Oleh: Racha Julian Chairurrizal
Dalam sejarahnya, manusia adalah makhluk yang selalu bisa beradaptasi dengan dunianya. Terbukti sejak 2,4 juta tahun yang lalu sampai hari ini spesies manusia masih eksis di muka bumi. Mulai dari periode Revolusi Kognitif (70.000 tahun yang lalu), Revolusi Pertanian (11.000 tahun yang lalu), Revolusi Ilmiah (500 tahun yang lalu), Revolusi Industri (250 tahun yang lalu), hingga akhirnya memicu Revolusi Informasi pada sekitar 50 tahun yang lalu, dan hari ini mulai bermunculan tanda-tanda Revolusi Bioteknologi yang akan ditandai dengan munculnya manusia pasca-manusia yang mampu hidup selamanya (cyborg) (Harari, 2017). Maka pada dasarnya manusia selalu punya akal untuk mengatasi halangan dan segala jenis perubahan yang menimpa hidup dan dunianya.
Manusia Pra-Industri
Dalam kajiannya, Bintarto (1995), menyampaikan bahwa terdapat setidaknya sembilan fase kronologi kehidupan manusia. Pertama, Manusia Food Gathers atau manusia yang secara adaptif pada masa awal kehidupan sudah dapat memanfaatkan alat sederhana untuk survive melalui mengumpulkan hasil hutan (buah/dedaunan). Kedua, Manusia Hunting People atau manusia satu tingkat di atas Food Gathers dalam konteks area perburuan yang tidak hanya berkutat pada hutan areanya, dikarenakan manusia ini mulai mengenal hewan sebagai buruannya.
Ketiga, Manusia Fisherman atau manusia yang sudah berani meninggalkan tempat tinggalnya untuk berkelana menangkap buruan di sungai, laut atau danau. Secara teknis, Fisherman juga mulai mengetahui teknologi tentang sampan dan cara menangkap buruan di medan yang berbeda (air). Keempat, Manusia Shifting Cultivators atau manusia yang mulai berpikir tentang hidup menetap, tidak nomaden. Maka manusia di fase ini mulai berpikir untuk bagaimana bisa survive tanpa harus keluar area rumah, oleh karena itu pada fase ini manusia mulai mengenal sistem pertanian, meskipun masih memakai sistem lahan berpindah (lahan sekali pakai), jadi bisa dibilang masih semi-nomaden.
Kelima, Manusia Herding People atau manusia yang telah memiliki lahan pertanian, mulai mengembangkan lahannya untuk beternak tapi masih sama dengan Manusia Shifting Cultovators yakni masih hidup secara nomaden. Keenam, Manusia Extensive Agriculture atau manusia yang sudah memahami bagaimana caranya hidup serta mengolah lahan pertanian dan peternakan secara tetap, tidak nomaden. Di fase ini manusia mulai mengenal tentang kepemilikan lahan dan bagaimana cara memanfaatkannya secara tetap.
Manusia Pasca-Industri
Kemudian masih dalam kajian Bintarto (1995), yakni yang ketujuh adalah Manusia Industrious atau manusia yang sudah dapat masuk dalam kelompok manusia modern. Pada fase ini manusia mulai sedikit demi sedikit meninggalkan sifat agrarisnya. Manusia di fase ini juga cenderung praktis dan pragmatis. Kedelapan, Manusia Commercial atau manusia yang sudah mulai bisa memanfaatkan industrialisasi dunia, bagaimana revolusi industri adalah awal di mana manusia bisa mengenal perdagangan internasional secara lebih mudah ditopang dengan teknologi dan informasinya.
Kemudian yang terakhir adalah Manusia Politician atau manusia yang mereka sudah memahami tentang bagaimana pentingnya aturan yang dilembagakan agar tidak terjadi kegilaan industrialisasi serta perdagangan bebas di dunia yang pada akhirnya dapat merugikan manusia serta lingkungannya itu sendiri. Manusia di fase ini cenderung sudah bisa mengendalikan efek revolusi industri dengan berbagai teknologinya.
Manusia dan Optimisme
Jika diperhatikan dari semua fasenya, ada satu hal penting yang disampaikan oleh Harari (2018) bahwa ternyata salah satu alasan yang juga bisa menjadi rekomendasi untuk dunia ke depan (yang sebenarnya sudah dimiliki manusia) adalah bagaimana manusia selalu bisa mengatasi perubahan global hanya dengan satu kekuatan, yakni fleksibilitas dan ketahanan mental.
Ia menyebut bahwa dunia esok bukan tentang bagaimana kita fokus untuk menguasai coding atau AI, tapi menurutnya manusia ini sudah harus sadar akan potensi kunci yang ada pada dirinya secara evolusioner berjuta tahun lamanya menghadapi zaman es, zaman batu, kiamat purbakala, rentetan bencana alam, perang dunia, pandemi covid-19 yakni kemampuannya dalam beradaptasi secara flekibel dan memiliki mental yang baik untuk terus “mengakali” perubahan dunia.
Jadi menguasai coding, AI, cyborg atau pun rekayasa lingkungan adalah merupakan hasil metodologis dari fleksibilitas berpikir serta ketahanan mental manusia untuk tidak menyerah dengan perubahan. Maka dengan perjalanan manusia yang secara identik DNA manusia secara evolusioner merupakan makhluk yang adaptif, maka saya optimis bahwa perubahan sosial secara global ini akan dapat dihadapi oleh umat manusia ke depan hingga kita berada di fase Politician People versi Bimantoro atau Homo Deus versi Harari.
Racha Julian Chairurrizal, Mahasiswa Magister PSdK Fisipol UGM 2023