Hukum Shalat Jumat di Lokasi Offshore atau di dalam Masjid Mobil
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Perkenalkan nama saya Muhammad Abdul Qodir dari Depok. Saya mau menanyakan mengenai hukum atau status shalat Jum‘at di lokasi kerja yang berada di tengah laut (offshore). Saya adalah pekerja di salah satu pekerja yang lokasi kerjanya di anjungan minyak lepas pantai di Laut Cina Selatan (Natuna, Kepulauan Riau) sekitar 100 km dari pantai. Schedule kerjanya 3 minggu di lokasi kerja dan 3 minggu libur dan dilakukan secara rutin. Lokasi kerja berupa bangunan tetap yang berdiri di atas laut. Yang ingin saya tanyakan adalah, apakah boleh melakukan shalat Jum‘at saat berada di lokasi offshore, atau diganti dengan shalat dzuhur? Terima kasih.
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Pertanyaan dari Muhammad Abdul Qodir, Depok (disidangkan pada Jum‘at, 21 Zulqa'dah 1439 H / 3 Agustus 2018 M)
Jawaban:
Wa ‘alaikumussalam wr. wb.
Sebelumnya, kami ucapkan terima kasih atas pertanyaan di atas, semoga jawaban Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah ini bisa menjadi pertimbangan hukum bagi penanya maupun bagi umat Islam secara umum yang barangkali memiliki persoalan yang sama.
Sebagaimana yang telah diketahui, shalat Jum‘at merupakan salah satu ibadah wajib di dalam Islam. Kewajiban ini berdasarkan firman Allah,
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ [الجمعة، 62: 9].
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum‘at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui [QS. al-Jumu‘ah (62): 9].
Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa kewajiban melaksanakan shalat Jum‘at diperuntukkan bagi setiap orang beriman. Hal ini diperkuat dengan ancaman yang berat bagi yang meninggalkan shalat Jum‘at secara sengaja. Dalam sebuah hadis dijelaskan, orang yang dengan sengaja tidak melaksanakan shalat Jum‘at sampai tiga kali, maka disebut sebagai orang munafik,
عَنْ أُسَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ تَرَكَ ثَلَاثَ جُمُعَاتٍ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ كُتِبَ مِنَ الْمُنَافِقِينَ [رواه الطبرني في معجم الواسط، 422].
Dari Usamah (diriwayatkan), ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang meninggalkan shalat Jum‘at tiga kali tanpa ada alasan yang dibenarkan oleh syariat maka ditetapkan baginya termasuk orang munafik (Mu’jam al-Wasith li at-Tabrani, no. hadis, 422)
Namun demikian, di masa sekarang sering dijumpai beberapa keadaan (situasi dan kondisi) yang cukup menyulitkan seorang muslim untuk melaksanakan shalat Jum‘at. Misalnya, seorang muslim yang bekerja lama di atas laut lepas (offshore) atau berada di suatu kawasan yang sangat jauh dari masjid atau sulit ditemukan masjid untuk shalat Jum‘at. Dalam keadaan seperti ini, apakah seorang muslim masih wajib melaksanakan shalat Jum‘at, ataukah boleh memilih melaksanakan ataukah tidak atau bahkan tidak diperbolehkan shalat Jum‘at?
Jika mencermati pertanyaan di atas dan melihat berbagai penjelasan ulama, maka hakikatnya persoalannya mengerucut pada dua hal, pertama, mengenai kewajiban shalat Jum‘at bagi orang yang sedang bersafar, dan kedua, hukum pelaksanaan shalat Jum‘at yang dilakukan tidak di masjid.
