Refleksi Pilpres (4) Jabatan Adalah Amanah
Oleh: Mohammad Fakhrudin, Warga Muhammadiyah Tinggal di Magelang Kota
JABATAN
Jabatan itu amanah
manakala diperoleh melalui jalan Allah
diawali dengan niat ibadah
dilaksanakan senantiasa dengan bismillah
Sungguh jadi ironi
manakala jabatan dicari
apalagi dengan cara keji: membohongi hati nurani
menjual harga diri, memfitnah teman sendiri
Sungguh jadi lelucon murahan
manakala jabatan diperebutkan apalagi dengan kekerasan
mengaku beriman, tetapi berkawan dengan preman
menghalalkan segala jalan demi tercapainya tujuan
Kebenaran dan kemunkaran pun dicampuradukkan
Jabatan itu ujian
menuju kemuliaan atau kehinaan
Mulia jika Qur’an Hadis dijadikan pedoman
Inilah insan mulia yang lulus ujian
Hina jika keduanya ditinggalkan
Inilah manusia hina yang gagal ujian
Jabatan itu pilihan:
memberi sebanyak-sebanyaknya
atau menerima lebih dari haknya
menegakkan kebenaran, tetapi dibenci
atau mengkhianati nurani, tetapi dipuji
***
Harga Kebenaran
Pada bagian akhir Refleksi Pilpres (RP) 3 dikemukakan bahwa harga kebenaran memang sangat mahal. Bagi muslim mukmin yamg berakidah tegak lurus, ada keyakinan yang sangat kuat bahwa apa pun risikonya kemunkaran harus dilawan dan kebenaran harus ditegakkan.
Ketika ada kemunkaran, mereka langsung terpanggil untuk melakukan atau mengatakan sesuatu sebagai wujud perlawanan. Tidak ada sedikit pun rasa takut pada mereka meskipun harus berhadapan dengan ancaman misalnya dicopot dari jabatannya atau malah dipecat. Boleh jadi, untuk melawan kemunkaran itu, mereka harus mengeluarkan biaya sendiri! Mereka mau bergotong royong!
Mereka bertindak dan bersikap demikian karena di hatinya ada keyakinan sangat kuat bahwa apa yang dilakukan dan katakannya itu merupakan salah satu wujud “berdagang” dengan Allah Subhanau wa Ta’ala. Bagi mereka, perdagangan yang demikian tidak pernah merugi.
Tidak mustahil juga ada di antara muslim mukmin yang secara individual dengan berani bertindak dan berbicara dalam ikhtiar melawan kemunkaran itu sehingga segala sesuatu ditanggungnya sendiri! Tindakan dan sikapnya yang demikian sudah pasti menimbulkan tanggapan yang bervariasi. Ada yang menilainya sebagai pemberani, tetapi ada juga yang menganggapnya orang nekad atau frustrasi. Terhadap tanggapan tersebut, dia tidak peduli. Baginya tindakan dan sikapnya tersebut sebagai wujud amar ma'ruf nahi munkar.
Di antara mereka ada profesor! Mereka sudah memprediksi sebelumnya bahwa tindakan dan sikapnya itu pasti memperoleh tanggapan, baik yang mendukung maupun yang menentang atau menertawakannya. Guru besar berani menegakkan kebenaran dan melawan kemunkaran dengan segala risiko memang sudah seharusnya!
Di antara mereka ada ayang bergabung dalam gerakan “Kampus Mamanggil.” Ada pula gerakan yang “dimotori” oleh para purnawirawan, baik polisi maupun tentara.
Prediksinya terbukti! Para tokoh diteror. Siapa yang meneror? Tentu sangat mudah ditebak: orang-orang antikritik!
Pada masa Orde Lama (orla) dan Orde Baru (orba) hal itu pun terjadi. Di antara korban teror pada masa orla adalah Hamka. Beliau dipenjarakan tanpa proses pengadilan. Pada masa orba, terjadi pula teror terhadap para tokoh yang berani mengkritik pemerintah yang tergabung dalam Petisii 50. Di antara mereka, misalnya A.H. Nasution, Ali Sadikin, M. Jasin, dikucilkan, bahkan, M. Natsir dicekal pergi keluar negeri.
