YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Indonesia kini berada di puncak peta ekonomi digital Asia Tenggara, menguasai hampir 40 persen pangsa pasar kawasan dengan nilai transaksi yang diproyeksikan mendekati 100 miliar dolar AS pada tahun 2025. Pertumbuhan yang melesat ini menempatkan Indonesia sebagai pemimpin pasar digital ASEAN. Namun, di balik capaian tersebut, terdapat persoalan serius yang berpotensi memperlebar kesenjangan kesejahteraan antarwilayah.
Gambaran tersebut disampaikan oleh dosen Program Studi Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Romi Bhakti Hartarto, M.Ec., Ph.D., ketika membahas arah pembangunan ekonomi digital nasional.
Romi menjelaskan bahwa posisi Indonesia saat ini dapat dianalogikan sebagai “raksasa digital” yang tumbuh cepat dan memiliki pengaruh regional. “Nilai ekonomi digital atau GMV kita sudah hampir 100 miliar USD di tahun 2025, dan Indonesia menjadi kontributor 40 persen dari total ekonomi digital Asia Tenggara,” ujarnya dalam wawancara daring pada Rabu (26/11).
Menurut Romi, sektor digital kini mengambil peran sebagai mesin baru pembangunan nasional, berpotensi menggantikan ketergantungan lama pada komoditas seperti batu bara dan kelapa sawit. Dengan proyeksi nilai ekonomi digital yang dapat mencapai 360 miliar dolar AS pada 2030, posisi Indonesia akan semakin strategis dalam kancah diplomasi ekonomi regional.
Meski demikian, Romi menegaskan bahwa pertumbuhan masif tersebut tidak otomatis menghadirkan pemerataan. Merujuk pada data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2024, ia menyebutkan bahwa penetrasi internet nasional memang mencapai hampir 80 persen atau sekitar 221 juta jiwa, tetapi kualitas konektivitas masih timpang antarwilayah.
“Yang terjadi sekarang adalah evolusi akses, tapi kualitasnya tereksklusi. Masyarakat di Jakarta dan Pulau Jawa menikmati internet yang stabil, sementara di kawasan timur sinyal masih hilang-timbul. Jika ini tidak diperbaiki, ekonomi digital akan memperkaya mereka yang tinggal di kota besar. Urban bias akan semakin kuat dan kesejahteraan tidak akan merata,” tegasnya.
Untuk memastikan ekonomi digital tidak hanya menciptakan nilai transaksi, tetapi juga pemerataan manfaat, Romi mengusulkan sejumlah langkah kebijakan publik yang lebih berorientasi pembangunan. Salah satunya adalah penerapan digital dividend atau pengalokasian sebagian pajak digital untuk memperkuat infrastruktur di wilayah tertinggal.
Ia mencontohkan bahwa jika sekitar 5 persen pajak dari transaksi digital langsung dialokasikan untuk pembangunan menara telekomunikasi di Papua atau NTT, dampaknya akan sangat signifikan. Penguatan sistem perlindungan bagi tenaga kerja digital juga perlu menjadi prioritas.
“Ada sekitar 12 juta pekerja di sektor ini, tetapi sebagian besar informal seperti driver online dan freelancer. Mereka tidak memiliki jaminan sosial. Kita perlu sistem portable benefit yang mengikuti pekerjanya, bukan perusahaannya,” ujarnya.
Romi menilai langkah pemerintah mengatur social commerce sebagai koreksi yang tepat agar platform asing tidak mematikan UMKM melalui praktik harga yang merugikan. Namun ia mengingatkan agar regulasi tersebut diterapkan secara proporsional dan tidak berlebihan. (ID)


