YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD) kembali menggelar Kajian Menjelang Berbuka ke-15 pada Sabtu (15/03). Kajian kali ini menghadirkan Dr. Diyah Puspitarini, M.Pd. yang merupakan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sekaligus Sekretaris Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah sebagai pemateri kajian. Ia membawakan materi yang relevan dan mendalam mengenai Perlindungan Anak dalam Islam.
Dalam kajiannya, Diyah menekankan pentingnya menjaga anak-anak dari berbagai ancaman, baik yang bersifat fisik, mental, maupun digital. Ia mengutip Surah At-Tahrim ayat 6 sebagai dasar pemahaman bahwa menjaga diri dan keluarga dari api neraka merupakan tanggung jawab utama setiap orang beriman. Dalam pemaparannya, ia membandingkan konsep perlindungan anak dalam Islam dengan realitas saat ini yang penuh tantangan.
Diyah mengungkapkan keprihatinannya terhadap meningkatnya kasus eksploitasi anak, terutama yang melibatkan teknologi digital. Salah satu kasus yang dibahas adalah kejahatan yang dilakukan oleh oknum aparat di Ngada, NTT, yang memperdagangkan video eksploitasi anak ke luar negeri dengan harga tinggi. Ia menyoroti betapa lemahnya perlindungan anak dalam ranah digital jika tidak ada pengawasan ketat dari keluarga dan masyarakat.
“Fenomena ini membuka mata kita bahwa kejahatan berbasis digital nyata dan sangat dekat dengan kehidupan kita. Bahkan, aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi pelindung justru terlibat dalam kasus keji seperti ini,” ungkapnya.
Diyah juga membahas perlunya literasi digital bagi orang tua agar dapat mendampingi anak-anak dalam menggunakan teknologi. Menurut data yang disampaikannya, lebih dari 35% anak usia dini di Indonesia telah mengakses internet, bahkan sejak usia di bawah lima tahun. Ia mengingatkan bahwa penggunaan gadget tanpa pengawasan dapat berdampak buruk terhadap perkembangan anak.
“Anak-anak kita saat ini terlalu dini terpapar dunia digital. Sebagian besar dari mereka menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar tanpa kontrol yang jelas dari orang tua,” katanya. Ia juga menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan tingkat penggunaan gadget tertinggi di Asia Tenggara, di mana rata-rata masyarakatnya menggunakan ponsel selama enam jam per hari.
Diyah menekankan bahwa pendidikan dan kesadaran dalam keluarga adalah kunci utama dalam melindungi anak dari bahaya digital. Ia mendorong para orang tua untuk lebih aktif dalam mengawasi serta memberikan batasan yang jelas terhadap penggunaan internet bagi anak-anak mereka. Ia menekankan bahwa tanggung jawab ini tidak hanya dibebankan kepada pemerintah atau lembaga tertentu, tetapi menjadi kewajiban bersama demi masa depan generasi yang lebih baik.
Diyah menyoroti tantangan besar yang dihadapi generasi muda akibat perkembangan teknologi dan media sosial yang semakin pesat. Ia menekankan bahwa anak-anak Indonesia saat ini menghadapi berbagai ancaman, mulai dari kecanduan gadget hingga keterlibatan dalam tindakan kriminal digital.
"Anak-anak kita hari ini lebih pintar dalam menggunakan teknologi dibanding orang tuanya. Jangan sampai kita yang membeli handphone justru dibodohi oleh anak kita sendiri," ujarnya.
Ia mengungkapkan bahwa di beberapa negara, seperti Vietnam, penggunaan ponsel telah dibatasi berdasarkan usia. "Di Vietnam saja, penggunaan handphone itu dibatasi usianya. Mengapa di Indonesia tidak ada regulasi yang serupa?" tanyanya.
Diyah juga membahas fenomena judi online yang kini banyak melibatkan anak-anak. Menurutnya, data dari PPATK menunjukkan bahwa terdapat ratusan ribu rekening yang terkait dengan judi online, bahkan dimiliki oleh anak-anak di bawah usia 10 tahun. "Ini bukan uang mainan, ini uang sungguhan! Anak-anak kita terjerumus tanpa mereka sadari," tegasnya.
Lebih lanjut, ia menyoroti dampak buruk kecanduan game online. Ia menyebutkan bahwa di Jawa Barat, jumlah pasien rumah sakit jiwa khusus anak meningkat tajam sejak tahun 2021, dengan sebagian besar kasus berkaitan dengan kecanduan game. "Ada anak-anak yang bahkan sampai kehilangan kendali atas hidupnya karena kecanduan game online," katanya.
Diyah juga menyoroti kasus tawuran yang ternyata banyak direncanakan melalui game online. "Percaya atau tidak, anak-anak kita hari ini janjian tawuran bukan lagi melalui WhatsApp atau Facebook, tapi lewat game online seperti Mobile Legends dan Free Fire," ungkapnya.
Salah satu hal yang membuatnya miris adalah meningkatnya kasus bunuh diri di kalangan anak-anak, yang kini bahkan dilakukan melalui live streaming. "Saya melihat sendiri kasus anak yang bunuh diri di Jakarta. Ada yang live streaming dan dengan santainya berkata, 'Guys, saya mau menjatuhkan diri dari jembatan'. Ini bukan sekedar angka statistik, ini nyawa anak-anak kita!" ujarnya.
Menutup pemaparannya, Diyah menegaskan bahwa tantangan era digital ini harus dihadapi dengan sinergi dari berbagai pihak. Ia menekankan empat faktor utama yang harus diperkuat: kebijakan pemerintah, peran keluarga, sistem pendidikan, dan kesadaran masyarakat digital. "Jika Abu Dhabi bisa langsung menutup akses video call karena dua kasus pornografi, mengapa kita di Indonesia yang kasusnya lebih banyak tidak bisa melakukan tindakan tegas?" katanya.
Ia pun mengajak para orang tua untuk lebih proaktif dalam mengawasi anak-anak mereka. "Jangan biarkan anak-anak kita hidup dalam dunia maya tanpa bimbingan. Jika mereka lebih banyak memiliki teman di dunia maya dibanding dunia nyata, kita harus bertanya: apakah mereka benar-benar hidup atau hanya setengah sadar?" pungkasnya.
Dengan tantangan yang semakin kompleks, Diyah berharap ada langkah konkret dari semua pihak untuk melindungi anak-anak dari dampak negatif teknologi, tanpa mengabaikan manfaat positifnya. (Giti)