Fenomena Sekolah Islam Perkotaan
Oleh: Dartim Ibnu Rushd, Dosen Prodi Pendidikan Agama Islam-UMS
Pendidikan Islam (Sekolah dan Madrasah) bertujuan untuk membentuk peserta didik yang memiliki karakter baik, berbudi mulia dan tawadhu atau rendah hati. Bisa dilihat di dalam sejarah, pada masa Nabi dan Sahabat, pendidikan Islam benar-benar ditunjukan kepada orang yang berada di Suffah yang dikenal sebagai ahlu shuffah. Proses pendidikan di sana berlangsung dengan mudah; murah dan sederhana. Meskipun demikian, tetapi memiliki efektifitas yang tinggi.
Lulusan dari pendidikan Nabi ini sangat efektif dan begitu mengena bagi para sahabat-sahabat dan generasi. Selain proses pendidikan yang mudah dan sederhana, “siswa” yang belajar dalam sistem pendidikan ini adalah para sahabat yang tinggal di shuffah dan kebanyakan dari para sahabat yang lemah. Lemah secara sosial, ekonomi maupun politik. Di mana mereka terbiasa hidup sederhana, prihatin dan belajar sungguh-sungguh meskipun di tengah-tengah segala keterbatasan. Terutama keterbatasan sarana dan prasarana serta keterbatasan kekuasaan.
Berbeda dengan Sekolah Islam kontemporer yang terkesan mahal dengan beragam fasilitasnya. Apalagi secara bentuk kebijakan sekolah tersebut menerapkan konsep Full Day School (FDS) dan Boarding School (BS), sehingga dapat terlihat secara nyata lembaga pendidikan ini tumbuh menjamur di daerah perkotaan. Apalagi di kota-kota besar. Siswa yang sekolah di sana tentu saja dari golongan menengah ke atas, yang bisa memenuhi biaya yang mahal dan tinggi itu.
Tapi ada fenomena menarik, meskipun mereka bersekolah di sekolah Islam tetapi lulusan yang dihasilkan belum tentu memiliki kriteria yang Islami. Karena memang mereka terbiasa hidup dengan cara masyarakat kota, yang serba cukup, semua tersedia dan apapun yang mereka inginkan akan dikabulkan orang tua mereka. Beda jauh seperti lembaga pendidikan Islam yang semestinya melatih mereka prihatin, hidup sederhana dan bisa merasakan kesulitan saudara mereka. Hal ini sebagai indikasi bahwa paradigma yang berkembang pada masyarakat kota adalah hedonisme.
Beralih ke yang lain, salah satu faktor penyebabnya adalah karena memang tingkat mobilisasi orang tua yang padat atau kesibukan, yang berdampak tidak sempatnya mereka untuk bersama (mengurus) dengan anak-anak mereka sepanjang waktu dalam setiap hari. Alasan lain tentu saja adalah harapan pragmatis masyarakat kota yang jauh dari nilai-nilai adab. Maka, sistem FDS dan BS menjadi alternatif solusi terhadap masalah kesibukan orang tua ini. Apalagi sekolah berlabel Islami ini semakin menambah tingkat kepercayaan dari orang tua.
Geososial Masyarakat Kota
Tapi jika kita lihat secara lebih analitis, secara geososial masyarakat kota memang terkesan lebih hedonis atau lebih mengutamakan kepuasan dan keinginan yang tinggi. Karena memang tingkat kebutuhan di kota lebih tinggi daripada kebutuhan di desa. Apalagi untuk mendapatkan segala keinginan, terkadang tidak lagi memperhatikan nilai dan akhlak yang baik untuk mendapatkannya.
Sehingga lulusan yang dihasilkan dari sistem sekolah inipun dirasa kurang memiliki efektifitas tinggi. Dapat dilihat dari lulusan atau alumni, meskipun mereka sudah berada di lingkungan pendidikan Islam tetapi kualitas lulusannya tetap saja sama dengan yang tidak berada di lingkungan pendidikan Islam. Belum bisa menampilkan akhlak baik dan kecerdasan yang benar serta bertindak menghargai adab.
