Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan, 'Aisyiyah Dorong Posbakum Kawal Implementasi UU TPKS

Publish

1 December 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
540
Istimewa

Istimewa

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - "Partisipasi masyarakat termasuk dari 'Aisyiyah sangat dibutuhkan semoga semakin banyak Posbakum 'Aisyiyah yang terakreditasi karena data kami antara korban yang masih sedemikian banyak dengan yang mendampingi dan melayani itu jauh sekali. Jadi kami masih membutuhkan partisipasi masyarakat yang dapat memberikan pendampingan, penanganan, dan pemulihan." Hal tersebut disampaikan oleh Eni Widiyanti, Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dari KDRT dan Kelompok Rentan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA)dalam Webinar dan Berbagi Praktik Baik "Peran 'Aisyiyah dalam Implementasi UU TPKS" pada Senin (1/12/23).

Dalam kesempatan tersebut Eni menyebutkan bahwa kekerasan perempuan terjadi di mana-mana. Kekerasan terhadap perempuan ini salah satunydari kekerasan terhadap perempuan. "Perkawinan Anak ini menjadi isu yang luar biasa karena menjadi akar permasalahan dari tindak kekerasan terhadap perempuan."

Dalam acara yang digelar sebagai bagian dari kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) ini Sekretaris Umum Pimpinan Pusat 'Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah menegaskan komitmen 'Aisyiyah dalam upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Salah satunya dengan mendirikan Posbakum 'Aisyiyah atau Pos Bantuan Hukum 'Aisyiyah yang hingga kini tersebar di 40 lokasi dengan 7 Posbakum yang terakreditasi di Kementerian Hukum dan HAM. "Aisyiyah berkomitmen untuk terus meningkatkan kesadaran dan upaya pencegahan dan termasuk pendampingan korban kekerasan. Saat ini melalui Posbakum 'Aisyiyah banyak mendampingi dan melakukan upaya pencegahan kasus kekerasan seksual."

Tri yang juga merupakan Koordinator Program Inklusi 'Aisyiyah mendorong agar segenap warga 'Aisyiyah dapat mengawal implementasi Undang-Undang yang sudah disahkan pemerintah seperti UU TPKS maupun peraturan lain yang merupakan upaya dalam menurunkan kekerasan yang terjadi termasuk kekerasan terhadap perempuan. "Kita juga ingin membangun kesadaran bersama bahwa perlu melaporkan tindak kekerasan yang terjadi di sekitar kita, karena masih sedikit yang melaporkan dan semua tindak kekerasan harus diproses sampai tuntas."

Sementara itu, Ketua Majelis Hukum dan HAM PP 'Aisyiyah, Henni Wijayanti menyebut bahwa data kekerasan seksual, perempuan, anak hampir setiap hari meningkat dan menjadi konsumsi sehari-hari. Sementara penderitaan oleh korban bukan hanya fisik tetapi juga psikis yang harus ada pendampingan. Oleh karena itu Henni mendukung penerapan UU TPKS ini agar kekerasan sksesual ditangani dengan baik dan berperspektif gender. Oleh karena itu Henni mendorong agar semakin banyak Posbakum 'Aisyiyah yang terakreditasi dan melakukan upaya pelayanan hukum yang setara bagi semua. "Melalui acara in menjadi motivasi pengurus MHH yang belum memmilkiki Posbakum untuk termotivasi melakukan upaya bersinergi dengan penegak hukum untuk mendukung penanganan terhadap korban kekerasan seksual."

Acara dilanjutkan dengan materi "Peran Posbakum dalam Implementasi UU TPKS" oleh Direktur LBH Apik, Khotimun Sutanti, serta sesi berbagi praktik baik oleh Siti Kasiyati dari Posbakum PWA Jawa Tengah "Pendampingan bagi Perempuan Difabel Korban Kekerasan oleh Lembaga Bantuan Hukum 'Aisyiyah Jawa Tengah", serta Kholidah Nur dari Posbakum PWA Sumatera Barat "Pendampingan Kasus Kekerasan oleh Posbakum 'Aisyiyah Sumatera Barat."

Terkait situasi dan problem bagi perempuan difabel korban kekerasan, Siti Kasiyati menyampaikan bahwa masih banyak tantangan yang dihadapi. "Masih banyak masyarakat yang tidak peduli dan tidak peka terhadap pemenuhan keberadaan difabel yang menjadi korban suau tindak kekerasan sehingga masyarakat enggan melaporkan suatu tindak pidana." 

Menurut Kasiyati paling tidak ada dua alasan mengapa masyarakat tidak peka terhadap Penyandang Disabilitas Berhadapan Dengan Hukum yang menjadi korban suatu tindak kejahatan. Pertama, mereka sama sekali tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang segala hal yang berkenaan dengan masalah difabel, lebih-lebih yang menjadi korban suatu tindak pidana. Kedua, cara pandang aparat penegak hukum yang masih didominasi oleh cara pandang yang positivistik. "Dalam arti karena regulasi hukum terkait proses peradilan pidana tidak mengatur secara spesifik tentang keberadaan difabel yang menjadi korban tindak pidana, mereka enggan atau bahkan tidak mau melakukan kreasi yang melampuai regulasi tersebut." (Suri)


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Berita

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PC IMM) Abdul ....

Suara Muhammadiyah

13 February 2024

Berita

MAKASSAR, Suara Muhammadiyah - Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar terus menggencarkan progr....

Suara Muhammadiyah

13 June 2024

Berita

MAKASSAR, Suara Muhammadiyah – Keluarga besar Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar dan ....

Suara Muhammadiyah

27 May 2024

Berita

CILACAP, Suara Muhammadiyah - Tujuan utama dari perguruan pencak silat Tapak Suci Putra Muhamma....

Suara Muhammadiyah

20 October 2024

Berita

BANDUNG, Suara Muhammadiyah - Asrama Ma'had Al Birr Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar mera....

Suara Muhammadiyah

30 November 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah