Dunia Menatap Rafah
Oleh: Teguh Pamungkas, Eks volunteer children center Muhammadiyah-Unicef di Pidie, Aceh
Ardhi zgheere metli zgheere
(Tanah kami kecil seperti kecilnya aku)
A’touna es-salam a’touna et-tufoole
(Beri kami kedamaian dan beri kami masa kecil)
A'touna et-tufoole
(Beri kami masa kecil)
A'touna, 'atouna, 'atouna es-salam
(Beri kami… beri kami… beri kami kedamaian)
Penggalan bait syair lagu di atas dinyanyikan oleh Remi Bandali. Ia seorang penyanyi cilik pada tahun 80-an yang berasal dari Lebanon. Lagu tersebut berjudul a’touna et-tufoole. Lagu yang menceritakan kisah anak-anak yang menjadi korban konflik dan kekejaman zionis di Palestina.
Dunia media sosial diramaikan tranding hashtage. Berbagai platform medsos tak habis-habisnya gencar membagikan berbagai tulisan, foto dan gambar yang menceritakan kebiadaban Israel di Rafah, Palestina. All Eyes on Rafah, mengetuk nurani kita semua. Sebagai bentuk pengakuan dan pembelaan terhadap warga yang terus ditindas hak-haknya oleh Israel. Rafah menjadi sorotan solidaritas.
Rafah merupakan tempat untuk mengungsi warga gaza yang diserang tentara Israel. Awalnya daerah itu dianggap paling aman untuk menghindari perang. Namun rupanya tidak demikian. Sejak senin malam di akhir Mei (27/5) puluhan warga Palestina di Rafah harus mengungsi. Tenda-tenda pengungsi porak poranda, hangus terbakar menjadi puing-puing.
Anak-anak menangis kehilangan orangtuanya. Anak-anak menjadi korban, mengalami luka-luka, bahkan sampai kehilangan nyawa. Serangan Israel ke Palestina bukan lagi perang, namun kesengajaan genosida terhadap warga Palestina.
Rafah bergejolak, serangan-serangan darat dan udara mengakibatkan korban jiwa yang meninggal dunia. Entah pengaruh apa yang membuat tentara Israel sengaja menghabisi anak-anak Palestina yang tak berdosa. Mereka yang lemah, tak kuasa melawan terus ditindas. Bukan hanya masa depannya yang direnggut, namun kehidupannya pun dirampas.
All Eyes on Rafah. Jutaan warga di berbagai belahan dunia terus bersuara melawan dan mengecam arogansi Israel. Baik dengan digital solidarity melalui media sosial maupun dengan aksi turun ke jalan. Bukan hanya Indonesia dan negara-negara di timur tengah saja, tetapi unjuk rasa juga dilakukan di Eropa, Afrika hingga dari negara sekutunya sendiri, yaitu Inggris dan Amerika. Rakyat Inggris dan Amerika muak dengan kebijakan yang dilakukan negaranya karena telah merampas hak dan kehidupan bangsa lain.
Baru-baru ini bertambah lagi negara yang mengakui negara Palestina, yaitu Spanyol, Norwegia dan Irlandia. Padahal ketiga negara tersebut selama ini dikenal sebagai sekutu Amerika. Pengakuan negara dari Eropa itu pun membuat geram Israel. Israel mengirim utusannya dan berencana segera menarik para duta besarnya.
Gema deklarasi kemerdekaan Palestina telah dinyatakan pada 15 November 1988 di Aljazair oleh Dewan Nasional Palestina dan Yasser Arafat, ketua Organisasi Pembebasan Palestina dengan ibu kotanya Yerusalem. Seperti yang diberitakan Tribunnews (23/5/24), hingga Mei 2024, ada 143 dari 193 anggota Majelis Umum PBB memberikan suara mendukung Palestina untuk bergabung dengan PBB, termasuk Indonesia.
Solidaritas
Ramainya hashtage All Eyes on Rafah merupakan wujud empati masyarakat dunia (solidaritas). Nurani terketuk sebagai fitrah manusia. Agresi militer yang dilakukan Israel terhadap Palestina mengindikasikan betapa lemahnya nurani yang ada pada diri orang-orang Israel. Menandakan telah mengalami kedangkalan perasaani. Nuraninya berganti dengan kebengisan, kebiadaban dan kebencian.
Nurani adalah komunikasi hati manusia, yang kehadirannya tak bisa ditutupi oleh tabir-tabir kejahatan lewat perang (baca; genosida). Akal dan hati ada di setiap insan manusia. Peran akal manusia sebagai rasio mengukur empirisme subyektif. Karena pemikiran akan mengantarkan pertarungan interpretasi yang bisa membedakan antara benar dan salah. Serangan ke Rafah membuat hati siapa pun marah.
Sedangkan hati berdekatan dengan intuisi manusia yang paling mendasar. Di mana manusia bisa menyandarkan rasa kemanusiaan, asas saling menghargai, mau menghormati sesama dan tolong menolong.
Secara sengaja nurani dibenturkan pada egoisme. Padahal tanpa melalui pendekatan hati, dari pemikiran akal sehat saja sangat kentara mana yang sebenarnya hak dan di mana posisi kehumanisan. Penyakit ego yang tercela adalah serakah. Menurut Jakob Sumardjo (2001), bahwa akibat keserakahan – entah makan, minum, memiliki, kekuasaan, kekayaan, ketenaran dan sebagainya – mengakibatkan penderitaan bagi orang lain. Ego yang ada tak akan pernah mewakili kepuasan duniawi.
Naluri manusia untuk menginginkan sesuatu memang wajar. Namun akan menjadi tidak wajar jika pemenuhan sesuatunya mengenyahkan nilai nurani. Dikatakan wajar bila pemenuhannya ditempuh dengan jalur keberpihakan yang tepat. Layak memeroleh sesuatu seandainya nurani sebagai manusia terus terjaga. Begitu indah seandainya keterjagaan nurani manusia, sehingga tak mudah tergerus arus orientasi kefanaan dunia.
Menumbuhkan kepekaan diri yang bernama nurani sama pentingnya mengontrol keinginan untuk memiliki. Sebab jika tidak memiliki nurani, maka tidak akan bisa menyayangi sesuatu. Pun akhirnya tidak bisa mencintai apa yang semestinya, sehingga mau menyakiti dan membunuh orang-orang, berbuat memaksakan kehendak serta tak mampu membedakan mana kepunyaan sendiri dan mana milik orang lain.