Hadits: Etos Kerja Profetik Pribadi Muslim
Ziyadul Muttaqin, Alumni PUTM Yogyakarta, Pemuda Muhammadiyah Limpung-Batang, Jawa Tengah
Manusia merupakan makhluk sosial sehingga tidak bisa hidup sendiri. Untuk memenuhi kebutuhannya manusia memerlukan bantuan dan jasa orang lain sehingga muncul berbagai pekerjaan dalam kehidupan masyarakat. Kebutuhan manusia yang semakin banyak dan tak terbatas berbanding penghasilan dari pekerjaan yang “minim” membuat sebagian orang memilih jalan pintas.
Di bagian lain, ada sebagian oknum manusia tidak bertanggungjawab dengan menyalahgunakan pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan lebih diluar haknya. Di Indonesia, berita tentang kasus penyalahgunaan amanah dan wewenang dalam pekerjaan seolah sudah menjadi berita yang sangat biasa.
Di antara pelaku itu ada yang memiliki jabatan terhormat, berpendidikan tinggi, dan gaji yang cukup besar. Namun, kedua hal itu ternyata tidak membuat kepuasan batin untuk selalu bersyukur atas karunia Allah SWT. Mereka masih menyelewengkan amanat itu. Pertanyaan yang muncul adalah apakah jabatan yang dipegang kurang tinggi ataukah gaji yang diberikan kurang banyak sehingga sifat amanah dan tanggungjawab yang seharusnya melekat menjadi terabaikan? Atau karena ketiadaan iman di hati mereka?
Menyalahgunakan pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan lebih tanpa melihat halal haramnya jelas bertentangan dengan ajaran agama Islam. Islam mengajarkan etos kerja profetik baik sebagai pribadi maupun kelompok. Nabi SAW pernah bersabda terhadap orang-orang yang mencari harta tanpa memperhatikan halal haramnya:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص.م قَالَ: يَأْتِي عَلىَ النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ أَمِنَ الْحَلَالِ أَمْ مِنَ الْحَرَامِ
Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Akan datang kepada manusia suatu zaman dimana seseorang tidak peduli apa yang dia ambil, apakah dari hasil yang halal atau yang haram.” (HR. Al-Bukhari dan An-Nasa’i dari Abu Hurairah ra, Shahih, dalam At-Targhib wa Tarhib Juz 2, bab At-Targhib fi Tholabil Halali wal Akli minh Wat Tarhib min Iktisabi al-Harami wa Aklihi wa Libasihi wa Nahw Dzalik, no. 1722).
Dari hadits ini, kita tahu bahwa Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar senantiasa memiliki etos profetik dalam bekerja.
Mochtar Buchori dalam Penelitian Pendidikan dan Pendidikan Islam di Indonesia (h. 6: 1994) menjelaskan bahwa kata etos berasal dari kata Yunani ethos, artinya ciri, sifat atau kebiasaan, adat istiadat atau juga kecenderungan moral, pandangan hidup yang dimiliki seseorang, suatu kelompok orang atau bangsa. Adapun kerja dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya kegiatan melakukan sesuatu, sedangkan profetik artinya bersifat kenabian. Maksud etos kerja profetik adalah sikap dan pandangan seseorang terhadap kerja, kebiasaan kerja, ciri-ciri atau sifat-sifat mengenai cara kerja yang dimiliki seseorang, suatu kelompok manusia atau suatu bangsa berdasarkan teladan atau petunjuk Nabi SAW.
Dalam hadits Nabi SAW riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda tentang nilai-nilai profetik dalam kerja:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَبْنُ نُمَيْرٍ قَالَا: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ عُثْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ عَنِ الأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ، احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجَزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ.
Abu Bakr ibn Abi Syaibah dan Ibn Numair telah menceritakan kepada kami, keduanya berkata: Abdullah ibn Idris telah menceritakan kepada kami dari Rabiah ibn Utsman dari Muhammad ibn Yahya ibn Habban dari Al-A’raj dari Abu Hurairah RA, beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda, Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah SWT daripada orang mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah. Apabila engkau tertimpa musibah, janganlah engkau berkata, “Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini dan begitu”, tetapi katakanlah, “Ini telah ditakdirkan Allah, dan Allah berbuat apa saja yang Dia kehendaki”, karena ucapan seandainya akan membuka (pintu) perbuatan syaitan. [HR. Muslim no. 2664]
Hadits ini disebutkan dalam Shahih Muslim no. 2664 dalam bab Fil Amri bil Quwwah wa Tarqil Ajzi Wal Isti’anati Billahi wa Tafwidhi Maqodiiri Lillahi. Selain diriwayatkan oleh Muslim, hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, juz I, bab Fil Qadr, no. 79, juz IV bab at-Tawakkalu wal Yakinu, no. 4168 dengan beberapa perbedaan redaksi; An-Nasa’i dalam Amalul Yaum wal Lailah, bab Ma Yaqulu Idza ghalabahu Amrun no. 621, 623, 625.
