Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Setelah hijrah ke Madinah dan membangun komunitas Muslim yang kuat, Nabi Muhammad SAW memutuskan untuk kembali ke Makkah, kota kelahirannya, dengan tujuan melaksanakan umrah (haji kecil) pada tahun keenam Hijriah. Namun, perjalanan damai ini terhalang oleh kaum Quraisy yang masih memendam permusuhan terhadap Nabi dan umat Islam. Mereka menghentikan rombongan Nabi di Hudaibiyah, sebuah tempat di luar Makkah. Untuk menghindari pertumpahan darah, Nabi Muhammad SAW memilih jalan diplomasi. Negosiasi panjang dan alot pun terjadi antara kedua belah pihak, yang akhirnya menghasilkan Perjanjian Hudaibiyah.
Perjanjian Hudaibiyah bukanlah sekadar gencatan senjata. Meskipun beberapa poinnya tampak merugikan umat Islam pada awalnya, perjanjian ini memiliki dampak jangka panjang yang sangat positif bagi perkembangan Islam. Perjanjian ini membuka pintu bagi dakwah Islam yang lebih luas dan mempersiapkan jalan bagi penaklukan Makkah secara damai dua tahun kemudian. Perjanjian Hudaibiyah adalah bukti nyata akan kebijaksanaan dan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dalam menghadapi situasi sulit, serta kesediaan beliau untuk mengutamakan perdamaian dan kepentingan umat.
Perjanjian Hudaibiyah memang menjadi batu loncatan penting menuju peristiwa bersejarah yang dikenal sebagai pembukaan kota Makkah. Namun, sebelum membahas lebih jauh tentang pembukaan-pembukaan kota Makkah, mari kita telusuri lebih dalam makna dan implikasi dari perjanjian ini.
Pada pandangan pertama, Perjanjian Hudaibiyah terlihat tidak adil bagi umat Islam. Mereka dilarang memasuki Makkah untuk beribadah, sebuah tindakan yang bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama yang kita kenal sekarang. Para sahabat Nabi pun merasa kecewa dan tidak terima dengan perjanjian ini. Namun, Nabi Muhammad SAW, dengan kebijaksanaan dan pandangan jauh ke depan, memilih untuk menerima perjanjian tersebut. Beliau mengutamakan perdamaian dan menghindari pertumpahan darah, meskipun harus menghadapi ketidakpuasan dari sebagian pengikutnya. Meskipun tampak merugikan di permukaan, Perjanjian Hudaibiyah ternyata memiliki dampak positif yang signifikan bagi umat Islam. Ini membuka peluang bagi dakwah Islam yang lebih luas, membangun kepercayaan dengan suku-suku lain, dan melemahkan posisi kaum Quraisy di Makkah.
Dengan kesabaran dan strategi yang tepat, Nabi Muhammad SAW berhasil mengubah situasi yang tampaknya tidak menguntungkan menjadi kemenangan besar bagi umat Islam. Perjanjian Hudaibiyah menjadi bukti nyata akan kepemimpinan visioner beliau dan menjadi langkah penting menuju pembukaan kota Makkah yang gemilang. Meskipun umat Islam merasa keberatan dengan isi Perjanjian Hudaibiyah, Nabi Muhammad SAW bahkan menerima klausul-klausul yang tampaknya semakin merugikan mereka. Ini adalah keputusan yang sulit diterima, terutama bagi para sahabat yang ingin membela kehormatan mereka.
Namun, sikap Nabi Muhammad SAW ini menunjukkan kebesaran jiwa dan kepemimpinan yang bijaksana. Beliau mengutamakan perdamaian dan menghindari konflik, meskipun harus menghadapi ketidakpuasan dari para pengikutnya. Salah satu klausul yang paling kontroversial adalah ketentuan bahwa umat Islam yang ingin kembali ke Makkah akan diizinkan, tetapi orang Mekah yang ingin bergabung dengan Nabi Muhammad SAW tidak akan diizinkan. Ini seperti katup satu arah yang hanya menguntungkan satu pihak. Ketentuan-ketentuan seperti ini membuat umat Islam sulit melihat manfaat dari perjanjian tersebut. Mereka merasa seolah-olah Nabi telah mengalah terlalu banyak kepada musuh. Namun, Nabi Muhammad SAW memiliki visi yang lebih jauh ke depan.
Perjanjian Hudaibiyah, meskipun tampak tidak adil, memberikan kesempatan bagi umat Islam untuk berdakwah secara lebih terbuka dan membangun hubungan dengan suku-suku lain. Ini juga melemahkan posisi kaum Quraisy di Makkah, membuka jalan bagi penaklukan Makkah secara damai di masa depan. Nabi Muhammad SAW mengajarkan kita bahwa terkadang, pengorbanan jangka pendek diperlukan untuk mencapai tujuan jangka panjang yang lebih besar. Beliau menunjukkan bahwa perdamaian dan stabilitas adalah hal yang sangat berharga, bahkan jika harus mengesampingkan ego dan keinginan pribadi. Meskipun umat Islam merasa keberatan dengan isi Perjanjian Hudaibiyah, Nabi Muhammad SAW bahkan menerima klausul-klausul yang tampaknya semakin merugikan mereka.
