Oleh : Dartim Ibnu Rushd
Dosen Prodi Pendidikan Agama Islam-Universitas Muhammadiyah Surakarta
Ketika mendengar ada orang kaya, hal pertama yang tergambar dalam pikiran kita adalah orang yang mempunyai banyak uang, memiliki banyak harta, banyak warisan peninggalan, dan tentu saja hidup dikelilingi dengan banyak fasilitas mewah. Mereka mempunyai mobil mewah, rumah megah dan punya penghasilan atau gaji yang selangit. Itulah imajinasi yang ada di dalam pikiran kita jika mempersepsi “siapa orang kaya”.
Akibatnya jika kita memiliki cita-cita atau harapan ingin menjadi orang kayapun yang terpikir pertama kali di dalam benak kita adalah harus punya banyak uang agar memiliki beragam fasilitas mewah dalam kehidupan. Pandangan ini tampak terlalu materialistis sebagai sebuah ukuran kekayaan pada masyarakat kita hari ini. Tapi, itulah yang terjadi pada masyarakat hari ini. Berawal dari fenomena di atas, maka terbesit sebuah pertanyaan, sebenarnya apa hakikat kekayaan yang sejati itu? Dan mungkinkah kekayaan itu ada beragam jenisnya?
Pembahasan ini dimulai dengan berpijak pada hadits Nabi yang artinya “kekayaan sesungguhnya bukanlah terletak pada hartanya, namun kekayaan yang sesungguhnya adalah kaya akan hati”. Setelah kita telaah secara cermat, ada dua kekayaan yang disebutkan dalam redaksi hadits di atas. Kedua kekayaan itu adalah kekayaan harta dan kekayaan hati. Karena memang secara hakikat (esensial) nampaknya semua ragam atau jenis kekayaan yang ada itu berpangkal dari kedua jenis kekayaan tersebut.
Jika dilihat jenis kekayaan tersebut, kaya harta harusnya adalah sekedarnya saja dan kaya hati harusnya adalah sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu, yang harus diprioritaskan wajib ada, adalah kekayaan hati ini. Kaya hati dengan berbagai sifat mulia. Kaya hati dengan akhlakul karimah. Seperti hati yang sabar, senang berbuat jujur, amanah, pemaaf, pemurah, rendah hati, qanaah, kauf dan raja’ serta hati yang senang memberi kebahagiaan untuk saudaranya. Maka orang Jawa mengiaskan lapangnya hati ini dengan istilah “jembar segarane” dan “tepo sliro”.
Jadi kekayaan yang sejati adalah terletak pada hati yang dipenuhi dengan sifat-sifat terpuji bukan hanya pada menguasai banyak harta. Harta jangan masuk ke dalam hati. Harta digunakan untuk kebaikan jika hatinya juga baik. Tapi sebaliknya, jika seseorang mempunyai banyak harta namun “hatinya miskin” maka orang itu akan menjadi orang yang diperbudak harta. Hartanya digunakan untuk memenuhi hasrat hawa nafsu dan mungkin saja sebagai sarana berbuat jahat dan maksiat.
Hatinya selalu diliputi dengan rasa gelisah dan ketakutan kehilangan harta. Oleh karena itu, jika ukuran kaya hanya terletak sekedar pada harta tanpa ada ukuran kaya hati sesungguhnya dia dalam keadaan celaka. Di mana kecelakaan itu, dapat merugikan atau membahayakan dirinya sendiri (pelakunya). Apalagi bahayanya itu dapat mengantarkan pada azab Allah dan jauh dari rahmat-Nya.
Harta biarlah secukupnya. Harta cukup di tangan saja jangan sampai masuk ke dalam hati. Kemudian, jika harta hanya di tangan, maka tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Karena hati-lah yang sejatinya harus diperkaya dan selalu disucikan dengan akhlak yang mulia.
Kemudian jika kita eksplorasi lebih luas, terkait dengan soal kekayaan ini, sebenarnya kekayaan itu ada beberapa macamnya. Setidaknya ada 5 macam kekayaan, yaitu: kaya hati, kaya ilmu, kaya karya, kaya teman dan baru terakhir kaya harta. Ada 5 macam ternyata. Kaya hati menempati peringkat pertama dan kaya harta menempati peringkat terakhir. Karena memang kuncinya ada pada hati. Sekali lagi kuncinya bukan pada harta.
Jika seseorang hatinya baik, maka ilmunya akan bertambah (kaya ilmu). Karena ia akan menjadi rajin mencari ilmu. Jika ilmunya bertambah, maka ia menjadi semakin bermanfaat buat orang lain dengan beragam karya-karyanya (kaya karya). Jika orang itu semakin banyak manfaatnya bagi orang lain, maka akan banyak orang yang suka padanya, sehingga temannya juga bertambah (kaya teman). Baru yang terakhir sebagai akibat luasnya pergaulan, maka Allah akan mempermudah jalannya rezki baginya. Salah satu bentuknya adalah harta yang dikaruniakan kepadanya (kaya harta).
Jadi hakikatnya tidak boleh langsung pada harta yang harus pertama dicari. Karena jika demikian maka kita tidak akan mendapatkan kaya hati, ilmu, karya dan teman. Semuanya harus berurutan sesuai dengan apa yang dianjurkan agama. Subhanallah. Jadi itulah sebenarnya yang harus kita cari, terkait dengan hakikat kekayaan jika menilik pada hadits Nabi di atas.
Simpulan, kekayaan bukan pada materi maupun hanya sekedar harta. Walaupun baiknya kita juga memiliki kekayaan harta secukupnya. Tapi bukan itu sejatinya kekayaan yang hakiki. Kekayaan yang hakiki adalah kekayaan hati dengan sifat-sifat terpuji. Sekali lagi kuncinya ada di hati, bukan pada materi. Sebagai penutup, sebagai sebuah nasihat, seorang muslim itu memang harus menjadi kaya. Namun, kekayaan yang harus dicari pertama kali bukanlah kaya harta melainkan kaya hati. Yang sedikit ini mudah-mudahan bermanfaat.