Sikap Terhadap Ghibah Atau Kebohongan
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum Pak Ustadz, saya mau bertanya.
Ada tetangga saya yang menyebarkan gossip tentang salah satu rumah di dekat rumah saya. Rumah tersebut sudah dijual oleh si pemilik sebelummya dan sudah dibeli oleh tetangga baru saya sekarang. Kebetulan saat itu anaknya tetangga baru saya sakit demam sampai dirawat di rumah sakit. Tetangga saya (yang asli orang situ suka menggosip) bilang, “itu mah sakitnya karena pembawaan rumah yang gak berkah. Soalnya dulu si pemilik rumah sebelumnya mengontrakkan rumah tersebut dan si pengontraknya banyak yang berbuat maksiat/mesum di rumah itu”.
Dia juga bilang di rumah itu ada penunggunya (seorang kakek-kakek) yang sering mengganggu dan menyebabkan orang yang tinggal di rumah itu sering sakit-sakitan, khususnya anak-anak. Tetangga baru saya termakan omongannya sampai-sampai dia ketakutan dan rumah yang baru dibeli 11 bulan lalu mau dia jual lagi. Padahal rumahnya strategis, ramai dan dekat dengan masjid. Si penyebar gosip itu juga bilang kalau si pemilik rumah yang dulu itu orangnya serakah suka mengambil hak orang lain, contohnya rumah itu saja mestinya yang nempatin itu kakaknya tapi malah dia yang nempatin. Padahal saya kenal betul orangnya, dia itu orang baik-baik tapi kok malah digosipin begitu.
Lantas, bagaimana hukum Islam menanggapi hal tersebut? Apa yang harus saya lakukan sebagai tetangga dan saudara seiman? Mohon tanggapan Pak Ustadz karena bukan hanya tetangga baru saya saja yang termakan omongan si penyebar gossip itu.
Wassalamu ‘alaikum ww
Dani Permana (Disidangkan pada Jum‘at, 18 Muharam 1443 H / 27 Agustus 2021 M)
Jawaban:
Wa ‘alaikumussalam wr.wb.
Terima kasih atas pertanyaan saudara, berikut ini jawabannya. Dari pertanyaan saudara dapat diambil kesimpulan bahwa permasalahan yang saudara hadapi adalah ghibah atau kebohongan. Kami tidak bisa memastikan apakah yang saudara hadapi itu termasuk ghibah atau termasuk kebohongan. Lebih rinci, saudara memiliki empat tetangga; Yang pertama, orang yang melakukan ghibah atau kebohongan. Yang kedua dan yang ketiga, orang yang dighibahi atau dibohongi dan pengontrak rumahnya. Yang keempat, orang yang menjadi korban ghibah atau kebohongannya.
Sikap saudara sebagai tetangga mereka berempat, seharusnya adalah seperti berikut: Saudara menasihati tetangga yang melakukan ghibah atau kebohongan agar berhenti dari perbuatannya itu dan meminta maaf kepada orang yang dighibah atau dibohonginya dan pengontrak rumahnya, serta tetangga yang menjadi korban ghibah atau kebohongannya. Sementara kepada tetangga yang dighibahi atau dibohongi dan pengontrak rumahnya, saudara menasihati mereka berdua agar memaafkan pengghibah atau pembohong apabila dia meminta maaf. Sedangkan kepada tetangga yang menjadi korban ghibah atau kebohongan, saudara menasihatinya agar tidak percaya dengan ghhibah atau kebohongan tetangga pengghibah atau pembohong tersebut.
Ghibah dan kebohongan itu sudah dilarang keras oleh Rasulullah saw dalam hadis berikut,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ؟ قَالُوْا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، فَقِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخْيْ مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ [رواه مسلم].
Dari Abu Hurairah r.a. [diriwayatkan] bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tahukah kalian, apakah ghbah itu?” Para sahabat berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Beliau bersabda: “Engkau membicarakan saudaramu mengenai apa yang dia benci.” Beliau ditanya: “Bagaimana pendapatmu jika apa yang aku katakan tentang saudaraku itu benar?” Beliau bersabda: “Jika apa yang engkau katakan tentang saudaramu itu benar, maka sungguh engkau telah mengghibahnya, dan jika dia tidak seperti apa yang engkau katakan, maka engkau telah membuat kebohongan atasnya” [H.R. Muslim No. 2589].
Hadis di atas menjelaskan bahwa ghibah itu adalah membicarakan keburukan orang lain di belakangnya yang tentu tidak disukainya. Dari pengertian ini para ulama mendefinisikan ghibah dengan menceritakan tentang seseorang dengan sesuatu yang dibencinya baik badannya, agamanya, dirinya (fisik), perilakunya, hartanya, orang tuanya, anaknya, istrinya, pembantunya, raut mukanya yang berseri atau masam, atau hal lain yang berkaitan dengan membicarakan seseorang baik dengan lafal (verbal), tanda, ataupun isyarat.