Di antara guru besar dan para purnawirawan polisi dan tentara tentu ada yang lebih memilih jalur aman, bahkan, mungkin ada yang menjadi “pembela yang membayar”, bukan “pembela yang benar.” Mereka tidak mencari “kebenaran”, tetapi mencari “pembenaran.” Mereka bersikap dan berbicara Asal Bapak Senang (ABS), persis pada masa menjelang orla dan orba tumbang!
Di samping ada gerakan yang "dimotori" orang tua, banyak pula gerakan mahasiswa. Di antara mereka ada yang lantang menyuarakan hati nurani kebenaran. Mereka tidak luput dari teror juga. Di pihak lain, ada pula mahasiswa yang lebih memilih menandingi gerakan “Kampus Memanggil” demi bayaran atau demi jabatan orang tuanya aman.
Memang sangat mahal harga menegakkan kebenaran dan lebih-lebih lagi melawan kemunkaran. Betapa mahalnya jika orang-orang yang berjuang menegakkan kebenaran dan melawan kemunkaran saat ini justru diperlakukan seperti pada masa orla dan orba. Jika hal itu terjadi, berarti bangsa Indonesia gagal melakukan reformasi.
Bagai Pentas Drama
Ada pihak yang telah menerima ucapan selamat sebagai pemenang pilpres 2024 jauh sebelum KPU mengumumkan hasil secara resmi. Sebagai wujud “syukurnya” mereka mengadakan acara “merayakan” kemenangan.
Setelah pengumuman KPU, ada pihak, yang pada awalnya mengusung pasangan calon lain, menyampaikan ucapan selamat juga. Dalihnya adalah masa pertarungan sudah berakhir, hasil pilpres sudah diumumkan secara resmi oleh KPU, rakyat harus menyaksikan contoh nyata bahwa para pemimpinnya berjiwa besar dengan bukti menerima hasil pilpres 2024, dan siap bekerja sama untuk membangun.
Masalahnya adalah logiskah sikap yang demikian jika sebelum ada pengumuman dari KPU, bahkan sejak MK dan KPU meloloskan Gibran sebagai cawapres, mereka penuh semangat dan keyakinan menyatakan bahwa pilpres 2024 ini diwarnai ketidakadilan dan ketidakjujuran? Mereka mengatakan juga bahwa mereka mempunyai bukti ketidakadilan dan ketidakjujuran yang sangat meyakinkan! Apalagi, Tim Hukumnya sedang menempuh langkah perjuangan selanjutnya, yakni mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi!
Apakah tidak sebaiknya ikut berproses dan tidak sekadar mengatakan, “Saya menghormati Tim Hukum berposes mengajukan gugatan ke MK!” Apakah tidak lebih baik jika menunggu sampai terbitnya putusan MK? Jadi, saat ini sepertinya rakyat Indonesia benar-benar sedang menonton pentas drama para elite politik.
Tidak adakah sedikit pun di dalam pikiran elite politik bahwa di antara ratusan juta rakyat Indonesia ada yang "muak" seperti yang “disuarakan” oleh Taufiq Ismail melalui puisinya menyaksikan sepak terjang elite politiknya? Mengapa? Ketika berdiskusi di kampus-kampus sampai berkampanye, baik secara langsung maupun tidak, mereka menyatakan bahwa pemerintahan yang akan dibangun jika menang adalah pemerintahan yang menyejahterkan rakyat, bukan menyesengsarakan; pemerintahan yang adil, bukan pemerintahan yang zalim; pemerintahan yang jujur, bukan pemerintahan yang suka berbohong, dan pemerintahan yang tidak bangga dengan utang yang makin menggunung.
Apa arti pernyataan-pernyataan tersebut? Bukankah pernyataan-pernyataan itu merupakan kritik bahwa pemerintahan sekarang ini belum seperti yang diharapkannya? Kalau kemudian mereka siap bekerja sama dengan pemerintahan hasil pilpres 2024, yang dalam diskusi dan kampanyenya secara tegas menyatakan untuk melanjutkan pemerintahan sekarang, yang jelas-jelas berbeda dengan pemerintahan yang akan dibangunnya dan diyakininya lebih baik, apakah tidak berarti bahwa sesungguhnya mereka sedang menampilkan pentas drama?
Allahu a’lam