Apa Gunanya Hadits? (Bagian ke-1)

Publish

20 November 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

1
426
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Apa Gunanya Hadits? (Bagian ke-1)

Oleh: Donny Syofyan

Mengapa kita memerlukan hadits? Banyak jawaban yang bisa diketengahkan. Salah satunya adalah Nabi Muhammad SAW dihadirkan dalam Al-Qur'an sebagai penafsir utama Kitabullah tersebut. Allah mengatakan, “(mereka Kami utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan Ad-Dzikr (Al-Qur'an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan” (QS 16: 44). 

Kita punya Al-Qur’an dan penjelasannya. Al-Qur'an berasal dari Allah dan penjelasannya datang dari Nabi Muhammad SAW, sebagian juga diilhami dari Allah. Al-Qur’an mengatakan, “dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut keinginannya” (QS 53: 3). Al-Qur’an menegaskan bahwa ketika Nabi SAW berbicara, dia tidak menyatakan sesuatu dari dirinya sendiri. Itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya dari Tuhan. Namun para ulama menganggap hal ini secara lebih umum dengan memikirkan keumuman kata-katanya, dan keumuman kata-kata tersebut tampaknya menunjukkan bahwa Nabi tidak berbicara tentang dirinya sendiri. Jadi pernyataan-pernyataan Rasulullah itu bernilai. Beliau adalah manusia yang terinspirasi oleh Tuhan secara umum, buakan hanya ketika dia sedang membaca Al-Qur’an.

Ayat lain juga mengatakan, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya” (QS 59: 7). Para ulama memahami ini sebagai hal yang umum, meskipun ayat ini berbicara tentang pembagian harta rampasan perang saat itu. Para ulama mengartikannya, "Apa pun yang diberikan Nabi, ambillah. Apapun yang dia larang, hindarilah."

Jadi itu akan mencakup semua perkataannya, instruksinya dan seterusnya. Pada prinsipnya kita tidak mempermasalahkan hal itu karena Nabi SAW adalah sosok yang dipandu wahyu. Beliau adalah pemandu kita, guru kita. Tuhan tidak membiarkan kitab-Nya muncul begitu saja sebagai tulisan di langit, seperti tulisan di awan, namun Allah mengutus seorang Rasul bersamanya karena pelbagai alasan. Salah satunya bahwa Rasul tersebut akan menunjukkan manusia apa dan bagaimana menjalani Kitabullah itu.

Nabi Muhammad SAW adalah teladan utama kita, komentator utama kita terhadap Al-Qur’an. Beliau menunjukkan kepada kita bagaimana cara shalat, bagaimana berpuasa, dan semua hal yang diperintahkan Al-Qur’an untuk kita lakukan. Dia menunjukkan kepada kita secara rinci bagaimana hal-hal ini harus dilakukan.

Hadits menceritakan bagaimana Nabi Muhammad SAW shalat atau bagaimana beliau memerintahkan umat Islam untuk shalat, berpuasa, mengeluarkan zakat dan amal wajib lainnya dalam Islam. Al-Qur'an menyebutkan beberapa waktu salat, yang agak samar-samar, namun Nabi menunjukkan, "Inilah waktu salat Subuh. Ini adalah waktu salat Zuhur. Ini adalah waktu salat Ashar. Ini waktu shalat Maghrib dan ini waktu salat Isya."

Al-Qur'an berbicara tentang rukuk dan sujud, tetapi berapa banyak rukuk dan sujud yang biasa kita lakukan dalam shalat? Nabi Muhammad SAW menunjukkan hal itu melalui teladan hidupnya. Jadi umat Islam menirunya dalam shalat seperti itu. Akhirnya kaum Muslimin ingin mengingatnya dengan tepat. Orang-orang tahu apa yang mereka lakukan sebagai sebuah komunitas adalah sebuah tradisi yang hidup.

Pertanyaannya, seberapa banyak tradisi yang masih hidup hari ini yang berasal dari apa yang Nabi SAW katakan dan lakukan? Umat Islam mencoba mendokumentasikannya dalam bentuk hadits. Kita mendapatkannya, baik yang tepat maupun yang salah. Hal yang benar yang kita peroleh karena ada orang yang ingat bahwa Nabi SAW melakukannya dengan ini dan itu. Adapun yang salah boleh jadi karena terjadinya modifikasi di sana sini seiring pergeseran waktu. Terkadang dinamikanya berbeda dalam pengertian bahwa apa pun yang dilakukan masyarakat dianggap benar meskipun ini bertentangan dengan apa yang dikatakan atau dilakukan Nabi SAW. Orang-orang terus melakukannya karena menganggap bahwa apa yang diingat orang bisa saja salah.

Itulah mengapa, misalnya, dalam Sunan at-Tirmidzi dikatakan, "Inilah yang diriwayatkan, tetapi amalannya begini, dan inilah amalannya yang benar." Jadi ada upaya mempertahankan praktik yang benar. Sedangkan Imam Malik dalam Muwaththa’ mengatakan, “Ini adalah amalan masyarakat Madinah karena di sinilah Nabi tinggal dan menghabiskan tahun-tahun terakhir hidupnya dan masyarakat disekitarnya berkembang. Pastilah masyarakat ini mengetahui dan mengamalkan apa yang Nabi Muhammad SAW tinggalkan.” Jadi, menurut Imam Malik, tradisi masyarakat Madinah adalah amalan yang benar, tidak peduli apapun yang diriwayatkan orang-orang dalam hadits.

Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Khazanah

Al Ghazali dan Inkoherensi (Bagian ke-2) Oleh: Donny Syofyan Pada hari pertempuran, para bangsawan....

Suara Muhammadiyah

7 November 2023

Khazanah

Al Muwaththa’ dan Identitas Sunni Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas....

Suara Muhammadiyah

16 January 2024

Khazanah

Teknologi Yang Mengubah Cara Orang Naik Haji Oleh: Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam Cepatnya pe....

Suara Muhammadiyah

18 April 2024

Khazanah

Peta dan Kartografi di Dunia Islam Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Dosen FAI UMSU dan Kepala....

Suara Muhammadiyah

28 March 2024

Khazanah

Al-Ghazali tentang Kalam dan Tasawuf Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas An....

Suara Muhammadiyah

28 February 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah