Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (6)

Publish

12 October 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
797
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (6)

Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Iyus Herdiana Saputra

Pada Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (IAMKS) (5) telah diuraikan tujuan hidup sebagai rujukan tujuan menikah. Secara garis besar, ada tiga tujuan hidup, yaitu (1)  memperoleh keridaan Allah, (2)  memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat, dan (3) menjadi rahmat bagi sesama manusia dan alam sekitarnya.

Telah diuraikan pada IAMKS (5) tersebut tujuan pertama menikah, yakni untuk memperoleh keridaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Berkenaan dengan itu, telah dikutip firman Allah Subhanu wa Ta‘ala di dalam Al-Qur‘an surat Ali ‘Imran (3): 15, yang berisi informasi bahwa keridaan-Nya merupakan puncak kebahagiaan pernikahan karena pasangan suami istri ditempatkan di surga.  Demikianlah puncak kebahagiaan hakiki sebagaimana dijelaskan di dalam surat at-Taubah (9): 72.  

Dengan memahami bahwa tujuan menikah adalah untuk mencapai keridaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sejak awal semua ucapan dan perilaku, baik keluarga laki-laki maupun keluarga perempuan harus sejalan dengan tujuan itu. Jika tidak, berarti ikhtiar menuju keluarga sakinah sudah bermasalah sejak awal. 

Jika hal itu tidak disadari dan tidak diikuti dengan ikhtiar untuk menyelesaikannya, masalah itu dapat berkembang. Namun, jika semua pihak berikhtiar bersama dengan rujukan Al-Qu‘an dan hadis, insyaallah masalah itu dapat diselesaikan dengan baik. Hal ini tidak berarti selesailah segala masalah. Sangat mungkin muncul masalah lain yang tidak kalah peliknya. Meskipun demikian,  keluarga yang sejak awal dibangun dengan tujuan mencapai keridaan Allah Subhanahu wa Ta‘ala pasti selalu dilindungi-Nya.

Keridaan Allah Subhanahu wa Ta‘ala dan Keridaan Orang Tua

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dijelaskan di dalam HR at-Tirmizi bersabda,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الْوَالِدِ وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ

“Dari Abdullah bin Amr radiallahu `anhuma dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, beliau bersabda: "Rida Allah terdapat pada rida orang tua, dan murka Allah juga terdapat pada murkanya orang tua."

Agar memperoleh keridaan orang tua, anak wajib berbakti kepadanya. Anak yang berbakti kepada orang tua, tanpa memohon doa pun pasti selalu didoakan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika terjadi suasana yang sangat mengharukan ketika anak saleh mohon keridaan dan didoakan orang tuanya menjelang akad nikah. Mengapa demikian? Orang tua mendoakan anaknya yang saleh itu betul-betul dengan penuh keridaan. 

Doa orang tua untuk anaknya yang demikian dijamin mustajab sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam HR Ibnu Majah,

" ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ يُسْتَجَابُ لَهُنَّ، لَا شَكَّ فِيهِنَّ: دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ لِوَلَدِهِ "

"Ada tiga doa yang mustajab, tidak ada keraguan akan hal itu; doa orang yang terzalimi, doa musafir, dan doa orang tua untuk (kebaikan) anaknya," (Hadis tersebut dihasankan oleh Syekh Al-Arnaut)

Anak saleh didoakan tidak hanya oleh orang tuanya, tetapi juga oleh saudara-saudaranya, bahkan, orang-orang saleh yang tidak mempunyai hubungan nasab. Ketika dia menikah, orang yang menangis karena bahagia pun tidak hanya orang tuanya.

Pada IAMKS (6) ini diuraikan tujuan kedua menikah, yakni memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. 

Memperoleh Kebahagiaan Dunia dan Akhirat

Allah Subhanahu wa Ta ‘ala berfirman di dalam Al-Qur'an surat al-Baqarah (2): 2001,

وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّقُوْلُ رَبَّنَاۤ اٰتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَّفِى الْاٰ خِرَةِ حَسَنَةً وَّ قِنَا عَذَا بَ النَّا رِ

"Dan di antara mereka ada yang berdoa, "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.""

Dengan merujuk pada ayat ke-15 surat Ali ‘Imran (3), yang telah dikutip pada IAMKS (5), kita ketahui bahwa puncak kebahagiaan menikah adalah dipertemukannya suami istri oleh Allah Subhanahu wa Ta‘ala di surga-Nya. Itulah kebahagiaan di akhirat bersifat yang kekal.

Dari sisi lain kita pahami bahwa setiap pasangan suami istri berharap memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Memang begitulah doa kita kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala sebagaimana terdapat di dalam Al-Qur‘an surat al-Baqarah (2): 2001 yang telah dikutip.

Sementara itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman di dalam Al-Qur'an surat al-Qasas (28): 77

وَا بْتَغِ فِيْمَاۤ اٰتٰٮكَ اللّٰهُ الدَّا رَ الْاٰ خِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَ حْسِنْ كَمَاۤ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْـفَسَا دَ فِى الْاَ رْضِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ

"Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan."

