BATU, Suara Muhammadiyah - Bicara soal kondisi sekarang, kehidupan tengah dihadapkan pada tujuan dan iklim sosial yang berubah. Terlebih, persoalan umat yang krusial meniscayakan tantangan yang tidak mudah dilalui. Sebut saja, masalah ekonomi seperti pengangguran dan kehilangan mata pencaharian.
"Masih banyak orang susah karena tidak mendapatkan pekerjaan. Inilah tantangan baru yang harus kita jawab," kata Tafsir, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah, Sabtu (25/10) saat Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Kusuma Agrowisata Resort & Convention Batu-Malang, Jawa Timur.
Kondisi ini yang semestinya menjadi perhatian serius bagi Muhammadiyah. Menurut Tafsir, pergerakan ekonomi di Muhammadiyah masih belum merata dampak kemaslahatannya dirasakan oleh warga Persyarikatan.
"Banyak manfaat ekonomi justru dinikmati oleh pihak lain di luar persyarikatan kita. Misalnya, kebutuhan alat kesehatan dan obat-obatan sering kita beli dari luar; suplai dan manufaktur yang mestinya bisa dikelola oleh jaringan kita belum dilakukan secara optimal," paparnya.
Tafsir menyebut, kondisi ini menunjukkan bahwa konsolidasi di tubuh Persyarikatan belum berjalan dengan baik. Khususnya, di sektor perekonomian. "Karena itu, saya menegaskan perlunya gerakan ekonomi yang lebih berani: jangan hanya menjadi konsumen besar, tetapi jadilah produsen dan pengelola pasar," tegasnya.
Dalam praktiknya hari ini, terlebih dikontekstualisasikan dengan pengelolaan keuangan masjid dan lembaga keagamaan, tidak terstruktur sebagaimana mestinya. Kotak amal dan dana masjid seringkali dipandang sempit: uang masjid tidak boleh digunakan untuk beasiswa atau bantuan sosial—padahal seharusnya ada mekanisme yang jelas untuk membagi dana sesuai peruntukan.
"Perlu upaya sistematis agar masjid dan lembaga Islam dapat mengelola dana dan program sosial secara profesional tanpa merusak fungsi ibadahnya. Jangan biarkan masjid menjadi beban administrasi yang kacau; harus ada tata kelola yang baik," urainya.
Karenanya, strategi asistensi sosial perlu diejawantahkan. Hal ini untuk memperkuat mekanisme saling bantu, melindungi anggota dan masyarakat yang lemah. Lebih-lebih, dalam memberikan kesejahteraan bagi umat dan masyarakat luas, lewat koridor ekonomi.
"Jadi prioritas kita harus beralih ke penciptaan lapangan kerja, pemberdayaan ekonomi, dan pengembangan keterampilan serta kesempatan usaha," terangnya.
Muhammadiyah harus hadir sebagai penolong umat secara kontekstual—menjawab persoalan utama zaman ini, terutama lapangan kerja dan pemberdayaan ekonomi. Kita perlu menyusun langkah-langkah strategis: kaderisasi yang kuat, industrialisasi atau pemberdayaan ekonomi, dan sistem asistensi sosial yang melindungi mereka yang lemah.
"Muhammadiyah tidak hanya menjadi organisasi amal, tetapi juga penggerak perubahan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan," tukasnya. (Cris)