Ghibah itu pada hakikatnya merupakan penodaan terhadap harga diri, kemuliaan dan kehormatan orang lain. Larangan ghibah itu sudah jelas. Allah telah melarang keras ghibah dalam firman-Nya:
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمُ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُم أَنْ يَّأكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ ۚ وَاتَّقُوْا اللهَ ۚ إِنَّ اللهَ تَوّابٌ رَحيْمٌ.
Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah kamu mencari kesalahan orang lain, dan jangan di antara kalian menggunjing sebagian yang lain. Apakah di antara kalian suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kalian akan merasa jijik. Bertakwalah kalian pada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang [Q.S. al-Hujurat: 12].
Di dalam ayat ini, Allah melarang keras prasangka, mencari kesalahan orang lain dan menggunjing. Allah memberikan perumpamaan orang yang menggunjing atau ghibah itu seperti orang yang memakan daging saudaranya sendiri yang sudah mati. Ini adalah perumpamaan yang dahsyat dan sangat mengerikan. Maksudnya antara lain adalah supaya kita semua menjauhi perbuatan menggunjing atau ghibah.
Bahaya ghibah antara lain adalah ghibah itu menyebabkan berbagai penyakit hati seperti dengki, sombong, dendam dan meremehkan orang lain. Ghibah juga menyebabkan pikiran negatif dan buruk sangka kepada orang lain. Selain itu, ghibah menyebabkan permusuhan, putusnya tali ukhuwah atau persaudaraan. Ghibah, tentu saja membuat seseorang yang melakukannya berdosa karena mengungkap aib yang tidak semestinya dibicarakan.
Sementara maksud kebohongan di dalam hadis riwayat Abu Hurairah r.a. di atas adalah membicarakan keburukan orang padahal keburukan tersebut tidak ada padanya. Contohnya, seseorang dikatakan sebagai orang yang suka melakukan maksiat, atau mengambil hak orang lain, padahal orang yang dituduh itu sama sekali tidak demikian. Kebohongan seperti itu menjadi tuduhan dan bahkan fitnah yang keji. Orang yang menuduh harus mengemukakan bukti terhadap tuduhan atau fitnahnya itu. Apabila dia tidak bisa memberikan bukti, maka tuduhan itu menjadi bumerang baginya. Di dalam hadis disebutkan,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ، لَادَعَى رِجَالٌ أَمْوَالَ قومٍ وَدِمَاءَهُمْ، لَكِنِ الْبَيِّنَةُ عَلَى المُدَّعِيْ، وَالْيَمِيْنُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ [رواه البيهقي].
Dari Ibnu Abbas r.a. [diriwayatkan] bahwa Rasulullah saw bersabda: “Jika orang-orang itu diberi/diperkenankan karena dakwaan mereka, pasti orang-orang akan mendakwa harta kaum lain dan darah mereka, akan tetapi bukti itu (wajib dikemukakan oleh) orang yang menuduh, dan sumpah itu (wajib diucapkan oleh) orang yang mengingkari” [H.R. al-Baihaqi].
Kepada tetangga yang dighibahi atau dibohongi dan pengontrak rumahnya, saudara dapat menasihati mereka berdua agar memaafkan tetangga pengghibah atau pembohong apabila keduanya tahu dan pengghibah atau pembohong itu minta maaf. Memberi maaf kepada orang yang meminta maaf adalah perbuatan yang terpuji dan sangat dianjurkan.Tapi apabila keduanya tidak tahu kalau keduanya dighibah atau dibohongi, maka sebaiknya saudara tidak memberitahu keduanya. Biarlah urusan ini diserahkan kepada Allah dan menjadi tabungan pahala keduanya di sisi Allah.
Di dalam nasihat kepada tetangga yang menjadi korban ghibah atau kebohongan, saudara bisa menasihatinya supaya tidak percaya kepada ghibah atau kebohongan yang ditebar oleh tetangga pengghibah atau pembohong itu. Walaupun benar apa yang dikatakannya mengenai pemilik rumah dan rumah yang dibelinya, namun bahayanya tidak akan mengenainya apabila dia mempunyai iman dan keyakinan yang kuat bahwa tiada siapa pun yang bisa memberi manfaat atau memberi bahaya melainkan dengan izin Allah. Apabila apa yang dikatannya itu terbukti tidak benar, maka itu adalah tuduhan dan bahkan fitnah keji yang tidak boleh dipercayainya. Kalau ia termakan dengan kata-kata tetangga pembohong tersebut, maka ia akan rugi karena harus menjual rumah yang baru dibelinya, padahal rumah tersebut strategis dan tidak bermasalah.
Wallah a‘lam bish-shawab.
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 2 Tahun 2022