Apalagi ada sebuah kritik jika melihat dari sisi psikologi perkembangan anak. Bahwa secara psikologis, anak-anak memiliki hak untuk bermain; berinteraksi dengan orang tua, teman-teman, dan lingkungan secara alami. Adanya dua sistem itu membuat anak-anak kehilangan pola interaksi alaminya tersebut. Karena semuanya berlangsung by design dan sangat kaku.
Faktanya adalah yang terjadi pada lembaga pendidikan Islam kontemporer, anak-anak sangat terkekang dengan jadwal dan aktivitas yang sangat padat. Maka tidak jarang kita menjumpai anak-anak yang tertekan dengan ragam tuntutan dan akhirnya menjadikan mereka stress dan depresi. Alih-alih ingin mendapatkan prestasi justru stress dan depresi yang terjadi. Mereka kehilangan hidupnya yang alami dan mereka kehilangan masa-masa eksplorasinya. Jati diri mereka tidak ditemukan dan menjadi anak yang tertutup serta kehilangan semangat.
Terkait dengan fenomena di atas penulis sendiri banyak menjumpai anak-anak yang mengeluhkan banyak masalah terutama yang terkait dengan tekanan dari orang tua mereka dan tidak dapatnya mereka memenuhi beragam harapan orang tua, termasuk tuntutan prestasi anak-anak ketika mereka sudah masuk bangku perkuliahan. Sebagai sebuah contoh yang penulis beberapa kali temukan di kampus. Banyak anak-anak (mahasiswa) yang sama sekali tidak fokus saat mengikuti perkuliahan, jarang masuk, jarang mengerjakan tugas dan ketika masuk kuliahpun seakan-akan jiwa mereka tidak sedang mengikuti perkuliahan.
Lebih mencengangkan lagi, jika melihat latar belakang mereka, ternyata kebanyakan dari mereka adalah alumni sekolah Islam yang bisa dikatakan sekolah elite di kotanya. Meskipun ada juga yang disebabkan karena pengaruh hubungan yang kurang harmonis dari rumah tangga orang tua mereka. Tetapi faktor ini tidak terlalu signifikan dan bukan faktor dominan dalam kajian artikel ini. Karena sekali lagi latar belakang sekolah Islam yang elit ini terkadang tidak cukup untuk menghasilkan lulusan yang baik dan cerdas serta menjunjung nilai-nilai keadaban.
Sebuah Argumentasi
Pembacaan terhadap fenomena di atas mungkin terlalu dangkal dan emosional. Tetapi fakta-fakta ini setidaknya memberikan teguran sekaligus masukan buat kita untuk lebih sungguh-sungguh dalam memberikan perhatian kepada anak-anak. Termasuk bagi lembaga pendidikan, agar mampu menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat tetapi tetap memegang nilai-nilai luhur normatif agama dan budaya yang memang melekat dengan masyarakat Indonesia.
Lembaga pendidikan Islam terkhususunya, baik itu yang berbentuk sekolah maupun madrasah. Dari tingkat dasar hingga tingkat menengah. Atau bahkan lembaga pendidikan tinggi Islam sekaligus. Semua harus memberikan ruang pengawasan yang sewajarnya bagi anak untuk berkembang dengan alami. Selain itu jika merujuk pada salah satu dasar normatif, di dalam Al-Quran, Surat Lukman ayat 12-19. Ayat tersebut berisi materi prinsip dalam pendidikan Islam dengan pendekatan sejarah dan falsafah.
Filosofi materi-materi yang diajarkan Lukman kepada anak-anaknya seperti: bersyukur; tidak berlaku syirik; berbuat baik kepada orang tua; rajin beribadah; darmawan atau bersedekah; lemah lembut tidak berlaku kasar termasuk merendahkan suara dan terakhir tidak boleh berlaku sombong. Belajar dari petuah-petuah ini dapat menjadi sebuah rekomendasi untuk tetap berjalan beriringan antara nilai-nilai yang Islami dengan semangat perubahan sistem yang selalu terjadi.
Apalagi masalah utamanya adalah hedonisme pendidikan, maka makna filosofi dari kisah Lukman ini setidaknya bisa menjadi alternatif solusi untuk masalah hedonisme pendidikan yang sering terjadi pada lembaga pendidikan perkotaan. Tidak hanya pendidikan umum tapi juga secara khusus bagi pendidikan Islam di perkotaan. Di mana fakta-faktanya terkadang jauh lebih jelas terlihat dan lebih mudah diamati.