Jelas bagi kita bahwa perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada kita adalah mencapai kebahagiaan 

di dunia dan di akhirat. Di dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa agar harapan itu tercapai, kita wajib berbuat kebaikan dan tidak berbuat kerusakan.

Rumah tangga bagaikan kapal mengarungi samudra menuju pulau kebahagiaan, keselamatan, dan kesejahteraan dunia dan akhirat. Suami istri itu naik kapal menuju pulau tersebut melalui samudra yang tak sepi gelombang. Bahkan, badai! Ada juga karang. 

Ketika ada badai dahsyat menerjang kapal rumah tangga hingga kapal itu pun menabrak karang-kenyataan yang sama sekali berbeda atau bertentangan dengan impian dan rencana yang serbaindah, apakah suami istri saling menyalahkan, atau menyalahkan orang lain, atau malahan menyalahkan alam? Sementara itu, kapal bocor dan air pun mulai memenuhinya hingga kapal itu pun tenggelam?  

Persoalan kehidupan rumah tangga tak selamanya dapat diselesaikan dengan kecerdasan intelektual. Ketika suami tergeletak lunglai di tempat tidur karena terhimpit persoalan berat, apakah istri ikut tenggelam dalam kesedihan? Betapa indahnya jika istri di atas sajadah dengan tangan tengadah; dengan suara parau, ia menyebut Allah Subḥanahu wa Taʻala tak henti-henti. Memohonkan suami agar memperoleh pencerahan. Kemudian, dengan halusnya mencium kening suami sambil berbisik, 

“Sayang! Ada Allah! Allah Maha Tahu yang terbaik buat kita. Sabarlah, Sayang. Allah bersama orang-orang yang sabar.” 

Sebaliknya, jika istri sedang menghadapi ujian berat, suami berbuat yang sama, bahkan, lebih!

Mungkin suami istri pada waktu yang bersamaan dihadapkan pada kenyataan yang berbeda jauh dari impian, cita-cita, dan usaha. Bukankah keturunan adalah impian, cita-cita, dan usaha setiap pasangan suami istri? Namun, meskipun telah lebih dari lima tahun, bahkan, lebih dari itu, tak ada tanda-tanda akan memperolehnya. Beranikah calon pasangan suami istri membayangkan hal itu mungkin menimpa pada keluarganya?

Ada di antara pasangan suami istri yang rela menyediakan dana beratus-ratus juta rupiah. Ada yang menempuh jalan pintas; datang kepada orang pintar. Ada pula yang akhirnya menjadikannya sebagai alasan untuk bercerai atau berpoligami. Namun, ada yang memilih jalan mawas diri; lalu mohon pertolongan kepada Allah Subḥānahu wa Taʻala melalui amal saleh. Meningkatkan kekhusyukan salatnya. Menambah rajin tahajudnya. Menambah istigfarnya. Menambah rajin tadarusnya. Menambah sedekahnya.

Ada tokoh nasional yang bertahun-tahun menikah, tetapi belum diberi anak. Beliau dan istrinya pernah berkonsultasi dengan dokter ahli di Amerika. Apa anjuran dokter itu? Ganti pasangan! Mereka orang beriman bahwa Allah Mahakuasa, maka tidak dengan sertamerta melaksanakan anjuran itu. Mereka mohon kepada Allah Subḥanahu wa Taʻala di tanah suci. Subḥanallah! Doanya dikabulkan!

Nah, jalan mana yang ditempuh jika impian, cita-cita, dan usaha terwujud? Sekarang menikah dan bulan depan istri tak lagi kedatangan tamu rutin?Tetaplah berdoa dan berikhtiar untuk kebaikan keturunan. Hal itu harus dipahami benar oleh calon suami istri sejak awal.

Allahu a’lam

Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah, tinggal di Magelang Kota 

Iyus Herdiyana Saputra, dosen al-Islam dan Kemuhammadiyah, Universitas Muhammadiyah Purworejo


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Pentingnya Peran Ulama Menuntun Umaro sebagai Pengayom dan Pemakmur Umat Oleh: Rumini Zulfikar, Pen....

Suara Muhammadiyah

10 December 2024

Wawasan

Inklusi Sosial untuk Mewujudkan Masyarakat Berkemajuan Oleh: Saherman Saya berkesempatan untuk ter....

Suara Muhammadiyah

27 February 2024

Wawasan

Prestasi dalam Keluhuran Akhlaq Oleh: Yudha Kurniawan, Ketua Pimda 02 Tapak Suci Bantul   Bel....

Suara Muhammadiyah

14 July 2024

Wawasan

Pancasila dalam Pengamalan Oleh: Immawan Wahyudi, Dosen FH UAD Meskipun kontroversial, peringatan ....

Suara Muhammadiyah

9 June 2024

Wawasan

Kemudahan dan Kesempurnaan Agama Islam Oleh: Drs. Seneng Waluyo, M.H.I.,MM., Warga Muhammadiyah tin....

Suara Muhammadiyah

19 December 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah