YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Jaminan atas independensi seorang hakim Mahkamah Konstitusi (MK) semakin dipertanyakan, semenjak adanya rekam jejak 14 hakim yang melakukan pelanggaran sejak 2010 hingga 2023. Sejumlah putusan penting yang diambil dapat mempengaruhi kinerja para hakim, jika putusan tersebut dilatarbelakangi oleh dinamika politik serta tekanan dari berbagai pihak.
Hal itupun disorot oleh Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Prof. Iwan Satriawan, MCL., Ph.D.. Ia juga mengusulkan adanya rekonstruksi dalam sistem penyeleksian dan pemilihan hakim MK. Untuk dapat membantu mengatasi konflik kepentingan serta menjaga independensi dari para hakim MK.
Gagasan ini dikemukakan oleh Iwan saat menyampaikan Orasi Ilmiah pada Sabtu (3/8) yang merupakan prosesi dalam mengukuhkan gelarnya sebagai Guru Besar UMY di bidang Ilmu Hukum Tata Negara. Ia menyampaikan bahwa model sistem seleksi hakim MK yang ia rekomendasikan lebih mengedepankan transparansi dan akuntabilitas, sehingga dapat menjamin independensi hakim konstitusi selama masa jabatannya. Ia mengusulkan setidaknya lima model sistem yang dapat diadopsi oleh Presiden dan DPR dalam menyeleksi calon hakim MK.
“Salah satu model sistem yang saya usulkan adalah Open Centralistic Model, dimana semua kandidat calon hakim MK harus melalui tahap uji kelayakan dan kepatutan yang hanya akan dilakukan oleh DPR sebagai lembaga legislatif. Setelah hasil uji diterima oleh 3 lembaga pengusul, mereka dapat mengajukan masing-masing 3 nama kandidat kepada Presiden untuk diangkat sebagai hakim MK melalui keputusan presiden,” jelas Iwan.
Keunggulan dari model ini, menurut Iwan adalah semua kandidat akan melalui proses uji secara terpusat oleh DPR dan harus terbuka untuk umum, sehingga terdapat partisipasi publik untuk mengetahui informasi dan rekam jejak serta kualitas dari para kandidat calon hakim MK. Partisipasi publik dianggap penting oleh Iwan untuk membuat semangat demokrasi serta proses saling kontrol untuk menjaga keseimbangan terlihat jelas dan transparan. Ia juga menegaskan bahwa prosedur dengar pendapat ini dapat memastikan integritas dan kapasitas dari para kandidat.
Iwan yang juga merupakan Dekan Fakultas Hukum UMY ini pun mengusulkan agar ada pembatasan terhadap caloh hakim MK yang berasal dari kalangan politisi, serta memperkuat orientasi profesi sekaligus menyosialisasikan kode etik hakim MK. Ini dilakukan untuk meminimalisir pelanggaran etik bahkan pelanggaran pidana, dimana sebagian besar hakim MK yang terlibat dalam pelanggaran-pelanggaran tersebut adalah hakim MK non-karir.
“Penelitian yang saya lakukan menemukan bahwa pengaturan kode etik itu sudah cukup, namun penegasan hukumnya masih belum maksimal. Salah satu penyebabnya adalah pengawasan hakim MK hanya dilakukan secara internal sehingga ranah hukumnya sangat terbatas. Permasalahan kita adalah memberikan keleluasaan yang banyak kepada hakim MK tanpa pengawasan yang ketat, dimana semakin besar kekuasaan seharusnya semakin dibatasi,” imbuhnya.
Di akhir orasinya, Iwan mengingatkan bahwa pembangunan institusi peradilan yang independen tetap memerlukan komitmen dari 3 pihak yaitu para hakim MK, pimpinan lembaga negara seperti Presiden dan DPR, serta kesadaran masyarakat sipil dalam mengawasi kinerja hakim MK agar sesuai dengan kedudukannya sebagai pengawal konstitusi. Hakim MK perlu memiliki sikap negarawan yang tunduk kepada prinsip-prinsip konstitusi serta menjunjung tinggi independensi dari lembaga peradilan. (ID)