JAKARTA, Suara Muhammadiyah - Tak hanya menyuarakan isu akidah dan ibadah, para ustadz dan ustadzah alumni Shabran dari wilayah Sumatera Barat dan Jawa Barat kini diharapkan turut menggaungkan isu transisi energi berkeadilan sebagai bagian dari dakwah. Dalam sebuah kajian yang digelar secara daring pada Minggu, 26 Mei 2025 oleh Mosaic, GreenFaith Indonesia, dan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, para peserta diajak memahami bahwa isu energi bukan hanya urusan teknis dan ekonomi, tapi juga menyangkut keadilan sosial, lingkungan, dan generasi mendatang.
Ustadz Niki Alma Febriana Fauzi dari Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menekankan bahwa transisi energi tidak bisa hanya dimaknai sebagai peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan.
“Seringkali kita abai pada prosesnya. Padahal transisi yang adil menuntut pelibatan masyarakat secara penuh, termasuk musyawarah dengan komunitas adat,” ujar Ustadz Niki. Ia juga menjelaskan bahwa fikih transisi energi ini mencakup keadilan gender, sosial, ekonomi, dan lingkungan secara menyeluruh, serta ditujukan hingga ke tingkat individu.
Elok F. Mutia selaku Project Lead program Sedekah Energi dari Mosaic menyoroti pentingnya pendekatan inklusif dan partisipatif dalam proses transisi energi.
“Selama ini masyarakat hanya dianggap sebagai penerima manfaat, padahal justru merekalah aktor utama. Fikih ini mengajarkan bahwa transisi energi adalah proses yang harus melibatkan masyarakat dari awal,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa para ustadz dan ustadzah memegang peran strategis karena menurut banyak riset, mereka lebih dipercaya oleh masyarakat ketimbang institusi lain dalam menyampaikan pesan-pesan lingkungan.
Sementara itu, Parid Ridwanuddin dari GreenFaith Indonesia menjelaskan bahwa buku Fikih Transisi Energi yang Berkeadilan merupakan hasil dari diskusi panjang antara GreenFaith, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, serta Mosaic. “Buku ini adalah upaya ikhtiar membangun pengetahuan yang kokoh tentang transisi energi yang berkeadilan,” ujar Parid.
Ia menekankan pentingnya masyarakat setempat diajak mengenali dan memetakan sumber-sumber energi melimpah di sekitar mereka. “Kita tinggal di Indonesia, negeri yang kaya akan sumber daya alam—matahari yang bersinar sepanjang tahun, lebih dari 700 danau, hingga potensi arus laut karena dikelilingi oleh lautan. Semua ini bisa menjadi kekuatan besar, tetapi pemanfaatannya sangat bergantung pada political will pemerintah,” tambahnya.
Dalam diskusi tersebut, juga membahas bagaimana fikih transisi energi yang berkeadilan ini dapat diimplementasikan di berbagai level: dari skala global hingga individu. Menurut Ustadz Niki, yang harus dibangun pertama kali adalah bagaimana merubah paradigma, bahwa produksi energi diubah sebagai pemenuhan kebutuhan energi masyarakat, bukan untuk mencari keuntungan semata.
“Sebagai ormas keagamaan, Muhammadiyah maupun ormas keagamaan lainnya perlu menjadi mediator, atau kelompok yang mengkampanyekan kepada publik soal pentingnya transisi energi, memberikan advokasi, pendidikan informal, mendukung solusi energi terbarukan, termasuk melalui pembiayaan melalui sedekah, infaq, dan shadaqah,” ujar Ustadz Niki, yang juga sebagai tim penyusun buku Fikih Transisi Energi yang Berkeadilan ini.
Sementara di tingkat individu, lanjutnya, penerapan sederhana seperti penggunaan lampu LED dan penghematan penggunaan energi listri dalam keseharian, bisa menjadi bentuk nyata kontribusi terhadap keadilan iklim.
Ustadz Niki Alma mengutip artikel The Voice of the Ulama yang kemudian diperkuat dengan hasil riset Purpose, yang menunjukkan bahwa pemuka agama masih menjadi pihak paling dipercaya atau trusted messanger dalam menyuarakan isu-isu penting. “Mari kita manfaatkan kepercayaan ini untuk mendakwahkan isu lingkungan. Lingkungan bukan urusan jauh, tapi sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari dan bahkan bagian dari ibadah,” pungkasnya. (farah/diko)