Kegelisahan Seorang Juragan
Cerpen Mustofa W Hasyim
Taslim tiba-tiba merasa gelisah bukan main. Sebulan setelah menerima amanat dari ayahnya untuk memimpin perusahaan kerajinan di lingkungan kota kecamatan yang dikenal sebagai kota kerajinan dan kota garmen. Hasil mereka dijual ke banyak toko dan pasar di kota lain. Juga banyak yang diekspor ke luar negeri. Taslim makin gelisah setelah tahu bahwa banyak perusahaan di kota dia hanya bisa bertahan paling banyak tiga atau dua generasi. Seseorang mendirikan perusahaan, lalu diteruskan anaknya atau cucunya kemudian bubar. Hilang tak berbekas. Anak cucunya tidak mau menjadi pengusaha. Paling banter menjadi pedagang sembako, membeli kios di pasar lama yang direnovasi. Atau bekerja sebagai guru, atau merantau ke kota lain dan beranak pinak di sana. Keluarga dibiarkan kosong sehingga di kota ini kemudian dikenal sebagai kota rumah kosong dan karena angker justru laku sebagai tempat wisata hantu.
Taslim tahu kalau di antara teman sepermainan tinggal dia dan Darjo yang masih bertahan menjadi pengusaha. Itu saja Darjo bilang mau pensiun dan berhenti jadi pengusaha. Dia membeli banyak mobil dan disewakan untuk usaha travel. Yang menjadi sopir travel anak anaknya sendiri. Darjo tinggal menerima setoran.
“Lim, saya mau menjalani masa tua dengan aktif ibadah di masjid. Untuk menebus dosa karena waktu anak anak malas mengaji dan waktu muda saya habiskan untuk menyetor dagangan ke kota-kota lain," katanya pada suatu hari.
Taslim yang baru usia setengah baya menerima warisan perusahaan karena tidak ada satu pun dari saudara dia yang mau menerima warisan itu.
“Berhati hatilah dan semangatlah agar perusahaan yang didirikan kakekmu ini berkembang dan bertahan,” kata ayahnya waktu menyerahkan perusahaan ini sebelum pergi ke Bogor ikut anak bungsu yang menjadi pejabat di sana.
Taslim tidak bisa membantah dan tidak berkutik. Apalagi dia sudah pensiun sebagai pegawai kantor kecamatan.
Yang dialami Darjo itu merupakan akhir yang baik. Perusahaan tutup karena ganti usaha dan dia ingin khusyuk menjadi ahli ibadah. Taslim mendengar banyak sekali perusahaan di kotanya bangkrut karena juragannya suka main perempuan, suka makan enak dan pergi ke tempat wisata yang indah. Ada perusahaan yang tutup begitu saja karena pemiliknya meninggal dunia dan meninggalkan para buruh yang kebingungan mencari kerja.
Taslim punya kenalan waktu sekolah SMA yang pulang kampung di sebuah kota di pantai utara.
“Di sini sama saja Lim. Banyak perusahaan yang hanya bertahan dua sampai tiga generasi.”
“Kenapa?”
“Di sini ada gejala aneh Lim. Pengusaha yang terlalu menindas buruhnya pasti akan segera hancur dan bangkrut. Sebaliknya pengusaha yang terlalu memanjakan buruhnya juga pelan pelan akan tutup.”
“Kenapa?”
“Karena para buruh itu menabung dan mendirikan usaha sendiri.”
“Yang selamat yang bagaimana?”
“Yang ketat kepada buruh tetapi sekaligus tetap pemurah kepada buruh.’
“Dan itu yang kamu lakukan selama ini?”
“Ya, sejak zaman kakek dan ayah itu yang selalu dijalankan.”
Taslim menganggukan kepala. Ia merasa mendapat ilmu baru dalam menjalankan usaha.
Sebelum pulang, teman sekolah yang sukses mempertahankan usaha sempat berbisik, ”Lim, jangan sekali sekali kamu menyakiti hati buruhmu. Mereka bukan anak buahmu. Mereka adalah mitra. Coba cari buruh paling tua ajak dia ngobrol dan senangkan hatinya agar dia mau mendoakan usahamu. Pasti usahamu akan bisa bertahan lima atau malah sepuluh generasi.”
Sepulang dari pantai utara, Taslim menemui Mbah Manto yang usianya sudah tua dan sudah bekerja di perusahaan ini sejak zaman kakek Taslim.
Ketika Taslim datang ke rumah Mbah Manto dan meminta maaf kalau selama dia bekerja di perusahaan, ada kesalahan dari kakek, ayah atau dirinya.
“Maafkan ya Mbah kalau selama ini kami pernah menyakiti hati Mbah Manto.”
Lelaki tua itu terharu. Berdiri lalu memeluk Taslim sambil berbisik, ”Tak ada yang perlu dimintakan maaf Nak. Saya tidak pernah sakit hati selama bekerja di perusahaan keluargamu.’
“Sungguh Mbah?”
“Sungguh. Buktinya saya ikhlas mendoakan agar perusahaan keluarga sehingga bisa bertahan ke anak cucu sampai nanti.”
“Terimakasih mbah.’
“Saya yang harus berterima kasih kepada keluargamu yang membuat saya berhasil mendidik anak saya menjadi sarjana semua.”
Taslim makin mempererat pelukannya. Kegelisahan dia telah pergi entah kemana.•
Yogyakarta, 2023, Mustofa W Hasyim, sastrawan tinggal di Yogyakarta