Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan, 'Aisyiyah Dorong Posbakum Kawal Implementasi UU TPKS

Publish

1 December 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
236
Istimewa

Istimewa

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - "Partisipasi masyarakat termasuk dari 'Aisyiyah sangat dibutuhkan semoga semakin banyak Posbakum 'Aisyiyah yang terakreditasi karena data kami antara korban yang masih sedemikian banyak dengan yang mendampingi dan melayani itu jauh sekali. Jadi kami masih membutuhkan partisipasi masyarakat yang dapat memberikan pendampingan, penanganan, dan pemulihan." Hal tersebut disampaikan oleh Eni Widiyanti, Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dari KDRT dan Kelompok Rentan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA)dalam Webinar dan Berbagi Praktik Baik "Peran 'Aisyiyah dalam Implementasi UU TPKS" pada Senin (1/12/23).

Dalam kesempatan tersebut Eni menyebutkan bahwa kekerasan perempuan terjadi di mana-mana. Kekerasan terhadap perempuan ini salah satunydari kekerasan terhadap perempuan. "Perkawinan Anak ini menjadi isu yang luar biasa karena menjadi akar permasalahan dari tindak kekerasan terhadap perempuan."

Dalam acara yang digelar sebagai bagian dari kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) ini Sekretaris Umum Pimpinan Pusat 'Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah menegaskan komitmen 'Aisyiyah dalam upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Salah satunya dengan mendirikan Posbakum 'Aisyiyah atau Pos Bantuan Hukum 'Aisyiyah yang hingga kini tersebar di 40 lokasi dengan 7 Posbakum yang terakreditasi di Kementerian Hukum dan HAM. "Aisyiyah berkomitmen untuk terus meningkatkan kesadaran dan upaya pencegahan dan termasuk pendampingan korban kekerasan. Saat ini melalui Posbakum 'Aisyiyah banyak mendampingi dan melakukan upaya pencegahan kasus kekerasan seksual."

Tri yang juga merupakan Koordinator Program Inklusi 'Aisyiyah mendorong agar segenap warga 'Aisyiyah dapat mengawal implementasi Undang-Undang yang sudah disahkan pemerintah seperti UU TPKS maupun peraturan lain yang merupakan upaya dalam menurunkan kekerasan yang terjadi termasuk kekerasan terhadap perempuan. "Kita juga ingin membangun kesadaran bersama bahwa perlu melaporkan tindak kekerasan yang terjadi di sekitar kita, karena masih sedikit yang melaporkan dan semua tindak kekerasan harus diproses sampai tuntas."

Sementara itu, Ketua Majelis Hukum dan HAM PP 'Aisyiyah, Henni Wijayanti menyebut bahwa data kekerasan seksual, perempuan, anak hampir setiap hari meningkat dan menjadi konsumsi sehari-hari. Sementara penderitaan oleh korban bukan hanya fisik tetapi juga psikis yang harus ada pendampingan. Oleh karena itu Henni mendukung penerapan UU TPKS ini agar kekerasan sksesual ditangani dengan baik dan berperspektif gender. Oleh karena itu Henni mendorong agar semakin banyak Posbakum 'Aisyiyah yang terakreditasi dan melakukan upaya pelayanan hukum yang setara bagi semua. "Melalui acara in menjadi motivasi pengurus MHH yang belum memmilkiki Posbakum untuk termotivasi melakukan upaya bersinergi dengan penegak hukum untuk mendukung penanganan terhadap korban kekerasan seksual."

Acara dilanjutkan dengan materi "Peran Posbakum dalam Implementasi UU TPKS" oleh Direktur LBH Apik, Khotimun Sutanti, serta sesi berbagi praktik baik oleh Siti Kasiyati dari Posbakum PWA Jawa Tengah "Pendampingan bagi Perempuan Difabel Korban Kekerasan oleh Lembaga Bantuan Hukum 'Aisyiyah Jawa Tengah", serta Kholidah Nur dari Posbakum PWA Sumatera Barat "Pendampingan Kasus Kekerasan oleh Posbakum 'Aisyiyah Sumatera Barat."

Terkait situasi dan problem bagi perempuan difabel korban kekerasan, Siti Kasiyati menyampaikan bahwa masih banyak tantangan yang dihadapi. "Masih banyak masyarakat yang tidak peduli dan tidak peka terhadap pemenuhan keberadaan difabel yang menjadi korban suau tindak kekerasan sehingga masyarakat enggan melaporkan suatu tindak pidana." 

Menurut Kasiyati paling tidak ada dua alasan mengapa masyarakat tidak peka terhadap Penyandang Disabilitas Berhadapan Dengan Hukum yang menjadi korban suatu tindak kejahatan. Pertama, mereka sama sekali tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang segala hal yang berkenaan dengan masalah difabel, lebih-lebih yang menjadi korban suatu tindak pidana. Kedua, cara pandang aparat penegak hukum yang masih didominasi oleh cara pandang yang positivistik. "Dalam arti karena regulasi hukum terkait proses peradilan pidana tidak mengatur secara spesifik tentang keberadaan difabel yang menjadi korban tindak pidana, mereka enggan atau bahkan tidak mau melakukan kreasi yang melampuai regulasi tersebut." (Suri)


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Berita

JAKARTA, Suara Muhammadiyah - SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta meraih predikat bergengsi sebagai Sekola....

Suara Muhammadiyah

17 October 2023

Berita

MEDAN, Suara Muhammadiyah  -  Perwakilan Acquisition Southeast Asia Regional Office dari L....

Suara Muhammadiyah

17 January 2024

Berita

MEDAN, Suara Muhammadiyah – Usai pelaksanaan Musywil ke-13 Muhammadiyah dan terbentuknya ....

Suara Muhammadiyah

14 September 2023

Berita

PURWOKERTO, Suara Muhammadiyah - Sebagai respons proaktif terhadap bencana hidrometeorologi baru-bar....

Suara Muhammadiyah

2 April 2024

Berita

SEYEGAN, Suara Muhammadiyah - Mengawali programnya kepengurusan PRM Margokaton Seyegan Sleman melaks....

Suara Muhammadiyah

15 January 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah