YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Anggota Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Sleman Athiful Khoiri, SPsi., MPsi menyebut momentum Idul Adha sebagai ruang kontemplasi untuk mengingat kembali kisah heroik keluarga Nabi Ibrahim dan Ismail. Dengan mengenang kembali perjuangan Nabi Ibrahim, diharapkan umat Islam dapat mengambil pelajaran dan nilai-nilai spiritual dalam menjalani kehidupan ini.
"Mudah-mudahan dengan memahami sejarah ini, kita juga dapat termotivasi untuk melaksanakan ibadah haji dan kurban, yang sangat diinginkan oleh semua umat Islam," ujarnya saat Khutbah Idul Adha 1445 H di Lapangan Kopertis Bumijo yang dilaksanakan Muhammadiyah Jetis Yogyakarta, Senin (17/6).
Athiful mengatakan kisah itu bermula dari Siti Hajar dianugerahi seorang putra terkasih yang telah lama dinantikan. Yakni Ismail. Kelahirannya hatta diiringi dengan ujian dan cobaan. Saat tinggal di lembah, Athiful menyebut Siti Hajar kehabisan air minum dan tidak bisa menyusui Ismail. Melihat bukit Shafa, dia bergegas mencarinya air ke puncak bukit itu tetapi tidak menemukan apa-apa. Dia kemudian menuju bukit Marwah, namun juga tidak menemukan air. Siti Hajar terus berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali.
"Peristiwa ini diabadikan menjadi salah satu rukun haji, yakni sa’i. Dalam kondisi lemah, Siti Hajar berdoa kepada Allah memohon pertolongan. Tiba-tiba dari kaki Ismail, yang sedang menangis kehausan, muncul mata air yang memancar. Air tersebut adalah air zamzam, yang sampai saat ini dinikmati oleh umat Islam di seluruh dunia," katanya.
Di saat bersamaan, Athiful menjelaskan Cobaan keluarga Nabi Ibrahim tidak berhenti sampai di situ. Nabi Ibrahim mendapatkan perintah dari Tuhannya melalui isyarat mimpi untuk menyembelih Ismail. "Perintah ini juga menjadi sebuah ujian keimanan dan ketakwaan Nabi Ibrahim kepada Allah," jelasnya.
Ketika mendapati mimpi itu, Athiful mengatakan Nabi Ibrahim merasa ragu. Maka, Ia melakukan tafakur sembari memikirkan, apakah ini benar-benar perintah Allah. Setelah tafakur, hilanglah keraguan Nabi Ibrahim. Ia menyakini mimpi itu datang berulang 3 kali benar-benar perintah Allah. Ketika menjalankan perintah itu, tiba-tiba Allah menggantikan Ismail dengan sembelihan yang besar.
"Dari peristiwa bersejarah inilah, umat Islam kemudian disyariatkan untuk menyembelih hewan kurban di hari raya Idul Adha pada 10 Zulhijjah. Peristiwa ini menegaskan, bahwa seseorang dilarang keras mengalirkan darah manusia," ucapnya.
Athiful mengajak untuk mengambil hikmah dan keteladanan dari kisah tersebut. Dimulai dari keteladanan perjuangan hidup, sampai dengan keteguhan iman dan takwa dalam menjalankan segala perintah Allah, dan menjauhi apa yang menjadi larangan-
Nya.
"Kisah-kisah Nabi Ibrahim yang termaktub dalam Al-Qur’an dan terwujud dalam bentuk ibadah, seperti sa’i, melempar jumrah, puasa tarwiyah, arafah, serta menyembelih hewan kurban ini harus semakin meningkatkan keyakinan dan keteguhan kita dalam beribadah," tuturnya.
Athiful menambahkan setiap perayaan Idul Adha, sejatinya umat Islam diingatkan untuk merenungkan kembali makna pengorbanan, dan bagaimana kita mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ibadah kurban yang kita lakukan setiap tahun bukan sekadar ritual penyembelihan hewan, melainkan memiliki spirit makna mendalam yang mencerminkan kesalehan ritual dan kesalehan sosial.
"Mari kita tanamkan jiwa peduli, berbagi, dan beramal kebajikan, lebih-lebih untuk orang-orang yang membutuhkan. Kita kembangkan solidaritas sosial yang memupuk persaudaraan, toleransi, perdamaian, dan kebersamaan yang tulus, sebagai sesama anak bangsa," tandasnya. (Cris)