SURAKARTA, Suara Muhammadiyah - Kekerasan terhadap perempuan dan kelompok rentan masih menjadi persoalan serius tidak hanya di ranah domestik, tetapi juga di ruang publik dan ruang digital.
Penegasan tersebut disampaikan dalam Kampanye Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP), Peringatan Hari Disabilitas Internasional, dan Peringatan Hari Ibu yang digelar Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (PWA) Jawa Tengah bekerja sama dengan Program INKLUSI ‘Aisyiyah.
Kegiatan yang digelar di Loji Gandrung, Surakarta, Ahad (21/12) ini mengusung tema “Dari Rumah ke Ruang Publik: Membangun Budaya Tanpa Kekerasan dan Rasa Aman bagi Semua.”
Ketua LBH Majelis Hukum dan HAM PWA Jawa Tengah, Siti Kasiyati, menegaskan bahwa kehadiran ‘Aisyiyah melalui LBH merupakan bentuk nyata perlindungan bagi kelompok rentan, dengan layanan yang terpadu dan mudah diakses masyarakat.
“Sebagai bentuk perhatian kami kepada masyarakat khususnya perempuan, anak, dan disabilitas agar terhindar dari kekerasaan sehingga kami memberikan layanan kepada masyarakat di seluruh Jawa Tengah, bahkan di Indonesia untuk adanya layanan yang terpadu perlindungan perempuan dan anak.”
Menurutnya Majelis Hukum dan HAM ‘Aisyiyah melalui Lembaga Bantuan Hukum yang tersebar di seluruh Indonesia memberikan pelayanan terpadu dalam pendampingan hukum baik dalam bidang spiritual, psikologi, konsultan hukum hingga layanan kesehatan.
"Ini bentuk nyata kehadiran 'Aisyiyah di tengah-tengah masyarakat, termasuk di kota Surakarta,” ujar Kasiyati.
Kasiyati menyebut, upaya pelayanan hukum yang dilakukan oleh ‘Aisyiyah ini terus diperkuat salah satunya dengan melatih paralegal-paralegal agar semakin berkompeten dalam mendampingi masyarakat dan memperluas proses akreditasi layanan hukum bagi perempuan dan anak.
Sekretaris Umum PP ‘Aisyiyah sekaligus Koordinator Program INKLUSI ‘Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah mengingatkan, meskipun terdapat penurunan angka, kekerasan terhadap perempuan masih berada pada level yang mengkhawatirkan, terutama kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan berbasis digital.
“Angka kekerasan pada perempuan meskipun menurun tetapi masih cukup tinggi terutama kekerasan dalam rumah tangga," ujar Tri. Hal ini miris mengingat Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. "Artinya sudah 21 tahun kita sudah punya UU PKDRT tetapi kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga juga masih tinggi."
Selain itu, Tri juga menyebut bahwa di era digital saat ini, kekerasan berbasis digital seperti kekerasan berbasis gender online juga semakin tinggi.
Menurutnya, tantangan penanganan kekerasan berbasis gender online menjadi pekerjaan rumah besar bagi semua pihak, sekaligus menegaskan bahwa kekerasan bisa terjadi di mana saja—dari rumah, tempat kerja, ruang publik, hingga ruang digital.
"Saya kira acara ini mengingatkan kita bersama bahwa masih banyak PR untuk mewujudkan kesejahteraan perempuan termasuk juga bagi laki-laki karena baik perempuan maupun laki-laki dapat mengalami kekerasan. Makanya topiknya pada pagi hari ini adalah dari rumah ke ruang publik membangun budaya tanpa kekerasan dan rasa aman bagi semua karena kasus-kasus kekerasan itu ada dari rumah hingga di ruang-ruang publik," terangnya.
Dalam momentum yang bertepatan dengan Hari Disabilitas Internasional dan menjelang Hari Ibu, Tri Hastuti juga menekankan pentingnya pembangunan yang inklusif dan adil bagi semua.
“Hari ini kita juga merayakan Hari Disabilitas Internasional, bersama kita upayakan agar pembangunan kita itu nanti juga menjadi lebih inklusif… bagaimana saudara-saudara kita dengan berbagai kondisinya bisa mendapatkan ruang yang aman dan nyaman, ruang belajar, kemudian juga bisa mendapatkan pekerjaan yang layak maupun layanan kesehatan yang baik,” ujarnya.
Selain itu, Tri juga menegaskan bahwa peringatan Hari Ibu tidak semata dimaknai sebagai peran biologis, melainkan momentum penguatan kontribusi perempuan Indonesia dalam pembangunan bangsa, sebagaimana sejarah panjang ‘Aisyiyah sejak Kongres Perempuan Indonesia Pertama pada tahun 1928.
“Hari ini adalah menguatkan Kembali Komitmen kita untuk bersama-sama mencegah kasus-kasus kekerasan, kemudian juga memberi ruang dan perhatian pada teman-teman kita penyandang disabilitas dan juga menguatkan peran kita sebagai sebagai perempuan bahwa perempuan harus berkontribusi untuk bangsa.”
Wakil Wali Kota Surakarta, Astrid Widayani, menyampaikan bahwa kampanye ini relevan dengan konteks sosial saat ini dan memperkuat semangat kolaborasi lintas pihak dalam mencegah kekerasan.
“Kegiatan ini membangun kepedulia kita dan 'Aisyiyah memberikan inspirasi bagi kita semua bahwa 'Aisyiyah ada untuk masyarakat. Kegiatan ini juga berdampak bagi masyarakat karena membangun kepedulian dan 'Aisyiyah juga sudah mengambil peran strategis dalam konteks advokasi, edukasi, pendampingan hukum, juga pelindungan hak asasi manusia khususnya bagi perempuan dan kelompok rentan,” katanya.
Menurut Astrid, pencegahan kekerasan tidak cukup hanya melalui penegakan hukum, tetapi harus dimulai dari perubahan perilaku dan keberanian masyarakat untuk bersuara. Ia juga menegaskan kesiapan Kota Surakarta dalam mendorong nilai-nilai inklusivitas dan kesetaraan gender, termasuk keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan dan pengambilan keputusan publik.
Kegiatan ini dihadiri oleh Wakil Ketua PWA Jawa Tengah Sri Gunarsih, perwakilan Majelis Hukum dan HAM PDA se-Jawa Tengah, peserta Pelatihan Paralegal Lanjutan dan Bimbingan Teknis Akreditasi, DP3AP2KB Kota Surakarta, UPTD PPA Kota Surakarta, Komunitas Difabel ‘Aisyiyah Solo Raya, FORHATI Solo Raya, serta berbagai organisasi dan komunitas masyarakat sipil lainnya.
Melalui Kampanye 16 HAKTP ini, ‘Aisyiyah menegaskan komitmennya untuk terus menghadirkan layanan, advokasi, dan edukasi demi terwujudnya ruang hidup yang aman, adil, dan bebas dari kekerasan bagi semua. (Suri)

