Oleh: Mohammad Fakhrudin
Warga Muhammadiyah, tinggal di Magelang Kota
Oleh: Iyus Herdiyana Saputra
Dosen al-Islam dan Kemuhammadiyah Universitas Muhammadiyah Purworejo
Sebagaimana telah diuraikan di dalam "Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah" (IAMKS) 16 bahwa “Setiap warga Muhammadiyah dituntut untuk meneladan perilaku Nabi dalam mempraktikkan akhlak mulia sehingga menjadi uswah hasanah, yang diteladan oleh sesama berupa sifat shiddiq, amanah, tabligh, dan fathanah."
Akhlak mulia shidiq yang merupakan bagian dari akhlak mulia Rasulullah shallallau ‘alaihi wa sallam telah diuraikan di dalam IAMKS (18).
Di dalam IAMKS (19) ini diuraikan akhlak mulia amanah.
Amanah
Dalam pengertian umum amanah adalah dipercaya, sedangkan dalam pengertian sempit, amanah adalah titipan. Amanah merupakan kriteria akhlak mulia yang wajib dimiliki oleh laki-laki yang dipilih sebagai calon suami dan akhlak amanah itu tetap dimilikinya selama hidup. Iman yang tegak lurus merupakan dasar amanah. Tanpa iman yang demikian, mustahil amanah dapat diamalkan dengan benar secara konsisten.
Di dalam IAMKS (13) telah dikemukakan bahwa calon suami harus mempunyai modal utama sebagai pelindung dan pemberi nafkah. Hamka di dalam Tafsir Al Azhar (hlm. 1195-1196) menjelaskan bahwa laki-laki sebagai pelindung hakikatnya adalah pemimpin atau dapat diibaratkan sebagai nakhoda kapal. Tanpa nakhoda, kapal tidak dapat berlayar menuju tujuan yang telah ditetapkan. Namun, di dalam IAMKS (13) itu belum diuraikan kewajiban laki-laki sebagai pemimpin.
Allah Subhanahu wa Taa’ala berfirman di dalam Al-Qur’an surat an-Nisa (4): 34
اَلرِّجَا لُ قَوَّا مُوْنَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَاۤ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَا لِهِمْ ۗ فَا لصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗ وَا لّٰتِيْ تَخَا فُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَا جِعِ وَا ضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِ نْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَا نَ عَلِيًّا كَبِيْرًا
"Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Oleh karena itu, perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Namun, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar."
Sebagai konsekuensi atas kedudukannya sebagai pemimpin, suami wajib mendidik istri (dan anak). Dia pun wajib mempertanggungjawabkan kepemimpinannya sebagaimana dijelaskan di dalam HR al-Bukhari
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya dan demikian juga seorang laki-laki adalah seorang pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”
Hal yang perlu kita ingat baik-baik adalah bahwa tanggung jawabnya itu tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Berkenaan dengan itu, agar kepemimpinannya efektif, dia tentu dituntut menjadi teladan rujukan di dalam keluarga. Hal itu wajib dipahami.dan diamalkan oleh suami.
Jelas kiranya bahwa laki-laki yang berakhlak amanah adalah laki-laki yang beriman. Hal itu dijelaskan di dalam Al-Qur’an surat al-Mukminun (23): 1 dan 8 bahwa memelihara janji dan amanat merupakan bagian dari tanda-tanda orang yang beriman.
Ayat (1)
قَدْ اَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ
"Sungguh beruntung orang-orang yang beriman,"
Ayat (8)
وَا لَّذِيْنَ هُمْ لِاَ مٰنٰتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَا عُوْنَ
"Dan (sungguh beruntung) orang yang memelihara amanah-amanah dan janjinya,"
Sementara itu, hubungan iman dan amanah dapat kita ketahui pula melalui hadis berikut.
HR Ahmad
لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ وَلاَ دِينَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ
“Tidak sempurna iman seseorang yang tidak amanah, dan tidak sempurna agama orang yang tidak menunaikan janji.”
HR Muslim
مَا خَطَبَنَا نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِلاَّ قَالَ: لاَ إِيْـمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَـةَ لَهُ، وَلاَ دِيْـنَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَـهُ
“Tidaklah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkhotbah kepada kami, melainkan beliau bersabda, “Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki (sifat) amanah, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janjinya.”
Tanpa iman yang tegak lurus, siapa pun dan sebagai apa pun mudah tergoda sehingga mengkhianati amanah. Banyak orang dipenjarakan, bahkan, dibunuh karena mengkhianati amanah. Akibatnya, penderitaan tidak hanya dialami sendiri, tetapi juga dirasakan oleh keluarganya. Sangat mungkin penderitaan itu berkepanjangan sampai pada anak cucu.
Hal yang sangat memprihatinkan adalah manakala orang yang mengkhianati amanah itu tidak menyadari kesalahannya. Dia malahan merasa difitnah. Kemudian, dia merekayasa narasi atau dibuatkan narasi oleh penasihat hukumnya demi pembenaran, bukan kebenaran. Perilaku yang demikian merupakan contoh akhlak yang buruk, baik orang yang mengkhianati maupun penasihat hukumnya.
Larangan Mengkhianati Amanah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an surat al-Anfal (8): 27
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَخُوْنُوا اللّٰهَ وَا لرَّسُوْلَ وَتَخُوْنُوْۤا اَمٰنٰتِكُمْ وَاَ نْـتُمْ تَعْلَمُوْنَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui."
Muslim yang tidak amanah berarti mempunyai sifat munafik sebagaimana dijelaskan di dalam HR Muslim. Dari Abdullah bin 'Amr radIyallahu 'anhu, dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda,
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا ، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
"Ada empat tanda: jika seseorang memiliki empat tanda ini, dia disebut munafik tulen. Jika dia memiliki salah satu tandanya, di dalam dirinya ada tanda kemunafikan sampai dia meninggalkan perilaku tersebut, yaitu (a) jika diberi amanat, khianat; (b) jika berbicara, dusta; (c) jika membuat perjanjian, tidak dipenuhi, dan (d) jika berselisih, dia akan berbuat zalim."
Allah Subhanu wa Ta’ala tidak meridai orang yang berkhianat sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an surat Yusuf (12): 52
ذٰلِكَ لِيَـعْلَمَ اَنِّيْ لَمْ اَخُنْهُ بِا لْغَيْبِ وَاَ نَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِيْ كَيْدَ الْخَـآئِنِيْنَ
"(Yusuf berkata), "Yang demikian itu agar dia (Al 'Aziz) mengetahui bahwa aku benar-benar tidak mengkhianatinya ketika dia tidak ada (di rumah), dan bahwa Allah tidak meridai tipu daya orang-orang yang berkhianat."
Betapa menderitanya orang yang tidak diridai Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dikatakan demikian karena sesungguhnya tujuan akhir semua amal yang kita kerjakan adalah untuk memperoleh rida-Nya. Rida-Nya itulah yang menjadi faktor penentu tercapainya keluarga sakinah; keluarga bahagia dan sejahtera di dunia dan akhirat.
Allahu a’lam