Terkait persoalan pertama, Majelis Tarjih telah memilih pendapat bahwa orang yang bepergian (safar) tidak wajib melaksanakan shalat Jum‘at (Fatwa Tarjih dalam Tanya Jawab Agama Majalah Suara Muhammadiyah nomor 6 tahun 2014). Pendapat ini didasari oleh beberapa dalil, di antaranya riwayat yang menyatakan bahwa pada tahun 10 Hijriyah Nabi saw dan para sahabat mendapati hari Arafah jatuh pada hari Jum‘at. Ketika itu, mereka tidak melaksanakan shalat Jum‘at, tetapi menggantinya dengan shalat Zuhur yang dijamak dengan Ashar (HR. Muslim). Riwayat ini menjadi dasar adanya keringanan bagi musafir untuk tidak melaksanakan shalat Jum‘at. Terdapat pula hadis yang secara eksplisit menyebutkan bahwa kewajiban shalat Jum‘at dikecualikan bagi musafir, sebagai berikut,
عَنْ جَابِرٍأَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَعَلَيْهِ الْجُمُعَةُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلَّا مَرِيضٌ أَوْ مُسَافِرٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَمْلُوكٌ [رواه الدارقطني والبيهقي].
Dari Jabir r.a. (diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka wajib baginya mengerjakan ibadah Jum‘at di hari Jum‘at kecuali orang sakit, musafir, perempuan, anak kecil (belum baligh) dan budak [Sunan ad-Daruquthni: 2/305, as-Sunan al-Kubra li al-Baihaqi: 3/261].
Namun demikian, bukan berarti orang yang berpergian tidak boleh melaksanakan shalat Jum‘at, sebab kebolehan tersebut berdasarkan asas rukhsah yang hakikatnya adalah sebuah pilihan (takhyir). Bagi musafir yang memilih untuk tidak melaksanakan salat Jum‘at berarti ia mengambil rukhsah. Sementara bagi yang tetap melaksanakannya, berarti ia mengambil azimah shalat Jum‘at. Dua pilihan ini sama-sama boleh berdasarkan sabda Nabi saw,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ، كَمَا يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى عَزَائِمُهُ [رواه ابن حبان].
Dari Ibn Abbas (diriwayatkan), ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Allah menyukai diambilnya keringanan-Nya sebagaimana sukanya Ia diambil kewajiban-kewajiban-Nya [Shahih Ibn Hibban, no. hadis, 354].
Untuk persoalan kedua, terkait kebolehan shalat Jum‘at di luar masjid, Tim Fatwa Tarjih memilih pendapat yang membolehkan (Fatwa Tarjih dalam Tanya Jawab Agama Majalah Suara Muhammadiyah nomor 15 dan 16 tahun 2016). Hal ini berdasarkan pemaknaan secara semantik lafal masjid, bahwa yang dimaksud dengan masjid tidak hanya sebatas bangunan yang didirikan sebagai rumah ibadah. Sebab, secara bahasa kata masjid berarti tempat sujud. Dengan demikian, di tanah mana pun, asal tidak terdapat najis, bisa dijadikan tempat shalat. Hal ini berdasarkan hadis,
حَدَّثَنَا جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ... وَجُعِلَتْ لِىَ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا ... [رواه البخاري]
Telah menceritakan kepada kami Jabir bin ‘Abdillah dia berkata, Rasulullah saw bersabda: ... Telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi sebagai masjid dan sarana penyucian diri ... [HR. al-Bukhari].
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa bagi orang Islam yang bekerja di atas kapal atau lokasi offshore, ia termasuk musafir yang mendapatkan rukhsah (keringanan) sehingga tidak diwajibkan shalat Jum‘at. Namun apabila ia memilih azimah (kewajiban) dengan tetap melaksanakannya, maka hal itu pun diperbolehkan sepanjang ada kemampuan untuk mendirikan shalat Jum‘at, seperti ada jamaah, ada khatib dan hal-hal lain yang berkaitan dengan tatacara shalat Jum‘at. Mengenai shalat Jum‘at yang dilaksanakan tidak di masjid dalam arti bangunan masjid, apakah itu di lokasi offshore, di atas kapal, baik di ruang tertutup maupun terbuka, juga diperbolehkan berdasarkan dalil yang menyatakan bahwa Allah menjadikan bumi ini sebagai tempat sujud yang bisa ditempati untuk ibadah.
Demikian, semoga bermanfaat.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 14 Tahun 2019