Kekerasan di Sekolah, Kekacauan di Media: Saatnya Membaca dengan Bijak
Oleh: Ahsan Jamet Hamidi – Wakil Sekretaris Lembaga Pengembangan Cabang, Ranting, dan Pembinaan Masjid PP Muhammadiyah
Saat ada kegiatan Jumat Bersih di lingkungan sekolah SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten, Dini Fitria, Kepala Sekolah, menegur seorang murid yang kedapatan merokok. Menurutnya, sang murid tidak mengakui perbuatannya, sehingga membuat dirinya kecewa.
“Saya kecewa bukan karena dia merokok, melainkan karena tidak jujur. Saya spontan menegur dengan keras, bahkan sempat memukul pelan karena menahan emosi. Tapi saya tegaskan, tidak ada pemukulan keras,” jelas Dini.
Akibat tindakannya, para murid di sekolah melakukan aksi mogok. Aksi itu dilakukan sebagai bentuk protes terhadap kepala sekolah yang disebut memukul satu murid karena ketahuan merokok di lingkungan sekolah. Tidak hanya itu, orang tua siswa juga melaporkannya ke polisi. Dampak ikutan dari insiden itu terus berbuntut panjang. Gubernur Banten menonaktifkan sementara sang Kepala Sekolah.
Ringkasan tulisan saya di atas saya tulis berdasarkan pemberitaan yang termuat di media daring pada tautan https://www.kompas.com/jawa-barat/read/2025/10/14/061500888/5-fakta-kasus-kepsek-sman-1-cimarga-dituding-tampar-murid-merokok?page=all
Respons Beragam
Dari satu peristiwa itu, muncul beragam versi pemberitaan di media, tentu lengkap dengan beragam “bumbu penyedap” agar informasi yang disajikan menjadi lebih menarik. Salah satu contohnya adalah kata memukul ringan yang berubah menjadi menampar. Pemberitaan di media sosial bisa jauh lebih liar. Wajar, karena tidak ada yang bisa mengawasi dan menegur ketika terjadi miss atau disinformasi yang tersiar di media sosial. Semua orang bebas menulis sesuai hasratnya, dengan pilihan bahasa yang bebas.
Saya suka membaca beragam komentar pembaca yang tertulis di bagian bawah setiap pemberitaan yang dipublikasikan oleh media pers. Semakin banyak komentar yang beragam, semakin menarik. Berbagai pandangan yang muncul, seaneh dan selucu apa pun, bagi saya ia mampu memperkaya sudut pandang dan menambah pengetahuan. Misalnya, pemberitaan tentang kebijakan Gubernur Banten yang menonaktifkan kepala sekolah, ternyata menuai banyak kritik dari pembaca. Pun banyak pula yang mengapresiasi langkah Gubernur yang dinilai tanggap dalam membaca situasi dan cepat bertindak. Toh, penonaktifan kepala sekolah itu bersifat sementara, dengan tujuan agar lebih dia berkonsentrasi pada proses pemeriksaan, apalagi kasusnya sudah masuk tahap pelaporan ke polisi.
Dalam perdebatan di ruang publik, terutama di media sosial, ada yang tegas membela tindakan kepala sekolah. Menurutnya, tindakan keras itu belum seberapa jika dibandingkan dengan tindak kekerasan para guru di zaman dahulu, terutama sebelum adanya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, yang kemudian diperbarui dengan UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014. Dulu, lingkungan sekolah memang sangat dekat dengan kekerasan fisik. Pukulan dalam skala ringan, sedang, hingga keras kerap dilakukan oleh para guru kepada murid, atau oleh kakak kelas kepada adik kelas. Semua dilakukan atas nama pembinaan.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) turut mengomentari tindakan Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga tersebut. Menurut Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra, tindakan kekerasan bukanlah jawaban dari permasalahan siswa yang kedapatan merokok di sekolah. Kekerasan tidak akan membuat siswa jera lalu berhenti merokok. Untuk mencegah siswa merokok, sekolah bisa memaksimalkan peran Unit Kesehatan Sekolah (UKS) yang terintegrasi dengan Dinas Kesehatan.
Satriwan Salim dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) juga turut memberi penilaian. Menurutnya, kedua tindakan tersebut sama-sama tidak etis. Kejadian merokok di sekolah tidak bisa dinormalisasi. Pun praktik kekerasan di sekolah juga tidak bisa dibenarkan. Keduanya melanggar aturan. Kekerasan dalam bentuk apa pun tetap dilarang di lingkungan sekolah sesuai dengan Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023.
