Guru Non Muslim Mengajar di Sekolah Muhammadiyah Tidak Berbusana Muslimah
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Mohon penjelasan dan fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah tentang hukum bagi guru non-muslim mengajar di sekolah Muhammadiyah dengan tidak menggunakan busana muslim. Terima kasih.
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Australia (Disidangkan pada Jumat, 22 Rabiulawal 1443 H / 29 Oktober 2021 M)
Jawaban:
Wa ‘alikumussalam. wr. wb.
Eksistensi Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) sangat dirasakan manfaatnya baik oleh kalangan muslim maupun non-muslim. Bahkan hal itu tidak hanya dirasakan dalam skop Indonesia, tetapi juga hingga manca negara, seperti peran Muhammadiyah Disaster Manajemen Center (MDMC) dalam penanggulangan dampak bencana alam dan non alam di beberapa negara. Demikian pula dengan keberadaan lembaga pendidikan dari Pendidikan Anak Usia Dini hingga Perguruan Tinggi, panti asuhan, Rumah Sakit PKU dan balai kesehatan, termasuk peran Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) pada saat pandemi Covid19 ini. Peran Muhammadiyah bagi kemanusiaan tidak hanya terkait dengan dana dan infrastruktur, tetapi juga tenaga dan berbagai macam program pelatihan yang tidak hanya terbatas bagi orang Islam saja.
Dalam konteks Indonesia, bisa dilihat dengan nyata peran dan manfaat lembaga pendidikan Muhammadiyah bagi saudara-saudara non-muslim. Orang yang menuntut ilmu (belajar) di lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah dan Aisyiyah, banyak dari kalangan non-muslim. Bahkan di beberapa Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) yang ada di Indonesia Timur seperti Papua Barat, Papua, NTT, dan lainnya lebih dari 70% mahasiswa dan mahasiswinya dari kalangan non-muslim. Ada pula dari kalangan non-muslim yang menjadi tenaga kependidikan, karyawan, hingga juru parkir. Demikian pula PTM yang ada di Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya juga banyak menerima mahasiswa non-muslim. Banyak pula orang tua non-muslim yang memercayakan pendidikan anak-anaknya di sekolah-sekolah Muhammadiyah baik dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama dan Atas (SMP/SMA).
Lalu muncul pertanyaan, bolehkah guru non-muslim mengajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah (termasuk PTM) dengan tidak menggunakan busana muslimah? Dalam praktiknya, sesungguhnya hal ini sudah sangat lazim terjadi terutama di lingkungan PTM. Banyak dosen termasuk dosen tamu yang mengajar, bahkan juga dalam berbagai seminar dan lokakarya mereka dihadirkan sebagai pembicara sesuai dengan disiplin ilmu yang dibutuhkan, tanpa mengenakan busana muslimah. Demikian pula guru-guru umum dari kalangan non-muslim terutama di Indonesia bagian Timur dan minoritas muslim. Artinya hal ini bukanlah menjadi persoalan, terlebih hal ini masih dalam konteks muamalah.
Dalam persoalan muamalah, Islam tidak melarang umat Islam untuk berinteraksi dengan non-muslim selama bisa saling memberikan kemanfaatan di luar konteks ibadah dan akidah. Rasulullah saw banyak melakukan interaksi sosial dengan non-muslim, baik dalam kehidupan bermasyarakat secara umum maupun dalam bidang bisnis dan jual-beli. Terbukti beliau juga melakukan transaksi muamalah dengan orang Yahudi di Madinah, sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut,
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ اِشْتَرَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُوْدِيٍّ طَعَامًا وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ [رواه البخاري ومسلم].
Dari 'Aisyah r.a. (diriwayatkan) ia berkata: Rasulullah saw pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan menggadaikan (menjaminkan) baju besi beliau [H,R. al-Bukhari dan Muslim].
Demikian pula ketika Nabi Muhammad saw dan umat Islam menang dalam perang Badar, beliau membagi para tawanan perang menjadi beberapa kelompok, salah satu kelompok adalah para tawanan perang yang dibebaskan dengan jaminan mereka bersedia mengajarkan umat Islam membaca dan menulis.
Dalam Al-Qur`an juga dijelaskan tentang kebolehan bagi umat Islam untuk berinteraksi dengan non-muslim, selama mereka tidak memusuhi agama dan umat Islam (kafir dzimmi). Sebagaimana firman Allah dalam Surah al-Mumtahanah (60): 8,
لَا يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِي الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْآ إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ [الممتحنة، 60: 8].
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil [Q.S. al-Mumtahanah (60): 8].
Dengan demikian, terkait dengan pertanyaan saudara, bolehkah non-muslim mengajar di sekolah Muhammadiyah tanpa menggunakan busana Islami, menurut pendapat kami hal itu diperbolehkan berdasarkan pendalilan (istidlal) dari ayat dan hadis di atas, serta berdasarkan kaidah fiqhiyah yang menyatakan,
أَلْأَصْلُ فِى الْأَشْيَآءِ (الْمُعَامَلاَتِ) الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّ لِيْلُ عَلَى خِلاَفِهِ
Pada dasarnya (hukum) segala sesuatu (muamalah) itu adalah boleh, sampai ada dalil (lain) yang menunjukkan sebaliknya (keharamannya).
Namun demikian, pengelola lembaga pendidikan di lingkungan Muhammadiyah hendaknya menggunakan skala prioritas (aulawiyat) dalam mengangkat guru, yakni lebih memprioritaskan guru muslim (khususnya warga atau kader persyarikatan). Karena salah satu fungsi AUM termasuk lembaga pendidikan Muhammadiyah adalah fungsi kaderisasi dan dakwah Islamiyah. Namun jika tetap menggunakan guru non-muslim, maka hendaknya ada regulasi dan rambu-rambu yang jelas agar tidak terjadi persoalan yang tidak diinginkan di kemudian hari, seperti,
1. Mengatur cara berpakaian khususnya bagi guru wanita non-muslim, berpakaian sopan dan tertutup rapi, tidak ketat, tidak transparan, sekalipun diperbolehkan tidak menggunakan jilbab sesuai dengan keyakinan agamanya. Terkait dengan aturan berbusana atau batasan-batasan dalam berbusana sebaiknya diinformasikan sejak awal dengan mempertimbangkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak.
2. Tidak menggunakan identitas ideologi keagamaan seperti menggunakan pernik-pernik gambar Yessus, kalung salib dan sejenisnya, untuk memberikan rasa nyaman bagi civitas akademika dan murid-murid muslim, serta menunjukkan identitasnya sebagai lembaga pendidikan Islam (Muhammadiyah).
3. Materi pelajaran yang diberikan adalah materi-materi umum yang disesuaikan dengan kebutuhan sekolah seperti matematika, fisika, kimia, keterampilan, bukan materi yang bersinggungan dengan agama dan keyakinan, terlebih lagi untuk usia anak-anak.
4. Melakukan evaluasi dan pembinaan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan sesuai dengan visi dan misi sekolah.
Selain itu, hendaknya para civitas akademika di lingkungan lembaga pendidikan Muhammadiyah, mulai dari stakeholder hingga jajaran di bawahnya hendaknya menjadi teladan dan contoh dalam kebaikan, -khususnya bagi guru non-muslim-, sebagai manifestasi dakwah bil-hal.
Demikian jawaban kami, semoga dapat memberikan kepastian hukum dan pencerahan.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 03 Tahun 2022