MALANG, Suara Muhammadiyah – Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Tarjih dan Tajdid Prof Dr H Syamsul Anwar, MA menerangkan bahwa keberadaan kalender itu sangat penting dalam kehidupan umat manusia. Menurutnya kalender sebagai sistem penandaan hari dalam putaran waktu yang tanpa henti dari masa lalu, ke masa kini, dan masa depan berdasarkan hisab.
“Jadi kalender itu menandai hari. Hari itu kita paham 24 jam yang merupakan satu rotasi bumi pada sumbunya. Kalau dalam sehari-hari dihitung dari tengah malam, kalau dalam tradisi Islam menurut Jumhur dihitung sejak terbenam matahari tapia da juga yang menghitung sejak waktu fajar. Yang penting satu hari,” ujarnya saat Seminar Nasional Kalender Hijriah Global: Tantangan dan Strategi Implementasi, Sabtu (22/7) di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Memang diketahui kalender itu ada dua macam, yakni kalender miladiyah dan kalender Hijriah. Dan saat ini, akar tunjang permasalahan yang berkembang di tengah masyarakat berupa belum adanya Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT). Menurutnya KHGT sebagai kalender hijriah dengan prinsip satu hari satu tanggal di seluruh dunia.
“Kalender yang menjadikan Kawasan bumi sebagai satu matlak (zona tanggal),” imbuhnya.
Syamsul menerangkan pengusul pertama KHGT adalah Syaikh Ahmad Muhammad Syakir (w. 1377/1958) pada tahun 1939. Pada tahun 1998 parameter Syakir ini diadopsi oleh kalender Ummul Qura. Satu tahun kemudian, dalam konferensi Menteri Luar Negeri Negara-Negara Organisasi Kerja sama Islam (OKI) yang diselenggarakan di Ouagadougou Afrika.
Tahun 1999 kalender ini diadopsi dengan tambahan parameter telah terjadi ijtimak sebelum matahari tenggelam di Makkah atau suatu negeri Islam yang bersekutu dalam sebagian malam dengannya. Pada saat bersamaan, Syamsul menjelaskan pengejawantahan KHGT harus mengedepankan prinsip-prinsip perumusan yang berlaku.
Menurutnya ada lima prinsip perumusan KHGT. Yakni penerimaan hisab, transfer imkanu rukyat, kesatuan matlak, keselarasan hari dan tanggal di seluruh dunia, dan penerimaan garis tanggal internasional (GTI) yang berlaku sekarang. Selain itu, juga ada validitas pokok hal ihwal KHGT. Yaitu harus sudah imkanu rukyat di suatu tempat di muka bumi.
“Karena jika belum imkanu rukyat, akibatnya New Zealand akan dipaksa masuk bulan baru sebelum ijtima’,” terangnya. Lalu tidak boleh memaksa suatu kawasan untuk menunda masuk bulan baru, padahal di kawasan itu sudah melihat hilal dengan jelas. Serta tidak boleh memaksa satu Kawasan (timur) masuk bulan baru ketika belum ijtima’.
Terkait dengan strategi implementasi KHGT, menurut Syamsul ada empat langkah. Pertama melakukan sosialisasi dan menyebarluaskan informasi seputar KHGT yang meliputi urgensi, manfaat, mengapa harus menggunakan, serta apa dasar-dasar syar’i penerapannya. Kedua, mendidik spesialis ahli falak dan syari’ah sebagai pengawal KHGT. Ketiga, mengintensifkan publikasi ilmiah tentang masalah-masalah perkalenderan melalui jurnal-jurnal nasional dan internasional.
Kemudian yang keempat membangun komunikasi dengan pihak Arab Saudi untuk mendialogkan perlunya kalender Islam global. Selain itu juga perlu melakukan penjelasan kemusykilan-kemusykilan ketiadaan KHGT. Dan kelima melatih para mubaligh dan pimpinan Majelis Tarjih dan Tajdid di berbagai tingkat agar memahami KHGT. Karena mereka tidak mungkin mengomunikasikan KHGT dalam ceramah, pengajian atau forum apa pun yang mereka miliki tanpa mereka sendiri memiliki pemahaman yang memadai tentang hal itu. (Cris)