Remaining Filantropi Al Ma’ūn di Era Milenial
Oleh: Ngatipan, Anggota PCM Girisubo, Gunungkidul
Filosofi al ma’ūn telah lama didengungkan oleh K.H Ahmad Dahlan, pendiri persyarikatan Muhammadiyah sejak satu abad lalu. Secara empiris, substansi nilai al ma’ūn masih terasa relevan di kehidupan masyarakat saat ini meskipun dengan format yang berbeda tentunya. Kata al ma’ūn yang mengandung makna leksikal "Syay-un Rakhīs Lā Ŝamana Lahu”, sesuatu yg kurang bernilai jika dilihat secara dzatiyah-nya, namun demikian karena satu dan lain hal nilai tersebut seketika bisa berubah menjadi sangat mahal karena hajat manusia terhadapnya yang krodit jika dilihat dari sisi waktu, mendesak dan tdk bisa digantikan oleh yang lain.
Seperti, seseorang yang mengalami bocor ban di perjalanan. Meskipun orang tersebut mungkin seorang konglomerat, pejabat atau bahkan seorang montir handal. Kelebihan-kelebihan diats pada saat itu tidaklah bisa menggantikan urgensi kedudukan jasa tambal ban, terlebih lagi di tempat tertentu yang memang relatif sulit mendapatkan akses fasilitas publik.
Al ma’ūn yang dimaknai sebagai barang atau jasa yang secara tradisional memiliki nilai relatif yang tidak begitu berarti, seperti air, garam, bara api, tumpangan kendaraan, meminjamkan pisau untuk menyembelih hewan, menunjukkan arah/ jalan bagi musafir dan sejenisnya di era milenial dapat dikonversikan menjadi barang/ jasa yang bersifat unlimited, serta bisa dimanfaatkan secara umum tanpa mengurangi substansi nilai manfaat secara signifikan, seperti tumpangan cash HP, WIFI, like/ subscribe terhadap konten digital semestinya bisa dikelola proporsional sebagai aset bagi kemajuan islam dan peradaban masyarakat.
Pergeseran nilai dan paradigma kehidupan masyarakat milenial menjadikan gadget dan internet dengan berbagai fasilitasnya sebagai media sosial, seperti akun face book, twitter, what's App, you tube dan lain-lain dari yang semula sebagai kebutuhan sekunder/ fasilitas menjadi kebutuhan pokok semua level lapisan sosial masyarakat. Setiap sisi kehidupan masyarakat milenial hampir tidak bisa dilepaskan dari internet. Internet selain sebagai alat komunikasi dan informasi, juga dianggap sebagai sarana mengaktualisasikan diri. Fungsi terakhir inilah yang sementara menjadi dominan dalam dinamika kehidupan masyarakat milenial.
Berbagai konten digital, mulai dari kegiatan sederhana, seperti curhat persoalan pribadi dan ngabuburit sampai konten besar di upload ke media sosial sebagai tempat aktualisasi diri, sehingga ranah privasi dan ranah publik menjadi bergeser. Masyarakat tidak lagi acuh memperhatikan ranah-ranah tersebut yang sebenarnya memiliki karakter dan etika tersendiri secara hukum, sosial maupun syara’. Budaya asal koment, like/ dislike tanpa dilandasi sikap ‘iffah (menjaga diri dari hal-hal yang kurang bermartabat dan berguna) akhirnya tidak dapat dihindarkan lagi, yang berarti menumpuk dosa demi dosa bagi masyarakat secara umum sudah dianggap lazim.
Kehati-hatian akan perkataan yang mungkin bia menyinggung orang lain atau melanggar ketentuan syara’ menjadi luntur. Bagi kreator konten digitalpun terkadang juga menyuguhkan hal-hal yang kurang mendidik, konten yang berbau judi, atau bahkan berisi praktek kekufuran kepada Allah SWT. Internet dan media sosial sebagai satu fasilitas yang memudahkan semestinya kita syukuri dengan menggunakannya untuk melakukan dakwah dinul islam seluas-luasnya dan membumikan nilai-nilai agama yang mencerahkan, berkualitas lagi memberdayakan bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.