Cerpen Suyanto *)
Di TK ABA 8 itu, Abidah masih setia memimpin 7 guru perempuannya tanpa jenuh. Seorang pria yang sudah berumur kepala enam dipilihnya menjadi pesuruh dan sekali tempo menjadi penjaga malam, artinya bangunan gedung dan halaman luas itu tidak harus dijaga 24 jam dan ditiduri di situ. Tetapi pada saat halaman sekolah dipinjam warga kampung Kauman Dua, Desa Gentengwetan untuk parkir motor dan mobil orang yang punya hajat, maka Pak Nuruddin harus bersiap semalaman ikut di lokasi, hingga harus tidur di ruang UKS ber-AC yang telah dibangun lima belas tahun silam.
"Sudah mengantuk Pak Nur?", sapa bu Bidah malam itu sekitar pukul delapan lebih. "Belum bu, ini masih nongkrong dengan bapak-bapak Hansip kampung, mengamankan motor tamu dan penonton wayang kulit di acara ngunduh mantu pak Kadis Pertanian," jawab Mbah Nur mantap. Duda itu heran kenapa sejak lima tahun terakhir, ibu kepala selalu sendirian jika ada acara resmi dan semi resmi siang maupun malam. Ia tak ingin menduga-duga, meski penasarannya memukul-mukul jiwanya.
"Maaf mas Bronto, agak kemalaman pulangnya. Tadi lombanya sekabupaten, 25 kecamatan IGTKI baru usai pukul empat sore. Dan pak sopir yang menyopiri mobil kita begitu pelan lajunya, amit-amit pokoknya, minta ampun aku dan mohon maaf sekali lagi mohon maaf", sesal Bidah kepada suaminya.
"Gak apa-apa, yang penting dicuci mobilnya. Pokoknya membawa ya tanggungjawab, itu saja titik," jawab Bronto sambil meluncur ke pos kamling di timur rumahnya.
Abidah belum juga berganti, baju siangnya masih melekat kuat. Putri bungsunya yang masih kelas XII MAN sangat dekat dengannya. Dialah anak tercinta tempat mengeluhkesah, berbagi rasa, dan berbagi tugas. Jika Husna hingga larut sore masih di Madrasah, ibunya yang paling terasa. Sedangkan putri sulungnya ialah mahasiswi Universitas Aisyiyah di Sanna, putra keduanya di Antropologi Unair. Sepi pokoknya jika ketiganya di kampus masing-masing.
"Ini Husna sudah saatnya mbayar es pe pe lho Yah!" sela Bidah. "Es pe pe ya es pe pe, tapi ingat semua harus dicatat, saya juga nyatat. Karena sumbernya yang terbanyak dari saya untuk tiap bulannya. Ingat itu semua," jlentreh Bronto dengan nada serius.
"Astaghfirullah, iya sudah mas, saya catat, termasuk belanja-belanjaku harian saya catat yang uangnya menggunakan dari pemberianmu," celetuknya dengan mata berkaca-kaca.
"Tidak usah dicatat bunda, itu sudah kewajiban kepala keluarga kan, sejak sedari dulu, guru agamaku di Teka, Esde, Es em pe hingga MAN sekarang ini gak berubah, ya lelakilah yang paling punya kewajiban utama," timpal Husna sambil tangan menghampiri dadanya dan menghela nafas halusnya.
"Sudahlah Nak, ini urusan orang tua, jangan kau ikut campur Nduk. Pergilah kau ke kamar tidur nduk atau belajar di perpus kita sana," pinta ibu padaku, dan aku amat mengerti maksud bunda malam itu. Tetapi kebiasaan yang tidak harmonis seperti ini tidak ingin saya tahu setiap malam, seperti sinema elektronik di televisi. Amat tidak pantas dalam keluarga yang memegang ideologi muhammadiyah.
"E....e....ee anak sayang, anak cantik, anak bunda kok malah melamun begini....." jeda bunda penuh penasaran.
"Biarlah bunda, Husna tidak ingin keharmonisan keluarga kita tercabik-cabik. Seperti ada yang berubah di rumah ini. Husna kecil, kekanakan, tetapi tak bisa diam membaca perasaan. Selangkah lagi Husna kuliah, pasti ada yang jadi korban di rumah ini. Ijinkan saya khawatir bunda, itu berarti Husna berpikir. Berpikir tentang masa depan yang baik, bukan justru melilit dan tercabik-cabik. Aku sebagai anak bungsu harus peka. Aku tak ingin ada suara keras, pintu tertutup keras, piring melompat, atau apa pun yang merupakan bunga emosi, ini baru namanya mawaddah warahmah. Kejarlah angan dan harapan keluarga dan jangan suka diberi tepuk tangan oleh tetangga kita, karena bisa jadi itu awal dari malapetaka.
"Mohon maaf bunda dan ayah, malam ini anakmu menjadi seperti dewasa bahkan tua, karena barangkali diantara ayah dan bunda ada yang ingin kembali seperti muda, dalam semua urusan, termasuk asmara, mohon maaf, Husna harus segera tidur, besuk pagi lembur setelah makan sahur, sekali lagi mohon maaf bundaku dan ayahku, jangan ada dusta diantara kita, aku tak ingin tidurku membawa segenggam dosa karena kedurhakaanku kepada kedua orangtua yang begitu kuat dan tajam menembus perasaan," kata Husna seraya beranjak pelan dari ruang baca di perpus keluarganya yang asri.
"Lihatlah anak kita yah, dia begitu dewasa dan keibuan dibanding kedua kakaknya. Ia seperti pemecah masalah dalam segala persoalan. Ia hadir di tengah tadi, kurasa tidak mewakili siapa pun kecuali untuk dirinya sendiri. Dia kuat dan tekun puasa sunnah. Saya salut padanya, cinta, dan sungkan pada kedewasaannya," ujar Bidah serius.
"Ya Bu, saya mohon maaf. Saya sebagai ayah terus terang ada kejenuhan mengkaji agama dalam tema apa pun. Tak seharusnya begitu. Mangkanya segala nafsu yang negatif seperti menempel di hati ayah. Marah datang silih berganti, setiap hari bertubi-tubi. Aku baru sadar malam ini, Rabu malam Kamis. Sebuah hari yang amat ditunggu oleh si bungsu.
Dia sholehah, tetapi bapaknya masih belajar sholeh, itu pun penuh debu dan satir yang membatu. Tak pantas kepala keluarga seperti aku. Maafkan jeng, berapa tahun aku melukai hatimu dengan pisau tajamku," kata Bronto dengan linangan air mata keikhlasan. Spontan kedua insan itu saling berangkulan, meminta ampunan. Memutus kemunkaran, menggapai ridho Illahi, ketika Husna, putri bungsunya menuntaskan Penilaian Akhir Semester pada hari ketiga tanpa siapa-siapa.
*) Esais dan Cerpenis. Sekretaris LSBO PDM Banyuwangi. Anggota LSBO PWM Jawa Timur.