Ibrah dari Perang Badar (1)

Publish

2 September 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
213
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Ibrah dari Perang Badar (1)

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Saya akan membahas tentang pertempuran pertama dalam Islam. Pertempuran pertama dalam Islam, yaitu Perang Badar, terjadi pada tahun kedua Hijriah.

Sebagai gambaran, Nabi Muhammad SAW memulai dakwahnya di kampung halamannya Mekah selama 13 tahun setelah menerima wahyu, namun beliau menghadapi penindasan. Beliau pun mengirim para pengikutnya untuk hijrah ke Abyssinia demi menghindari penindasan tersebut. Kemudian, beliau sendiri hijrah dari tempat yang penuh kekerasan itu ke kota Yatsrib, yang kini dikenal sebagai Madinah, kota Nabi. Di sana, beliau hidup relatif damai selama satu tahun. Namun, pada tahun kedua, beliau harus menghadapi musuh dalam perjuangan untuk mempertahankan diri.

Lantas, apa penyebab pertempuran ini? Siapa yang memulai pertarungan? Apakah umat Islam yang menyerang atau membalas serangan? Dalam literatur biografi klasik tentang Nabi Muhammad SAW, terdapat pandangan umum yang menekankan aspek kekerasan. Para penulis biografi klasik tersebut menggambarkan kekerasan sebagai salah satu metode yang digunakan Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, mereka beranggapan bahwa pertempuran ini dimulai oleh Nabi Muhammad SAW sendiri, seolah-olah beliau memancing permusuhan. Mereka menduga bahwa beliau mendapatkan informasi tentang kafilah kaya milik Quraisy, kaum dari sukunya sendiri, yang sedang dalam perjalanan pulang dari berdagang di Suriah.

Mereka juga berasumsi bahwa beliau melihat ini sebagai peluang mudah untuk merebut kembali harta benda yang dirampas darinya dan para pengikutnya. Perlu diingat bahwa beliau dan para pengikutnya telah mengalami penindasan di Mekah selama bertahun-tahun. Ketika akhirnya hijrah, beliau terpaksa meninggalkan harta bendanya. Oleh karena itu, menurut mereka, tindakan menyerang kafilah tersebut dianggap sah sebagai upaya untuk mengambil kembali sebagian harta yang hilang. Pandangan inilah yang umumnya dijelaskan dalam biografi-biografi klasik tentang Nabi Muhammad SAW.

Namun, benarkah demikian? Seorang sarjana India, Allama Shibli Nomani, dalam penelitiannya selama seabad terakhir, telah menulis biografi Nabi Muhammad SAW yang sangat komprehensif dalam bahasa Urdu. Terjemahannya kini tersedia dalam bahasa Inggris. Beliau telah menganalisis catatan-catatan klasik secara mendalam dan menyimpulkan bahwa gambaran umum tersebut tidaklah tepat. 

Semua sepakat bahwa Al-Qur`an adalah sumber paling otentik tentang kehidupan Nabi SAW, lebih otentik daripada biografi-biografi yang ditulis belakangan. Biografi-biografi tersebut ditulis jauh setelahnya, pada abad kedua dan ketiga Hijriah. Biografi tertua yang kita miliki saat ini ditulis oleh Ibnu Ishaq, yang wafat sekitar tahun 150 Hijriah (abad ke-2). Revisi dari biografi tersebut ditulis oleh Ibnu Hisyam, yang wafat pada tahun 220 Hijriah (abad ke-3).

Sementara itu, Al-Qur`an diakui sebagai sumber yang sezaman dengan Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, jika Al-Qur`an menyebutkan detail biografi tentang beliau, maka informasi tersebut harus dianggap otentik. Bahkan jika seseorang tidak meyakini Al-Qur`an sebagai wahyu dari Allah, setiap peristiwa yang disebutkan dalam Al-Qur`an mengenai kehidupan Nabi pastilah sesuatu yang benar-benar terjadi sebagaimana digambarkan di dalamnya.

Nah, yang secara khusus ditunjukkan oleh Allama Shibli adalah bahwa dalam Surah Al-Anfal (Surah 8) yang membahas tentang Perang Badar, pada ayat ketujuh, disebutkan adanya perselisihan antara Nabi SAW dengan beberapa pengikutnya. Berbeda dengan gambaran klasik dalam biografi-biografi, perselisihan ini terjadi sebelum Nabi Muhammad SAW keluar dari kota dengan tujuan menyerang kafilah.

Kemudian, beliau mendapat kabar bahwa Quraisy telah mengirimkan pasukan besar untuk melindungi kafilah tersebut. Hal ini memicu perdebatan antara beliau dan para pengikutnya, apakah mereka harus melanjutkan perjalanan, mengetahui bahwa pasukan besar itu akan datang, atau kembali ke Madinah dengan damai.

Namun, ayat Al-Qur`an menunjukkan bahwa perdebatan ini terjadi sebelum Nabi SAW meninggalkan kota. Allama Shibli menyimpulkan bahwa, karena perdebatan tersebut terjadi sebelum keberangkatan Nabi, maka satu-satunya masalah yang diperdebatkan adalah apakah mereka akan pergi menghadapi pasukan besar itu. Ini membuktikan bahwa Nabi SAW tidak pernah berniat menyerang kafilah. Umat Islam dihadapkan pada fakta bahwa pasukan besar akan menyerang mereka dari selatan.

Pertanyaannya adalah, apakah mereka akan menghadapi pasukan itu, atau bagaimana? Orang-orang merasa takut dan bingung. Namun, Nabi Muhammad SAW memimpin mereka keluar untuk mempertahankan kota dari luar. Kita tidak bisa hanya berdiam diri di dalam kota dan menunggu musuh masuk, karena mereka akan melakukan kekerasan, penjarahan, pembunuhan, dan pembakaran. Oleh karena itu, kita harus keluar menghadapi mereka. Meskipun jumlah pasukan Muslim sedikit, Nabi SAW memiliki keyakinan yang kuat kepada Allah bahwa mereka bisa menghadapi musuh dan dengan pertolongan-Nya, mereka akan berhasil mempertahankan kota (Bersambung)


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Menentang Penindasan Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Apakah Al....

Suara Muhammadiyah

5 January 2024

Wawasan

Mengenali Batas Oleh: Ahsan Jamet Hamidi Soekarno, adalah Presiden Indonesia pertama yang berkuasa....

Suara Muhammadiyah

5 November 2023

Wawasan

Oleh : Chabibul Barnabas, Bendahara Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PWM Jawa Tengah Kenaikan ....

Suara Muhammadiyah

19 August 2024

Wawasan

Oleh: Baskoro Tri Caroko Menyimak webinar yang diselenggarakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BR....

Suara Muhammadiyah

30 November 2023

Wawasan

Oleh: Dr H Amirsyah Tambunan, MA Ketua Majelis Pendayagunaan Wakaf Pimpinan Pusat Muhammadiyah Beg....

Suara Muhammadiyah

13 February 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah