita memang berjalan melalui pemilu rutin dan suara rakyat dihitung. Namun, tak jarang praktik demokrasi terjebak dalam euforia angka, seakan-akan mayoritas adalah satu-satunya tolok ukur sahnya kekuasaan. 

Dalam kenyataan, kita menyaksikan bagaimana minoritas kadang merasa terpinggirkan, bagaimana hukum kerap ditarik oleh kepentingan politik, serta bagaimana kebijakan publik bisa mengorbankan hak sebagian orang dengan alasan legitimasi suara terbanyak.

Ketika kebebasan berpendapat dibatasi dengan dalih stabilitas, ketika pandangan berbeda dipersekusi oleh massa, atau ketika hak atas tanah dan lingkungan dikorbankan demi proyek besar yang disepakati segelintir elite dengan dukungan mayoritas, maka demokrasi kita sedang berjalan di tepi jurang. Di titik itulah peringatan Locke dan Tocqueville menjadi sangat relevan: demokrasi tidak cukup dengan kotak suara, tetapi juga memerlukan pagar hukum, konstitusi yang kokoh, serta keberanian membela mereka yang lemah.

Demokrasi memang memberi ruang bagi suara rakyat, tetapi suara itu harus selalu disertai kesadaran untuk menjaga hak-hak dasar setiap individu. Tanpa itu, demokrasi hanyalah panggung yang gemerlap di permukaan, namun rapuh di dalamnya. Ia bisa menjelma pesta besar yang pada akhirnya berakhir dengan reruntuhan.

Suara rakyat memang penting, tetapi hak rakyat jauh lebih penting. Demokrasi hanya memiliki arti apabila keduanya berjalan beriringan. Bila tidak, demokrasi hanyalah pesta sesaat yang meninggalkan luka mendalam.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Anak Saleh (20) Oleh: Mohammad Fakhrudin "Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui pr....

Suara Muhammadiyah

5 December 2024

Wawasan

Mengenang Sang Inspirator Oleh: Teguh Pamungkas, Warga Muhammadiyah Kalsel    Masyarakat....

Suara Muhammadiyah

22 June 2024

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Artikel ini mencoba memahami ke....

Suara Muhammadiyah

27 May 2024

Wawasan

Oleh: Saidun Derani Dosen pascasarjana UM Surabaya dan UIN Syahid Jakarta serta aktivis PWM Banten ....

Suara Muhammadiyah

22 February 2024

Wawasan

Dualisme Putusan MK, Kesehatan Otak, dan Ketaatan Hukum  Oleh: Wildan dan Nurcholid Umam Kurni....

Suara Muhammadiyah

4 December 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah