Insan Rabbani Episentrum Perubahan Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Oleh: Agusliadi Massere
Saya, satu di antara ratusan juta anak negeri, memiliki impian agar kelak Indonesia jauh lebih baik ketimbang kondisi hari ini. Di dalam benak ini, dan saya yakin di antara sahabat pembaca pun memiliki perasaan yang paradoks dengan impian-impian tersebut. Ada banyak pijar-pijar pesimisme yang hadir dalam ruang psikologis yang merupakan representasi dari kenyataan yang terjadi dari ruang sosial-empirik, dan itu harus bertarung dengan impian saya, dan impian kita semua.
Sejujurnya Indonesia, jika mengikuti cara pandang John Gardner, Soekarno, dan Prof. Haedar Nashir, telah memiliki modal dahsyat untuk menjadi bangsa dan negara yang besar dan berdaulat dalam pergulatan geopolitik dunia, ekonomi, dan berbagai dimensi kehidupan lainnya. Saya, dan mungkin kita semua memiliki perasaan yang sama, bahwa Indonesia masih sering berada di ujung telunjuk bangsa dan negara lain. Kedaulatan terutama dalam bidang politik dan ekonomi masih jauh dari impian kita dan para founding fathers. Hal ini bisa terkonfirmasi minimal pada, bagaimana sumber daya alam dikelola, seberapa besar hasil yang dirasakan dan dinikmati oleh rakyat.
Selain itu, hal tersebut bisa terkonfirmasi pula, apakah demokrasi kita betul-betul menjadikan demos (rakyat) sebagai starting point sekaligus ending point dalam setiap perumusan kebijakan dan program oleh elit bangsa kita hari ini. Mencermati iklim demokrasi hari ini, termasuk jika membaca buku Demokrasi tanpa Demos (2021), sebagai refleksi seratus ilmuan sosial-politik dalam melihat bagaimana demokrasi di Indonesia, di dalamnya kita akan menemukan satu kata “kemunduran”, yang bisa dipandang sebagai salah satu kesimpulan.
Sama halnya ketika kita membaca buku Memperadabkan Bangsa: Paradigma Pancasila untuk Membangun Indonesia (2022), salah satu spirit dirumuskan dan disusunnya buku tersebut oleh tim yang tergabung dalam lembaga yang memiliki otoritas—ada Forum Rektor Indonesia (FRI), Media Kompas, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Yayasan Suluh Nusantara Bakti (YSNB), dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI)—adalah masih ditemukan suatu kondisi yang problematis dan paradoks dengan modal yang dimiliki, dan harus segera diperbaiki. Sesuatu yang sejatinya menjadi ruh—yaitu Pancasila—belum sepenuhnya menjadi paradigma dalam membangun Indonesia.
Ketika Indonesia sebagai bangsa dan negara diandaikan seperangkat sistem komputerisasi, yang membutuhkan tiga perangkat utama: hardware (perangkat keras), software (perangkat lunak), dan brainware (aspek manusianya), maka perangkat pertama dan kedua sudah cukup memadai bahkan lebih dari itu. Sepertinya,—untuk tidak memastikan karena saya bukan seorang pakar yang memiliki otoritas keilmuan untuk menilai sesuatu—yang bermasalah ada pada aspek manusianya, brainware.
Persoalan terbesarnya masih ada pada aspek manusianya. Dan memang, menurut Ali Shariati, “…manusia sesungguhnya merupakan masalah yang paling rumit di alam semesta; oleh karena itu ia memerlukan pencurahan perhatian yang besar”. Saya sering bercanda, ketika ada yang mengusulkan agar pemilu dan pemilihan ke depannya pakai e-voting, bahwa Indonesia belum tepat diterapkan hal tersebut, karena masih sering bermasalah pada aspek manusianya, tepatnya pada aspek kejujuran yang menjadi bagian integral secara psikologis bagi manusia.
Membaca buku Ahmad Fuad Fanani, Reimagining Muhammadiyah: Islam Berkemajuan dalam Pemikiran dan Gerakan (2018), pada bagian Kata Pengantar yang ditulis oleh M. Din Syamsuddin (xvii-xxxv), saya mendapatkan cahaya pencerahan—meskipun hanya beberapa halaman—seperti apa dan bagaimana yang dimaksud insan Rabbani. Untuk memperkuat perspektif dan mengelaborasinya menjadi judul dan tulisan ini, saya pun membaca buku Tugas Cendekiawan Muslim karya Ali Shariati, yang diterjemahkan oleh M. Amin Rais (1996), buku Manusia Sempurna karya Murtadha Muthahari (2011), dan buku Indonesian Dream (Elwin Tobing: 2018).
Indonesia adalah bangsa dan negara yang memiliki penduduk yang cukup banyak. Jika tidak salah mengingat data statistik demografi dunia, penduduk Indonesia hanya kalah banyak dari negara Amerika Serikat, India, dan Cina. Manusia yang diharapkan untuk bisa menjadi modal dan solusi atas berbagai problematika kehidupan, secara kuantitas sudah cukup, tetapi yang menjadi persoalan utama adalah kualitasnya.
Elwin Tobing, dalam buku karyanya yang luar biasa menegaskan tiga modal utama untuk mewujudkan “Indonesian Dream”. Dari ketiga modal yang disebutkan Tobing, yang pertama adalah “Modal spiritual”. Esensi modal spiritual yang saya pahami dari Tobing, adalah—secara sederhana—“…kepatuhan tersebut seharusnya ditempatkan dalam konteks hubungan, yakni hubungan manusia dengan Penciptanya, serta hubungan manusia dengan sesamanya”. Modal spiritualitas adalah berbicara terkait kualitas
Ada pula penegasan Dr. Asep Zaenal Ausop, M.Ag, yang menarik untuk dipahami bahwa ada empat kosakata di dalam al-Qur’an yang mengarah pada makna manusia yakni, Bani Adam, al-basyar, al-insan, dan an-nas. Bani Adam berarti manusia sebagai anak cucu Adam. Al-basyar, dimaknai manusia sebagai makhluk biologis sehingga sekadar berada (being). Al-insan atau insane berarti manusia yang dihubungkan dengan dimensi psikologis dan spiritualitasnya, seperti berpikir, diberi ilmu, dan memikul amanah. Sedangkan an-nas, sebagai bentuk jamak insan, dalam makna sebagai makhluk sosial-kolegial.
Relevan dengan pandangan Tobing maupun Ausop di atas, maka tepatlah ketika saya memilih insan Rabbani sebagai episentrum perubahan, tanpa kecuali dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di mana, secara mendalam terkait insan Rabbani, saya menemukan dan memahaminya dari Din Syamsuddin, dan Shariati.
Saya memahami dari Din Syamsuddin, insan Rabbani harus mampu menginternalisasi (menyerap) sekaligus mengeksternalisasi (mengaplikasikan) pandangan keislaman yang berkemajuan, di mana ini dimaknai sebagai resultan dari interaksi antara hablum minallah dan hablum minannas, yang seyogianya—sebagaimana penegasan Din Syamsuddin—“membuahkan spiritualitas positif, dinamis, dan konstruktif”. Pemahaman dan implementasi ini, akan semakin memperkokoh dan memiliki daya cengkeram yang kuat, dari apa yang menjadi harapan dan tesis Tobing di atas—terkait modal spiritual.
Spiritualitas yang dimiliki oleh insan Rabbani, sebagaimana penegasan Din Syamsuddin, mampu mewujudkan “Etos-etos keilmuan, kedisiplinan, penghargaan terhadap waktu, kejujuran, kebersamaan, dan daya saing”. Dan ini, bagi Din Syamsuddin, merupakan nilai-nilai keutamaan untuk kemajuan peradaban. Bahkan, bagi saya—berdasarkan yang saya pahami dari teori radiasi budaya Arnold Toynbee—terkait empat lapisan budaya yang menentukan bertahan/runtuh, dan/atau maju/tidaknya sebuah peradaban, itu sama dari etos-etos yang disebutkan oleh Din, sebagai buah dari spiritualitas yang dimiliki oleh insan Rabbani. Meskipun, pada kesempatan ini, saya tidak bisa mengulas panjang lebar terkait teori radiasi budaya Arnold Toynbee.
Berdasarkan preseden historis yang bisa ditemukan dan dibaca, sosok utama yang bisa menjadi sumber inspirasi yang dimaknai sebagai insan Rabbani, dengan spiritualitas positif, dinamis, dan konstruktif adalah Rasulullah Muhammad Saw. Manusia-manusia Indonesia pun, tentunya bisa menjadi insan Rabbani, dengan spiritualitasnya yang positif, dinamis, dan konstuktif.
Menurut Shariati, manusia yang dimaknai insan, tentunya bukan sekadar ada dan berada (being), tetapi mereka pun mengada dan/atau menjadi (becoming). Yang utama, kita pun harus memahami bahwa sosok insan itu, mampu memaknai dan memberikan makna terhadap hidup dan kehidupan yang dijalaninya.
Sosok insan Rabbani pun mamu memahami, dan mewujudkan dalam kehidupan tiga pilar peradaban dalam perspektif Islam: tauhid, khilafah, dan islah. Ada banyak makna derivatif dari tauhid, tetapi dalam konteks tulisan ini, yang dibutuhkan adalah kesadaran unity of creation, (kesadaran sebagai satu kesatuan penciptaan). Ini penting karena dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seringkali persoalan utama yang sangat dirasakan adalah ketidakadilan, hal-hal menodai persatuan, dan termasuk dimensi kemanusiaan yang tidak adil dan tidak beradab, ini bisa dipicu oleh hilangnya kesadaran unity of creation.
Khilafah, tidak boleh dimaknai semata-mata dalam konteks atau perspektif politis, atau politik kekuasaan yang sempit, tetapi yang utama adalah kesadaran bahwa kita diutus sebagai wakil Allah dengan membawa misi suci kemanusiaan. Sedangkan islah, makna utamanya melakukan pembangunan peradaban, dan perbaikan jika peradaban itu mengalami kerusakan.
Yang menjadi pertanyaan, apakah manusia Indonesia mampu menjadi insan Rabbani? Siapapun kita selama berwujud manusia, pada dasarnya telah memiliki seperangkat potensi yang built-in sejak kelahiran kita, sebagai satu paket penciptaan, untuk menjadi sosok insan. Bahkan di dunia pun, setelah kelahiran manusia, dilengkapi pedoman berupa kitab, dan berbagai hal yang bisa diistilahkan saja sebagai “instrument”, yang akan menunjang proses untuk menjadi insan.
Yang menjadi modal utama adalah apakah kita mau dan bersungguh-sungguh menjalani kehidupan untuk mencapai posisi insan tersebut. Tidak hanya sekadar sebagai manusia al-basyar yang hanya menonjolkan dimensi biologis.
Dengan menjadi insan Rabbani, kita akan senantiasa melakukan perubahan menuju peradaban yang lebih baik. Kita akan membangun kolaborasi tanpa syarat demi mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Kita akan menata bangsa dan negara dalam bingkai yang penuh keadaban, untuk meretas berbagai problematika, penyelewenangan, pelanggaran, dan kesewenang-wenangan.
Sampai pada titik ini, saya pun menyadari bahwa sungguh ruang ini, tidak cukup untuk mengurai secara detail sesuai dengan substansi judul di atas yang menjadi harapan mulia, sebagai setetes kebaikan dan inspirasi bagi bangsa dan negara ini, Indonesia.
Agusliadi Massere, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PD. Muhammadiyah Bantaeng