Keseimbangan dalam Bederma
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Bederma dalam Islam adalah wujud keseimbangan yang sempurna antara kebutuhan individu dan kebutuhan masyarakat, kebutuhan pemberi dan kebutuhan penerima. Kita sering mendengar para ustadz menasihati kita untuk bederma, “Perbanyaklah sedekah. Jangan lupa berinfak. Ingatlah untuk membayar zakat.” Kita sudah sering mendengar ini.
Pertanyaannya, di mana garis demarkasi antara orang-orang yang memberikan derma dan mereka yang seharusnya menerima derma? Jika Anda hendak memberi, berapa banyak yang harus Anda berikan dalam kegiatan amal? Apakah Anda memberikan semuanya sampai sakit? Berapa tepatnya?
Masyarakat membutuhkan bimbingan tentang hal-hal ini, jika tidak maka akan menguap begitu saja. Banyak yang sebenarnya belum mengerti, "Apakah saya sudah betul-betul memberi? Bagaimana Anda tahu bahwa Anda memang sudah bederma atau beramal? Di sinilah tampaknya Islam sebenarnya unggul. Sebab Islam memberikan panduan yang sangat jelas tentang siapa yang harus memberi, siapa yang akan menerima, dan berapa banyak yang harus Anda berikan.
Pertama adalah mengeluarkan zakat. Zakat adalah amal wajib. Lalu ada sedekah, yang bersifat sukarela, bahkan jumlahnya bisa di atas batas minimum zakat. Batas minimum zakat diterapkan pada orang-orang yang memiliki jumlah tertentu, yang disebut sebagai nisab. Jumlah minimum ini dihitung selama setahun.
Zakat ini pada dasarnya adalah pajak atas kekayaan, dibayar setahun sekali atas aset bersih seseorang. Tidak semua aset, hanya aset yang dapat dicairkan—uang tunai, tabungan, saham, inventaris dalam bisnis dan sebagainya. Karena Anda dapat dengan mudah menjual semuanya sehingga memperoleh uang tunai. Zakat dibayarkan oleh mereka yang sudah mencapai batas dasar atau minimum dari asetnya.
Lantas apa yang dimaksud dengan jumlah dasar atau minimum (nisab) itu? Dulu itu setara dengan sejumlah koin pada saat itu, atau sekitar tiga setengah ons emas di masa kita saat ini. Ketika seseorang dengan harta sudah mencapai nisab, maka dia wajib membayar zakat. Tetapi ia tidak dibayar segera, tapi dibayar setelah satu tahun sejumlah dua setengah persen (2,5%) dari apa yang dimiliki seseorang pada waktu itu. Ini berbeda dengan sedekah, di mana kita didorong untuk memberi lebih banyak dan lebih banyak lagi. Tapi zakat dimulai dengan jumlah minimum dasar.
Lalu, siapa yang akan menerima zakat? Al-Qur'an menyatakan, “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan” (QS 9: 60). Kita bisa baca ada fakir dan miskin. Dua kategori ini terpisah. Ada orang yang fakir yang sama sekali tidak punya uang atau kekayaan. Lalu ada yang miskin, yang bisa saja punya penghasilan atau uang. Tapi semua itu jauh dari cukup atau memadai untuk bertahan hidup.
Ada orang yang berhutang. Bisa saja mereka berbadan sehat dan mampu bekerja, tetapi mereka tertekan dan tidak berdaya oleh utang. Maka kita dapat menolong mereka lewat dana amal. Ada juga orang-orang yang mengadakan perjalanan. Mereka mungkin punya rumah dan keadaan yang baik di tempat asalnya, tetapi saat bepergian mereka mungkin terdampar dan membutuhkan bantuan. Maka mereka berhak mendapatkan bantuan keuangan.
Al-Qur'an juga mendorong kita untuk tidak mengabaikan diri sendiri. Dalam surat ke-28 ayat 81, Allah berfirman, “Maka Kami benamkan dia (Qarun) bersama rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya satu golongan pun yang akan menolongnya selain Allah, dan dia tidak termasuk orang-orang yang dapat membela diri” (QS 28: 81). Ayat ini terkait dengan kisah Qarun. Dia memiliki banyak kekayaan, tetapi dia tidak berterima kasih kepada Allah. Dia percaya pengetahuannya sendiri mengantarkannya mendapatkan kekayaan sebanyak itu. Akhirnya Allah menimpakan gempa bumi sehingga menelan Qarun dan kekayaannya juga.
Pesan yang diberikan kepada Qarun adalah bahwa dia harus bederma dan bersyukur kepada Tuhan. Dia harus murah hati seperti Allah telah bermurah hati kepadanya. Tapi pada saat yang sama, dia tidak boleh melupakan bagiannya di dunia. Itu berarti dia dapat menikmati sebagian kekayaan yang telah diberikan Tuhan kepadanya seraya pada saat yang sama memberikan derma kepada orang-orang yang memerlukannya. Ini adalah keseimbangan yang sempurna.
Al-Qur’an mengatakan, “Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar” (QS 25: 67). Pada ayat tersebut Allah menggambarkan hamba-Nya yang disebut Abdul Rahman—seorang hamba Tuhan yang sejati yang ketika dia memberi maka dia juga menyisihkan bagiannya. Dia menemukan keseimbangan yang rasional di antaranya.
Inilah keseimbangan yang indah. Segala sesuatunya harus seimbang, terutama ketika bederma. Kita juga harus mencapai keseimbangan ini. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu) artinya janganlah kamu menahannya dari berinfak secara keras-keras; artinya pelit sekali (dan janganlah kamu mengulurkannya) dalam membelanjakan hartamu (secara keterlaluan, karena itu kamu menjadi tercela)” (QS 17: 29). Ayat ini menyuguhkan kita gambaran bahwa kita tidak bisa menjaga tangan kita saat tangan kita terbelenggu di leher kita. Kita tidak akan bisa meregangkannya untuk memberikan apa pun. Pada saat yang sama, kita juga tidak boleh meregangkannya seakan-akan kita memberikan segalanya.
Jadi berikan derma dengan cara yang seimbang dan masuk akal. Kita juga harus memperhatikan diri sendiri. Inilah adalah potret keseimbangan yang indah. Ini memberi kita sifat Islam secara keseluruhan. Islam menjaga keseimbangan, antara kebutuhan pribadi sendiri dan kebutuhan masyarakat. Kita dapat menjaga diri sendiri lewat rahmat yang telah Allah berikan kepada kita. Tetapi kita harus membagikannya kepada orang fakir dan miskin juga. Kita harus mengurus kebutuhan dunia.
Bagaimana caranya agar kita membuat dunia ini lebih baik? Pertama, bederma membuat kita utuh karena kita tidak memberikan segalanya, lalu menghabiskan waktu dalam kemiskinan dengan mengemis. Ajaran dan tradisi Islam sangat mencegah situasi di mana umat Islam jatuh jadi peminta-minta. Kita mulai dengan diri kita sendiri. Kita harus mencoba untuk berdiri, mandiri, menahan diri agar tidak menjadi beban bagi masyarakat. Kedua, itu membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik. Ketika kita diberdayakan untuk menjaga diri kita sendiri dan termotivasi untuk memberikan amal dengan cara yang diajarkan Islam, maka kita membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, dengan memberikan derma dan membesarkan hati orang lain.