YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Dosen Agribisnis Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Aris Slamet Widodo, S.P., M.Sc., berhasil meraih hibah pendanaan Pemberdayaan Kemitraan Masyarakat (PKM) dari Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DPPM) Tahun Anggaran 2025. Program ini berfokus pada penguatan agribisnis jamur melalui pemanfaatan limbah serbuk gergaji sebagai energi biomasa untuk mesin steamer baglog di Desa Karangsari, Wonosobo.
Dalam wawancara eksklusif melalui WhatsApp pada Jumat (21/11), Aris menjelaskan bahwa program ini berangkat dari persoalan lingkungan yang telah lama dihadapi desa tersebut. Pendampingan UMY terhadap Karangsari sudah berlangsung sejak 2020, dan dari pemetaan lapangan ditemukan bahwa desa ini memiliki potensi sekaligus tantangan besar terkait limbah industri kayu.
“Desa Karangsari memiliki 18 pabrik pengergajian kayu. Setiap hari mereka menghasilkan limbah serbuk gergaji dan serpihan kayu dalam jumlah yang sangat besar,” ungkap Aris. Limbah tersebut selama ini banyak dibakar begitu saja sehingga menimbulkan polusi udara, sedangkan sisanya hanya dibiarkan menumpuk.
Melihat kondisi ini, Aris dan tim menginisiasi pemanfaatan serbuk gergaji sebagai bahan baku pembuatan baglog (media tanam jamur). Inisiatif tersebut didukung hasil studi banding ke sentra produksi baglog di Klangon, Bantul, serta uji coba budidaya jamur di Karangsari. Hasilnya menunjukkan bahwa kondisi agroklimat lokal, khususnya tingkat kelembapan, sangat ideal untuk pertumbuhan jamur tiram.
“Jamur bisa tumbuh berkembang dengan baik di Karangsari,” tegas Aris. Temuan inilah yang menjadi fondasi untuk mengajukan hibah pengembangan baglog berbasis teknologi.
Modernisasi Produksi Baglog: Cepat, Efisien, dan Ramah Lingkungan
Melalui hibah DPPM 2025, tim berhasil menghadirkan peralatan modern untuk meningkatkan efisiensi produksi baglog. Jika sebelumnya proses pengadukan dan pengepresan dilakukan secara manual menggunakan tangan dan batang kayu, kini seluruh tahapan sudah terintegrasi dengan mesin.
“Alhamdulillah kami dapat alat pengaduk, jadi tidak perlu lagi mengaduk secara manual di lantai. Setelah itu bahan dipindahkan ke mesin press baglog,” jelas Aris.
Hasilnya, produktivitas meningkat drastis. Metode manual membutuhkan sekitar empat menit untuk menghasilkan satu baglog, sedangkan dengan mesin baru hanya memerlukan satu menit untuk proses yang sama. Tekanan mesin yang stabil juga membuat ukuran baglog lebih seragam dan berkualitas.
Dari sisi lingkungan, program ini juga menekan pembakaran limbah kayu, sehingga kualitas udara desa meningkat. Secara sosial-ekonomi, program ini membuka peluang usaha baru bagi warga, khususnya ibu-ibu anggota kelompok Shodaqoh Sampah.
“Dampak ekonominya jelas terasa, memberikan pendapatan tambahan bagi masyarakat,” ujar Aris.
Saat ini kelompok petani jamur mampu mengelola 2.500–3.000 baglog, dengan tambahan pendapatan sekitar Rp1,7–2 juta per bulan. Peningkatan kapasitas produksi dari 2.000–2.500 baglog menjadi 4.000 baglog per bulan juga meningkatkan pendapatan kelompok hingga sekitar Rp3 jutaan per bulan.
Target 2025 Melampaui Ekspektasi
Target program tahun 2025 adalah meningkatkan kapasitas produksi hingga 6.000 baglog. Target tersebut tidak hanya tercapai, tetapi terlampaui.
“Target kami adalah memproduksi 6.000 baglog dan alhamdulillah tercapai. Sebanyak 4.000 digunakan untuk kebutuhan internal, sedangkan 2.000 sisanya dijual kepada petani jamur di luar desa,” paparnya.
Untuk keberlanjutan, BUMDES Karangsari berperan sebagai pengelola produksi baglog, sementara ibu-ibu petani menjadi produsen jamur tiram. Sistem pemasaran juga berjalan lancar melalui jaringan pedagang keliling yang sebagian besar merupakan warga Karangsari sendiri.
“Penjualannya itu mudah karena didistribusikan oleh pedagang keliling dari warga Karangsari, dan mereka memasarkannya ke desa-desa lain setiap hari,” tutup Aris. Dengan demikian, ekosistem agribisnis jamur di Karangsari kini bergerak secara mandiri dan berkelanjutan. (FU)


