YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - “Ujian yang menimpa diri kita yang kurang enak dan kemudian kita menyikapinya dengan sabar maka bisa menjadi sebab Allah mengampuni sebagian dari dosa-dosa,” kata Ustadz Talqis Nurdianto saat Kajian Akhlaq Masjid Walidah Dahlan, Universitas Aisyiyah Yogyakarta (UNISA), Rabu (06/11/2024). Kajian ini mengkaji kitab tentang akhlak secara urut dan berkelanjutan setiap minggunya.
Ujian dari Allah merupakan bentuk kasih sayang-Nya, bukan semata-mata cobaan tanpa tujuan. Ujian diberikan sebagai sarana untuk meningkatkan derajat keimanan. Kalau Allah menguji saya dengan ujian ini dan tidak terjadi pada orang lain, lanjut Ustadz, “Maka Allah berpendapat saya bisa menghadapinya dengan bantuan Allah.” Itulah refleksi yang Ia berikan pada puluhan jamaah.
Menurutnya ujian tidak selalu hadir dalam bentuk yang besar dan mencolok, melainkan bisa datang dalam bentuk-bentuk kecil seperti rasa takut atau kekurangan rezeki.
Ujian-ujian yang disebutkan dalam Al-Qur’an beragam bentuknya. Ustadz mencontohkan mahasiswa yang hanya bisa makan sekali sehari sebagai salah satu bentuk ujian yang bisa dihadapi dengan kesabaran. Maka kemudian Ia menyampaikan “wabasyiris shabirin,” berikanlah berita gembira bagi orang-orang yang sabar.
Dalam ceramahnya itu, Ustadz Talqis juga mengangkat kisah Nabi Ayub sebagai teladan kesabaran ketika ditimpa ujian. Selama 18 tahun Nabi Ayub diuji dengan penyakit yang mengganggu fisiknya dan kehilangan seluruh harta dan anak-anaknya. Akan tetapi ujian itu tak membuat kesabaran Nabi Ayub tergoyahkan. Bahkan ketika tubuhnya penuh luka dan belatung karena penyakitnya, Ia tetap menjalankan perintah dari Allah.
Kemudian, setelah Nabi Ayub melewati masa-masa sulit itu Allah akhirnya mengangkat ujiannya. “Istrinya sampai tak mengenali beliau setelah sembuh, karena Nabi Ayub tampak lebih segar dan bugar,” kata Ustadz Talqis mengisahkan transformasi Nabi Ayub yang menandakan akhir dari ujian panjang tersebut.
Selain ujian Nabi Ayub, Ustadz Talqis juga menyampaikan tentang ujian dalam bentuk lain seperti ujian yang dialami oleh sahabat-sahabat Nabi dalam bentuk penyakit dan kemiskinan.
Sebagai contoh tiga orang Bani Israil diuji oleh Allah dengan wujud malaikat yang meminta bantuan kepada mereka. Ketiganya diuji sesuai kondisi masing-masing, yaitu penderita penyakit kulit seorang berambut botak, dan seorang buta. Masing-masing diberikan pertolongan untuk sembuh dari penyakit mereka dan kemudian diuji kembali oleh Allah dengan kehadiran malaikat yang menyamar sebagai pengemis. Dari tiga orang itu, hanya satu yang lulus ujian, yaitu orang buta yang tetap rendah hati dan bersedia berbagi kekayaannya.
Terakhir Ustadz Talqis berpesan pada jamaah untuk selalu bersikap sabar, terutama jika ujian datang dari pihak lain seperti orang tua yang diuji dengan sikap anak atau sebaliknya. Dirinya mengingatkan bahwa setiap ujian datang dengan kadar masing-masing dan manusia perlu menyikapi dengan ikhtiar yang maksimal.
“Kita berikhtiar dengan maksimal, tetapi sabar dan ikhlas saat menghadapi hasilnya,” ujar Ustadz. Ujian dari Allah, lanjutnya, tidak selalu hukuman atas dosa seperti halnya ujian para Nabi yang justru dihadapkan dengan tantangan besar sebagai bentuk kasih sayang dan pengangkatan derajat mereka. (Hafidz)