Dalam aturan itu disebutkan bahwa warga sekolah, baik guru, murid, maupun pekerja sekolah, tidak boleh melakukan kekerasan dalam bentuk apa pun. Bentuk kekerasan dalam Pasal 6 dan 7 terdiri atas: kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi, kebijakan yang mengandung kekerasan, dan bentuk kekerasan lainnya. Sementara itu, larangan merokok di sekolah juga sudah sangat jelas. Merokok di fasilitas pendidikan secara tegas dilarang berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2023 Pasal 151 dan PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan. Secara spesifik, Kementerian Pendidikan telah mengeluarkan Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah, khususnya di Pasal 5 Ayat 1 yang berbunyi: kepala sekolah, guru, peserta didik, dan pihak lain dilarang merokok di lingkungan sekolah.
Ada juga yang berpandangan bahwa sesuai Pasal 5 Ayat 2 dalam Permendikbud No. 64 Tahun 2015, kepala sekolah memiliki kewenangan dalam memberi sanksi kepada guru, murid, atau tenaga kependidikan yang merokok di lingkungan sekolah. Meskipun berwenang, sanksi tersebut tidak boleh berupa kekerasan fisik kepada anak karena jelas dilarang oleh UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pasal 76C, yang menyebutkan: Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut melakukan kekerasan terhadap anak.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai bahwa saat ini sekolah masih menjadi tempat yang menimbulkan trauma yang diciptakan oleh sosok yang seharusnya melindungi. Kepala sekolah yang menampar bukan untuk mendidik, melainkan untuk melampiaskan emosi. Sungguh berbahaya jika kekerasan masih dianggap sebagai alat yang sah untuk mendisiplinkan anak di lembaga pendidikan.
Merawat Ruang Kebebasan Berekspresi
Mencermati berbagai pendapat yang muncul di ruang publik dan media sosial mampu menyempurnakan sudut pandang pembaca. Saya tidak akan buru-buru menilai mana yang lebih tepat di antara beragam pendapat tersebut. Namun saya mengapresiasi berbagai pandangan yang pro maupun kontra. Hal itu sebagai wujud dari hasrat manusia yang selalu ingin memiliki kebebasan dalam berekspresi. Ruang kebebasan itu harus terus dirawat dan dijaga dengan sangat ketat sebagai wahana untuk mengontrol kekuasaan agar tidak melampaui batas.
Saya juga menjadikan peristiwa ini sebagai momentum untuk belajar lebih cermat dalam bereaksi dan memberikan komentar terhadap suatu peristiwa. Prinsip sederhananya adalah sebagai berikut:
Saya akan berusaha menjadikan informasi dari media pers sebagai sebuah karya jurnalistik sebagai bahan rujukan dalam bersikap. Kecermatan dalam memilah dan memilih sumber informasi ini sangat penting. Terkadang saya tidak teliti dalam melihat sumber informasi yang terberitakan. Meskipun berbentuk berita yang sudah tersebar di media, namun akan sangat berbeda kualitas kebenarannya antara informasi yang tersebar sebagai produk jurnalistik dan informasi yang tersebar di media sosial.
Apakah pemberitaan di media pers sebagai produk jurnalistik itu sudah pasti benar? Tidak juga. Tapi, jika kualitas pemberitaannya tidak benar, berbau fitnah, maka produk pemberitaannya bisa dilaporkan ke media yang bersangkutan atau ke Dewan Pers. Ia berfungsi untuk melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, mengembangkan kehidupan pers, menetapkan dan mengawasi Kode Etik Jurnalistik, serta memberikan pertimbangan dan menyelesaikan pengaduan masyarakat terkait pemberitaan pers. Jika hal itu dirasa tidak cukup, pihak yang dirugikan oleh pemberitaan sebuah media bisa melapor ke penegak hukum. Berbeda dengan informasi yang tersebar di media sosial. Siapa pun bisa menyebarkan informasi dengan sangat bebas, tanpa ada yang menilai benar tidaknya.
Selain informasi tertulis, ada juga yang disampaikan dalam format video atau gambar yang seolah-olah nyata dan akurat. Saya juga harus lebih berhati-hati dalam melihat kebenarannya. Apakah itu bersumber dari peristiwa nyata lalu direkam, atau hasil dari buatan Artificial Intelligence? Berkat kecanggihan teknologi, keduanya terkadang sulit dibedakan. Intinya, ketika menghadapi banjir informasi di era digital ini, kecermatan dalam membaca dan menyikapi setiap berita menjadi sangat penting. Dengan itu, maka pembaca bisa terhindar dari provokasi atau terjebak dalam arus opini yang menyesatkan. Memilah sumber berita, bersikap kritis, dan menahan diri untuk tidak buru-buru menghakimi adalah bentuk tanggung jawab terhadap diri sendiri.