Ini adalah keputusan yang sulit diterima, terutama bagi para sahabat yang ingin membela kehormatan mereka. Namun, sikap Nabi Muhammad SAW ini menunjukkan kebesaran jiwa dan kepemimpinan yang bijaksana. Beliau mengutamakan perdamaian dan menghindari konflik, meskipun harus menghadapi ketidakpuasan dari para pengikutnya. Setelah Perjanjian Hudaibiyah, umat Islam telah membuktikan diri sebagai kekuatan yang patut diperhitungkan. Namun, Nabi Muhammad SAW tidak memilih untuk memamerkan kekuatan militer, melainkan menunjukkan niat damai dengan melaksanakan umrah dan mengadakan perjanjian tersebut. Strategi ini terbukti efektif dalam menyebarkan pesan Islam ke seluruh dunia. Dalam situasi damai, orang-orang lebih terbuka untuk menerima gagasan baru dan berinteraksi dengan orang lain.
Mereka memiliki kesempatan untuk merenungkan ajaran Islam dan memutuskan apakah mereka ingin memeluknya. Perjanjian Hudaibiyah memberikan ruang bagi umat Islam untuk berdakwah secara lebih leluasa. Hasilnya, dalam waktu singkat, jumlah pengikut Nabi Muhammad SAW meningkat pesat. Dari 1.400 orang saat perjalanan ke Hudaibiyah, menjadi 10.000 orang saat pembukaan Mekah. Ini menunjukkan betapa efektifnya dakwah damai dalam menarik hati orang-orang non-Muslim. Kisah ini mengajarkan kita bahwa perdamaian dan dialog adalah kunci untuk menyebarkan pesan kebaikan. Kekerasan dan paksaan hanya akan menimbulkan perlawanan dan menutup pintu hati.
Dengan pendekatan yang bijaksana dan penuh kasih sayang, kita dapat menjangkau lebih banyak orang dan mengajak mereka mengenal keindahan Islam. Surah Al-Fath (Kemenangan), surah ke-48 dalam Al-Quran, diturunkan berkaitan dengan Perjanjian Hudaibiyah. Surah ini dimulai dengan pernyataan, "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata." Meskipun pada saat itu perjanjian tersebut mungkin tampak tidak menguntungkan bagi umat Islam, surah ini menegaskan bahwa kemenangan sejati telah diraih. Kemenangan ini merujuk pada pembukaan Mekah yang akan datang, di mana umat Islam akhirnya bisa kembali ke tanah suci mereka dan beribadah dengan bebas. Perjanjian Hudaibiyah memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya mengutamakan perdamaian, bahkan ketika situasinya tampak tidak adil.
Nabi Muhammad SAW menunjukkan bahwa kesabaran, kebijaksanaan, dan diplomasi dapat menghasilkan hasil yang lebih baik daripada kekerasan dan konfrontasi. Dalam kehidupan modern, kita juga bisa belajar dari sikap Nabi Muhammad SAW. Ketika menghadapi konflik atau ketidakadilan, kita tidak harus selalu memilih jalan kekerasan atau perlawanan frontal. Terkadang, menerima kompromi atau mengambil langkah mundur bisa menjadi strategi yang lebih efektif dalam mencapai tujuan jangka panjang. Selain itu, kita juga perlu memahami bahwa kemenangan sejati tidak selalu terlihat jelas di awal. Seperti dalam Perjanjian Hudaibiyah, apa yang tampak sebagai kerugian pada awalnya bisa menjadi jalan menuju kesuksesan yang lebih besar di masa depan. Mari kita teladani sikap Nabi Muhammad SAW dalam menghadapi tantangan.
Dengan mengutamakan perdamaian, kesabaran, dan kebijaksanaan, kita dapat mengatasi berbagai kesulitan dan mencapai tujuan kita dengan cara yang lebih baik. Pada intinya, tujuan utama seorang Muslim adalah membangun perdamaian. Namun, jalan menuju perdamaian tidak selalu mudah. Terkadang, kita harus bersedia berkompromi dan menelan pil pahit demi mencapai tujuan yang lebih besar. Seperti Nabi Muhammad SAW yang menerima Perjanjian Hudaibiyah meskipun tampak merugikan, kita juga harus siap menghadapi situasi sulit demi kebaikan bersama.
Pengorbanan dan kesabaran adalah kunci untuk mencapai perdamaian yang langgeng. Islam adalah agama yang mengajarkan perdamaian dan keadilan. Ketika perdamaian tercipta dan keadilan ditegakkan, itulah wujud nyata dari ajaran Islam. Al-Quran sendiri menyatakan bahwa Allah mengutus para nabi untuk menegakkan keadilan di antara manusia. Sebagai umat Nabi Muhammad SAW, kita memiliki tanggung jawab untuk meneruskan misi beliau dalam mewujudkan perdamaian dan keadilan di dunia. Kita harus berani mengambil langkah-langkah konkret, meskipun sulit, untuk menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan berkeadilan.