Dalam kehidupan, seorang muslim meyakini bahwa bekerja bukan hanya untuk mengumpulkan pundi-pundi harta tetapi juga sebagai manifestasi amal saleh yang dikerjakan. Bekerja memiliki nilai ibadah yang sangat luhur dengan berpedoman pada nilai-nilai profetik yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunah. Selayaknya nilai-nilai tersebut bisa diaktualisasikan dalam kehidupan kerja sehingga kualitas kerja akan terus meningkat.
Etos kerja profetik yang terekam dalam hadits Nabi ini menekankan pada berbagai aspek, baik dari aspek internal maupun eksternal. Setidaknya ada beberapa faidah yang bisa diambil dari hadits riwayat Muslim ini terkait dengan etos kerja profetik:
Bekerja Harus Dilandasi dengan Iman (Tauhid Kepada Allah)
Allah lebih mencintai orang mukmin yang kuat sejatinya bukan hanya karena fisiknya yang kuat. Tetapi juga kuatnya keimanan, moral-intelektual maupun kuat secara finansial. Hadits riwayat Muslim di atas bukan berarti Allah menafikan orang-orang yang memang lemah atau kurang dari segi fisik, keimanan, intelektual maupun finansial. Hanya saja Allah melebihkan cintanya terhadap hamba yang lebih kuat sebagaimana lanjutan hadits.
Iman yang benar akan menumbuhkan buah yang baik dan buah iman yang benar adalah kerja yang baik (amalan shalihan). Bekerja sebagai fitrah dalam kehidupan manusia didasarkan pada prinsip-prinsip tauhid yang dapat meninggikan derajatnya di hadapan Allah. Bahkan derajat dan harga diri seseorang berbanding lurus dengan instrument amaliyahnya di dunia (QS. Al-An’am [6]: 132; QS. Al Mulk [67]: 2). Dimensi iman bukan semata-mata berhubungan dengan perkara hati, namun juga menuntut perilaku yang imani.
Kuatnya iman dibuktikan dengan keyakinan terhadap Allah sebagai tempat bergantung, mengatur rezki dan membaginya kepada seluruh makhluk-Nya tanpa cela dan kesalahan. Iman tersebut akan menumbuhkan karakter dan kepribadian yang kuat pula. Dalam bekerja dan beraktifitas selalu memperhatikan bahwa segala aktifitas di dunia selalu dalam pengawasan Allah, tidak ada yang luput dari-Nya. Karakter dan kepribadian baik tersebut mengakar dan mendarah daging dalam kehidupan sehingga menimbulkan etos kerja yang tinggi. “Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah, Rasul dan orang–orang beriman akan melihat pekerjaanmu....” (QS. At-Taubah [09]: 105).
Ada korelasi positif antara kuatnya iman dengan etos kerja seseorang. Korelasi tersebut menunjukkan bahwa kuatnya iman seseorang berbanding lurus dengan etos kerja. Semakin kuat iman seorang hamba kepada Allah maka akan semakin meningkat etos kerjanya. Apabila etos kerja seorang hamba tidak baik bisa jadi bukan semata-mata kinerjanya yang buruk, mungkin lebih dari itu mendasar sampai ke kualitas imannya kepada Allah.
Bekerja dilandasi Ilmu Pengetahuan dan Keahlian
Bekerja dengan etos kerja profetik tidak bisa terwujud hanya dengan bekerja serampangan tanpa didasari ilmu yang memadai. Hal ini bisa difahami dari firman Allah dalam Al-Quran, “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan mengenainya” (QS. Al-Isra’ [17]: 36). Juga berdasarkan hadits Nabi SAW terkait keahlian.
...قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ
.....Rasulullah SAW bersabda: Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat (kehancurannya). (HR. Al-Bukhari no. 6496, dari riwayat Abu Hurairah).
Allah mencintai orang yang kuat (termasuk kuat secara intelektual). Untuk itu diperlukan pengetahuan yang bergandengan dengan iman serta keahlian dalam bekerja. Kesatuan antara ilmu, iman dan amal merupakan kombinasi agar bisa beretos profetik dalam bekerja. Bersambung
Sumber: Majalah SM No 5 Tahun 2020